Rabu, 04 Juni 2014 0 komentar

Darurat Narkoba

Dewasa ini, jaringan peredaran narkoba ini telah merambah ke segala lini kehidupan masyarakat dengan jumlah kerugian bahkan kerusakan yang tidak sedikit. Selain itu, saat ini narkoba telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat; baik anak kecil, remaja, hingga orang tua; dari yang masih berstatus pelajar, mahasiswa, pekerja kantoran hingga pengangguran; dari rakyat biasa, artis hingga pejabat negara.   
 
Bagi mafia narkoba internasional, Indonesia ibarat surga. Dua ratus empat puluh juta penduduk Indonesia merupakan pangsa pasar yang empuk untuk mengeruk keuntungan Trilyunan rupiah mereka kantongi setiap hari dengan ‘tumbal’ 15 ribu warga Indonesia setiap tahun mati. Dan hal yang sangat menyedihkan, penegak hukum masih lembek menghadapi kejahatan sindikat narkoba. Penjara dijadikan tempat paling aman oleh para penjahat itu untuk mengendalikan bisnis barang haram itu. Maka tidak heran jika penyalah-gunaan narkoba termasuk dalam extra ordinary crime (tindakan kriminal yang luar biasa).

Ini artinya bahwa perdagangan narkoba adalah perang dunia model baru untuk membunuh potensi generasi dan sumber daya manusia antar negara. Oleh karena itu saat ini kita sedang berperang, bukan dengan senjata tapi dengan menangkal serangan sindikat narkoba. Karena sedang berperang melawan narkoba yang begitu berbahaya dan tersistem maka kita memerlukan kekuatan besar untuk menghadangnya, dan kekuatan itu adalah persatuan dan semangat gotong royong mengusir segala sesuatu yang berbau narkoba. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Ar-Ro’d ayat 11)

Ayat di atas berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Ini dipahami dari penggunaan kata qoum (masyarakat). Selanjutnya, dari sana dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Maksudnya adalah sebuah perubahan yang besar memerlukan dukungan orang lain dalam skala besar/banyak. 

Kaitan ayat ini dengan kasus narkoba adalah bahwa narkoba merupakan perang model baru, dan untuk mengalahkannya memerlukan upaya besar sebuah masyarakat, bersatu padu secara total dan solit agar dapat mengusirnya dari lingkungan sekitar.

Ayat itu juga menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa perubahan ini, mustahil akan terjadi perubahan sosial. 

Ada beberapa unsur yang cukup dominan bagi perubahan masyarakat. Di antaranya adalah: mempertahankan nilai-nilai kebenaran, kedua adalah kemauan (iradah), ketiga adalah kemampuan pemahaman/kesadaran dan yang terakhir (keempat) adalah semangat gotong royong.

Keempat hal di atas sebenarnya sudah tumbuh subur dalam diri bangsa Indonesia, terutama poin ketiga dan keempat. Poin ketiga yaitu pemahaman/kesadaran, maksudnya bahwa kita harus paham mana yang baik dan yang buruk, mana keburukan yang dahsyat dan mana keburukan yang ringan. Dalam masalah narkoba, seluruh elemen masyarakat harus paham, bahwa narkoba adalah musuh besar, karena itu narkoba harus benar-benar diwaspadai, dan mari kita sosialisasikan untuk itu. 

Sedangkan poin yang terakhir yaitu semangat gotong royong/kebersamaan. Dalam hal ini, masyarakat Jawa seperti kita ini dapat menjadi teladan yang hebat, semangat kebersamaan orang Jawa sangat kuat dan harmonis. Maka mari kita kuatkan budaya gotong royong dan kebersamaan kita untuk mengusir musuh besar kita, yaitu narkoba.
 



Minggu, 03 November 2013 0 komentar

Spirit Sumpah Pemuda Spirit Hijrah

Sejarah bulan Hijriah
Sejarah mencatat, bahwa Sayidina Umar bin Al-Khattab adalah sosok yang pertama kali menetapkan hijrah nabi sebagai event terpenting dalam penaggalan Islam. Hal ini terjadi pada tahun ke-17 sejak Hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah. Dan itu ketika Umar menjabat sebagai Khalifah yang kedua.    
Sebagaimana biasanya, Singa Padang Pasir ini selalu memusyawarahkan setiap problematika umat kepada para sahabatnya. Ada yang menginginkan, tapak tilas sistem penanggalan Islam berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan, awal diutusnya Muhammad Saw sebagai Rasul yang merupakan waktu paling tepat dalam standar kalenderisasi. Bahkan, ada pula yang melontarkan ide akan tahun wafatnya Rasulullah Saw, sebagai batas awal perhitungan tarikh dalam Islam. Walaupun demikian, akhirnya sayidina Umar r.a. lebih condong kepada pendapat sayidina Ali karamallâhu wajhah yang memilih peristiwa hijrah sebagai tonggak terpenting daripada event-event lainnya dalam sejarah Islam. Beliau berpendapat: “Kita membuat penaggalan berdasar pada Hijrah Rasulullah Saw, adalah lebih karena hijrah tersebut merupakan pembeda antara yang hak dengan yang batil”. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 1 Muharam, bertepatan dengan 16 Juli 622 M, hari Jumat.

