Kamis, 17 Januari 2013 0 komentar

Datang Diundang, Pulang Nunggu Di Usir



Jokowi menjadi fenomena dan dia sangat fenomenal, tahun ini dan mungkin beberapa waktu berikutnya adalah tahunnya Joko Solo ini. Tapi ada satu lagi tokoh kita awal tahun ini, dan mungkin pada setiap awal tahun berikutnya, dialah banjir. Iya, banjir menjadi tokoh utama yang sedang caper menunjukkan kemampuannya dalam menghibur masyarakat yang sedang resah kepada Pemerintah, atau pada alam sekitarnya. Dia menghibur lewat sentuhan dinginnya, dan aliran gemulainya. Tapi ternyata banyak yang lalai bahwa hiburan itu adalah awal petaka. 

Jokowi merasa tersaingi dan itu membuat dia hendak menyingkirkannya, tanpa ragu. Dengan berbagai macam jurus dia hendak menyingkirkan saingan utamanya di media, banjir. Dia tidak mau kalah tenar hanya dengan si banjir, maka ini pasti akan menjadi pertarungan dua unsur utama kehidupan: manusia dan alam.
Menjadi ambigu memang ketika alam merespon kehidupan, dan sebenarnya banjir itu datang karena seruan ulah manusia. Tapi ketika dia telah datang dengan segala riaknya, dia diusir begitu saja. alam pun bingung, sudah terlanjur datang ke pesta ria kebejatan keduniaan dia malah langsung diusir pulang, banjir pun tidak terima begitu saja, sehingga dia berteriak keruh lewat terjangan mautnya, atau mungkin hanya lewat keringat kumalnya. 

Tapi Jokowi adalah sosok pahlawan yang selama ini telah mendapat puluhan penghargaan hingga penghargaan internasional. Tentunya dia bukan sosok yang low action. Dia akan berjuang hingga tetes air ke-banjir-an. Jika tidak reputasinya akan dipertanyakan. Tapi dia mengerti betul, bahwa banjir sebenarnya hanya kambing hitam, pokok permasalahannya sebenarnya adalah warga Jakarta, dan sikap-sikap pembesarnya. Si banjir hanya berusaha mendinginkan suasana rasa para penghuni Jakarta, yang selama ini panas dengan derita, panas dengan rumah-rumah kaca, atau panas karena batuk-batuk knalpot kopaja. Dia ingin mendinginkan hati orang-orang yang suka membuang sampah sembarangan agar jera, mengademkan jiwa-jiwa lusuh para penguasa agar lebih serius memikirkan umatnya.  

Maka tentunya kita juga harus bijaksana, termasuk Jokowi, kedatangan banjir adalah atas undangan kita, maka kita harus membiarkannya untuk menemani hidup kita, sesaat saja, jangan lama-lama. Sehingga menjadi pelajaran, agar kita tidak akan mengundangnya kembali ke lingkungan kita lagi. Toh sebenarnya dia juga tidak suka diundang keliling Jakarta hanya untuk menunjukkan kebengisannya. Dia datang diundang, tapi pulangnya sering nunggu diusir…..banjir…oh banjir…






Rabu, 16 Januari 2013 0 komentar

CERITAKU DAN TEROPONG KECILKU



Aku adalah aku, dan saya rasa kita tidak perlu berkenalan lebih jauh lagi. Yang jelas ini ceritaku dan teropong kecilku, dan saya tidak tahu seberapa besar teropongmu. Teropong ini biasa aku bawa kemana-mana, entah di warteg, terminal, kuliah ataupun kakus, pokoknya selalu aku bawa di mana saja dan kapan saja. 

Teropongku sungguh mempesona walaupun secara ukuran dia sangatlah kecil, namun jangan salah, sorotannya begitu jitu, tajam dan terpercaya. Mungkin karena ukuran mininya, menjadikan dia sangat sensitive dengan hal-hal yang kecil, yang sering diabaikan oleh kebanyakan manusia, terlebih sorotan tajamnya bagi hal-hal yang jelas nampak, wah itu sih dia lebih jago lagi.    