Muharrom dan Puasa Asyuro                                                                    
Muharram adalah bulan di mana umat Islam mengawali tahun kalender Hijriah berdasarkan peredaran bulan yang disebut Qomariah bukan menggunakan ukuran peredaran matahari dan jika menggunakan hitungan peredaran matahari di sebut tahun Syamsiyah, Miladiah dan Masehi.                                                   
Muharram adalah bulan Pengampunan Dosa. Kata Muharram artinya “dilarang”. Sebelum datangnya dakwatul Islam, bulan Muharram sudah dikenal sebagai bulan suci dan pada bulan ini dilarang untuk melakukan hal-hal yang agung seperti peperangan dan pertumpahan darah. Bulan Muharram banyak memiliki keistimewaan. Khususnya pada tanggal 10 Muharram. Beberapa kemuliaan tanggal 10 Muharram antara lain Allah SWT akan mengampuni dosa-dosa setahun sebelumnya dan setahun ke depan. (HR. Tarmidzi)
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram . Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (At-Taubah 36)   
              
Jumlah bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, tersebut dalam Kitab Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Di antara kedua belas bulan itu ada empat bulan yang disucikan. Keempat bulan itu adalah, Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Selain keempat bulan khusus itu, masih ada bulan Ramadhan yang memiliki predikat sebagai bulan paling suci dalam satu tahun. Keempat bulan tersebut secara khusus disebut bulan-bulan yang disucikan karena ada alasan-alasan khusus pula, bahkan para musyrikin mengakui keempat bulan tersebut disucikan.

Keutamaan Bulan Muharram Nabi Muhammad SAW. bersabda, "Ibadah puasa yang paling baik setelah puasa Ramadan adalah berpuasa di bulan Muharram." Meski puasa di bulan Muharram bukan puasa wajib, tapi mereka yang berpuasa pada bulan Muharram akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah SWT. Khususnya pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan hari “Asyura”,  
Sejumlah hadist mengisyaratkan bahwa puasa di hari “Asyura” hukumnya sunnah. Juga ada beberapa hadits menyarankan dan di ambil istimbat oleh Mujtahid Muthlaq agar puasa hari “Asyura” diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari “Asyura”. Alasannya, seperti diungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW., orang Yahudi hanya berpuasa pada hari “Asyura” saja dan Rasulullah ingin membedakan puasa umat Islam dengan puasa orang Yahudi. Oleh sebab itu ia menyarankan umat Islam berpuasa pada hari “Asyura” ditambah puasa satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya (tanggal 9 dan 10 Muharram atau tanggal 10 dan 11 Muharram).

Makna Hijrah dan Spirit Sumpah Pemuda                                  
Sesungguhnya momentum pergantian tahun baru Islam sudah sepantasnya memberikan makna semangat baru untuk berbuat amal kebajikan, untuk  bekal menghadap sang Ilahi.  

Waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada  Allah SWT, Sang Pemilik Zaman.     

Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang. Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi.

Berhijrah, berarti berpindah secara moral, mental, dan perilaku dari perbuatan buruk yang merusak tatanan kehidupan sosial pada perilaku yang baik. Hijrah harus dilakukan secara masif dan bersama-sama oleh seluruh komponen masyarakat dan bangsa.

Masih terasa aura kebangkitan para pemuda pada hari sumpah pemuda beberapa hari yang lalu, hingga kemudian semangat itu bertambah kuat dengan datangnya tahun baru Hijriyyah beberapa hari lagi. Sebuah event yang luar biasa untuk kita sebagai pemuda mampu dengan baik memahami makna sumpah pemuda dan spirit hijrah. Pemuda menjadi tolak ukur yang cukup sentral dalam perubahan, perubahan yang dinantikan bangsa dan negara. Perubahan pemuda Islami harusnya diawali dengan kekuatan iman dan taqwa serta diaplikasikan lewat perbuatan yang nyata dalam masyarakat. Itulah awal hijrah untuk menjadi pemuda yang sejati.

Budaya barat adalah musuh utama pemuda saat ini hingga melupakan budaya yang Islami. Budaya begitu berpengaruh bagi pembentukan karakter pemuda yang melebur dalam lingkungan. Diantara budaya yang sangat mewabah adalah pacaran, terbuai dengan pornografi/pornoaksi serta budaya malas. Semua pengaruh budaya negatif tersebut dapat ditangkal lewat kesadaran yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai agama, dan tahun baru Islam kali ini menjadi start penting dalam perubahan. Semoga kita semua dapat menjadi teladan yang baik bagi pemuda Indonesia. Itulah Hijrah yang sesungguhnya. Semangat Sumpah Pemuda semangat Hijrah.