Teropongku adalah pengawalku, menunjukkan ketidak-mampuan mataku dalam melihat detail-detail kehidupan. Mataku sering menunjukkanku kecantikan, tapi tidak kedamaian, sering juga mengajariku tentang “inilah kenikmatan”, tapi bukan kebersahajaan, mataku juga suka silau dengan cahaya kefanaan. Mata oh mata.....begitu berharga tapi tidak sempurna. 

Teropongku sering ku bersihkan dari debu-debu jalanan, dengan menggunakan “wastafel” dzikir, rutin ku minyaki dengan minyak al-Qur’an agar tidak karatan, dan sering ku ajak melek malam agar dapat lebih tajam ketika melihat dalam kegelapan. Aku sering menangis teriris oleh ketajaman penglihatannya, dan lebih sering menangis miris karena dosa. 

Dia juga bisa bertransformasi menjadi agenda kecilku untuk aku baca dan renungkan di hari-hari kedepan. Dia begitu setia menemaniku, namun sungguh malang, aku sering khilaf, mencampakkannya, terutama ketika sedang bahagia, atau ketika memuncak gelora amarah dalam jiwa. Jangan salah, dia adalah teropong masa depan yang juga bisa berkicau. Kicauannya adalah kicauan kebenaran, tapi sayang, kicauannya sering teredam oleh lonceng-lonceng keblangsatan nafsu, sehingga hanya lirih kecil yang mampu ku dengar. Seandainya teropongku bisa ku jual dengan apa saja yang ada di dunia maka sungguh aku keliru, karena dia adalah aku dan aku adalah dia, karena itulah aku berharap banyak dari teropongku…teropong hatiku….   


Selasa, 15 Januari 2013 0 komentar

ketika si Bejo berharap bejo...



Tidak lama setelah si Bejo keluar dari kelasnya dia merasa di benaknya ada slilit yang mengganjal. Lantas dia segera mencari dongkrak slilitnya tadi yang lumayan agak mengganggu kehampaan idenya. “Kita harus menjadi orang atasan kalau hendak melakukan banyak perubahan yang berarti”, itulah sepenggal slilit yang mengganjal di pikirannya. Jangankan untuk menjadi orang yang punya kedudukan tinggi, ilmu dan hartanya saja pas-pasan. 

Secara idealism, siapa saja pasti ingin mencapai puncak tertinggi kepemimpinan, termasuk si Bejo. Bejo suka pesimis, karena dia sering terlanjur bingung dengan fakta kehidupan beberapa orang yang nasibnya tidak jauh dengannya. Bagaimana tidak, sebagai seorang yang cukup banyak mempunyai teman, si Bejo mengerti betul bagaimana nasib teman-temannya selekas keluar dari pesantren. Ketika di pesantren hampir semuanya bercita-cita ingin menjadi da’I, minimal guru diniyah. Tapi apa daya, kebanyakan cita-cita temannya tersebut dipasung oleh pragmatism kehidupan masing-masing, terutama oleh bensin. Bensin mengurus keluarga, bensin wira-wiri silaturahmi, dan bensin perut, semuanya membutuhkan uang, ketika uangnya pas-pasan maka cita-citanya juga pas-pasan. 

Bejo tidak hendak menyalahkan teman-temannya maupun Tuhan sebagai konspirator kehidupan, toh Bejo pun juga sering diperkosa oleh pragmatism faktanya sendiri. Sejenak si bejo melihat kembali lembaran memori masa lalunya, tepat pada halaman di mana sang guru besar alm. KH. Ahmad Zarkasyi pernah berpesan: “saya akan lebih bangga kepada murid-muridku yang mau mengajar di surau di pucuk gunung, meskipun muridnya hanya 1 atau 2 orang saja”. Tapi di sisi lain dia juga masih terngiang-ngiang oleh pesan dosen Sejarahnya: “buatlah perubahan yang berarti dengan menjadi seorang yang mempunyai jabatan dan peran yang tinggi”. “Pilih mana ya?” si Bejo pun GALAU. Persis seperti ketika dia disuruh memilih mie ayam atau bakso?...sama-sama menggoda hasratnya. 

Menurutnya, dunia politik dunia yang penuh intrik, dan rentan dengan “bajigur” keblingeran, tapi sebenarnya dunia politik cukup membuat “adrenalin” keikhlasan benar-benar akan teruji, dan membuat “denyut jantung” nya berdebar dengan slogan: “politik membuat eksistensi manusia semakin jelas”. Bagaimana tidak, dalam pentas politik, kapasitas keilmuan dan kreatifitas akan benar-benar teruji dalam pentas ribuan tokoh-tokoh brilliant lainnya dalam skala nasional, dan akhirnya memaksa dia merombak daya laju atau cc mesin motor pribadinya, dari yang 150 ke 500 cc.

Bandingkan dengan mengaji di masyarakat yang adem ayem, “gemah ripah lohjinawi”, istiqomah dan tabah, tidak banyak persaingan, dan jauh dari sifat-sifat codot materialistis, surganya pun jelas. Nah, itulah yang membuat bejo agak sedikit kurang bergairah untuk menjadi guru ngaji, minim ujian atau low clash. Dalam benaknya, ujian-ujian faktalah yang membuat dia semakin mengerti aurat-aurat jati dirinya.

Akhirnya dia berijtihad dengan mengumpulkan jadi satu, dia menyimpulkan bahwa kekuatan dakwah adalah keikhlasan dan kejujuran. Entah itu dakwah di masyarakat maupun level politik Negara. Sehingga ujung-unjungnya dia memodivikasi dua pesan gurunya tadi: ““saya akan bangga kepada murid-muridku yang tabah mengajar di surau di pucuk gunung, meskipun muridnya hanya 1 atau 2 orang saja, dan yang berpentas di dunia politik tetapi kuat terhadap godaan-godaan dunia.”
Tahukah anda siapa si Bejo? Yang jelas dia adalah cita-cita dan harapan, sesuai dengan namanya….

Jumat, 11 Januari 2013 0 komentar

MENCARI BERKAH UST FOTO COPY

Menentukan sebuah judul bagi sebuah tulisan memang tidak mudah, sebagaimana ketidak mudahan memahami apa maksud dari judul di atas. Awalnya bermula ketika saya dan beberapa teman sekamar di asrama PTIQ tercinta sering tergoda oleh film “ust foto copy”. “Hidup indah bila mencari berkah”, begitu kira-kira satu penggal kata dari soundtracknya film tersebut ciptaan wali band. Nah, oleh sebab itu saya pun tertarik untuk selalu mencari berkah, termasuk berkah dari film itu. Sekilas saya memahami bahwa film itu bercerita tentang penderitaan seorang ustadz yang selalu sibuk dengan berkah, bukan urusan-urusan materi dan fisik. Sebagai konsekuseinya, cobaan demi cobaan pun menghampirinya.

Berbicara tentang berkah saya langsung teringat dengan “berkat”, oleh-oleh yang biasa diperoleh dari acara “kenduren” di masyarakat Jawa. Berkat adalah penampakan lahir dari berkah yang ghoib, supaya berkah tersebut benar-benar bisa disentuh, dipegang, bahkan dinikmati secara langsung dan nyata. Tapi, saya masih suka penasaran, sebenarnya berkah itu apa penampakannya, terutama berkah hidup saya. Apakah dia hanya bisa menjelma dalam bentuk berkat makanan saja?...jawabannya memang iya, tapi juga tidak, karena tentunya tidak sesempit itu. Keindahan hidup bukan hanya karena faktor nasib perut tentunya. Kata Wali kan “hidup indah bila mencari berkah”

Sejenak saya kembali kepada al-Qur’an, di dalamnya ada banyak menceritakan tentang berkah Allah swt atas manusia, waktu, tempat, pohon, hujan, dan lain sebagainya, tapi tidak ada satupun yang menyinggung tentang saya, sebagai kategori yang diberkahi. Itu membuat saya cemburu, tapi tentunya saya harus realistis, sampai saat ini pengabdian saya kepadaNya masih pas-pasan, bakti pada orang tua juga begitu adanya, kepada guru pun demikian, lebih sering mengecewakan daripada membahagiakan. Mereka itukan sumber berkah.

Orang-orang yang diberkahi adalah mereka yang menjadi kekasih Tuhan. Saya memang selalu dikasih oleh Tuhan, apapun, tapi bukan berarti saya menjadi seorang kekasih, di sisiNya. Maka kasih Tuhan yang bagaimana yang benar-benar meyakinkan saya sebagai kekasihNya?....jawabannya cukup sederhana, dan itu saya dapatkan dari ust foto copy…jawabannya adalah ketika hatimu diliputi kedamaian, tentram, karena do’a-do’a Tuhan, orang tua, guru, beserta doa-doa sahabat, sehingga kita pun tahu bahwa ketika kita selalu merasa kurang dalam pengabdian kepada mereka, maka semakin dekat kita dengan berkah…adakah pengabdian yang sempurna?....maka teruslah mencarinya….salam pengabdian…:)

By: Rahmat Abdurrosyid


Kamis, 10 Januari 2013 0 komentar

PERUBAHAN YANG TIDAK BERUBAH

Suatu ketika saya sempat tersengat ketika ada seorang teman yang menilai tentang kepribadian saya, “kamu itu orang salaf, suka telat”. Sebenarnya itu soal kekurangan, saya setuju saja dengan penilaiannya, toh memang begitulah adanya. Cuma ketika saya berani untuk mulai meraba rasa, sehingga muncullah pikiran, memang apa sangkut pautnya dengan komunitas salaf?

Salaf Indonesia yang identik dengan pesantren tradisionalnya memang unik, terlihat sangat ketinggalan zaman, konservatif dan jumud. Karena tradisi dan budaya bagi mereka bukan semata sekedar identitas, tapi lebih dari itu, sebuah eksistensi bangsa. Dengan beban seberat itu, tentu membuat mereka lebih sulit untuk melaju mengikuti kilat cepat perubahan dunia.

Budaya dan tradisi adalah masa lalu, tapi lebih dari sekedar masa lalu, semuanya merupakan manifestasi dari karya-karya Tuhan dengan apa yang biasa disebut dengan bukti keMaha Hebatan Tuhan. Perbedaan budaya itu adalah bukti bahwa Tuhan punya banyak rencana, ide dan rumus-rumus yang lebih rumit dari apa yang telah dipecahkan oleh Einstein. Sampai anda pun tak pernah ingin membayangkan, apa jadinya jikalau semua orang berwajah Jawa?... Jawa dan budayanya adalah sebuah cap kemakhlukan untuk bisa menjadi cermin bagi orang-orang “bule” dengan kekontrasan gelagat hidup mereka. Persis seperti merek produk, bermacam-macam pula. Macam-macam warna hidup adalah nafas kehidupan.

Banyak tuntutan untuk mengikuti perubahan, semua orang harus bisa berubah, sesuai dengan wajah zamannya. Barang siapa yang tidak berubah maka dicap “kere”, Tapi tentunya tidak semua perubahan itu harus diikuti, dan tidak semuanya harus berubah, sebelum benar-benar dideteksi dengan pasti kemana perubahan tersebut akan berlabuh, kepada kebaikan bangsa atau sebaliknya. Cap “lelet” dan tertinggal bagi orang-orang salaf dan siapapun yang masih selalu menghargai adat dan budaya adalah lumrah. Menurut mereka, ketika semuanya akan semakin jauh berlayar menuju perubahan, maka ketika itu pula semakin jauh dari daratan, hanya tinggal menunggu waktu, kapan mereka akan ditelan oleh lautan.

Intinya, biarlah para tradisionalis menjalankan tugas-tugas suci mereka untuk tetap mempertahankan jati diri bangsa, mensyukuri pemberian yang begitu berharga dari Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagai bukti KuasaNya, namun tentu, dengan sikap yang mawas dan cerdas. Jangan menuntut banyak perubahan dari mereka, biarlah mereka tetap pada posisi sebagai pengawal perubahan yang tidak pernah berubah, ketika kulit luarnya selalu dirubah namun inti dalamnya tetaplah sama, hingga semuanya memahami bahwa jati diri adalah anugrah yang tidak pernah berubah…terutama jati diri sebuah bangsa…
 
;