Sumber: Repubilka.or.id dan Karangan Pribadi
Kamis, 12 September 2013 0 komentar
Hubungan Hadis dan Al-Quran
Oleh: Dr. M. Quraish Shihab 
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama –seperti definisi Al-Sunnah– sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.

Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi’u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi’u Allah wa athi’u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi’u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu –dalam kondisi tertentu– walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka’ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi’u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-’Amr tidak dibarengi dengan kata athi’u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa’ ayat 65.
Jumat, 23 Agustus 2013 0 komentar

MARI BERFIKIR POSITIF

Oleh : Muchlis M. Hanafi
Berfikir adalah sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang terambil dari bahasa Arab al fikr, yang berarti “kekuatan yang menembus suatu obyek sehingga menghasilkan pengetahuari”. Manakala pengetahuan atau pandangan yang dihasilkannya didukung oleh bukti-bukti kuat yang meyakinkan maka dinamakan “ilmu”. Sementara jika bukti-bukti tersebut belum meyakinkan, tetapi kebenarannya lebih dominan, maka disebut zhann (dugaan). Dan jika kemungkinan benar dan salahnya seimbang disebut syakk (keraguan). Sementara jika tidak didukung bukti, atau bukti tersebut lemah, sehingga kemungkinan salahnya lebih besar disebut wahm.

Akar kata fa, ka, ra, sampai pun ia berubah susunan (fa, ra, ka), memiliki makna seperti disebut di muka. Sebab al fark dalam bahasa Arab berarti “menyisiri sesuatu untuk mencapai hakikat yang sebenarnya”. Bedanya, menurut beberapa pakar bahasa, al-farak/ al-firk untuk sesuatu yang bersifat materil, sementara al-fikr untuk yang bersifat maknawi (Al-Mufradat Fi Gharib AI­Qur’aan 2/496).

Dengan demikian, berfikir merupakan sebuah proses cara pandang seseorang terhadap suatu obyek, baik itu nyata ataupun tidak, yang kemudian menghasilkan penilaian apakah obyek itu positif atau negative. Banyak hal tentunya yang dapat mempengaruhi hasilpenilaian tersebut, antara lain, yang bersifat internal; suasana hati, pemahaman dan penafsiran suatu informasi yang tidak lengkap, peristiwa yang dialami seseorang dalam kehidupan yang mendorong adanya pergeseran cara pandang terhadap sesuatu/orang lain. Yang bersifat eksternal antara lain faktor tingkat pendidikan, budaya, ekonomi, dan lain-lain

Berpikir positif adalah cara berfikir secara terbuka dan melihat segala sesuatu selalu memberi hikmah bagi pengalaman hidup. Sebaliknya, seorang yang berfikir negatif hanya merekam gambar kelam dari setiap kejadian atau keburukan pada seseorang. Pernahkah kita terpikir mengapa pita film yang umum kita kenal untuk mencuci gambar-gambar yang kita inginkan dikenal dengan film negatif. Mungkin karena kita hanya melihat bayangan hitam gelap dan kelabu di sana. Namun, bila kita bersedia mencuci dan mencetaknya dengan baik , kita akan dapati suansa indah penuh warna-warni sebagaimana yang kita harapkan. Demikian halnya dengan gambaran pikiran negatif; pikiran yang hanya merekam gambar kelam dari setiap kejadian. Kita takkan mendapati warna-warni kehidupan, karena cahaya ditangkap sebagai kegelapan. Untuk itulah, mengapa kita disarankan untuk selalu melihat segala sesuatunya dengan kacamata positif. Apalagi jika disadari, bahwa segala sesuatu di muka bumi ini berada dalam kendali Tuhan Yang Mahakuasa.
Minggu, 11 Agustus 2013 0 komentar

Sejarah Idul Fitri

Oleh Heri Ruslan 
Hakikat Idul Fitri adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan.

Jauh sebelum ajaran Islam turun, masyarakat Jahiliyah Arab ternyata sudah memiliki dua hari raya, yakni Nairuz dan Mahrajan. Kaum Arab Jahiliyah menggelar kedua hari raya itu dengan menggelar pesta pora. Selain menari-nari, baik tarian perang maupun ketangkasan, mereka juga bernyanyi dan menyantap hidangan lezat serta minuman memabukkan.

‘’Nairuz dan Mahrajan merupakan tradisi hari raya yang berasal dari zaman Persia Kuno?’’ tulis Ensiklopedi Islam.  Setelah turunnya kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadhan pada 2 Hijriyah, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda, ‘’Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.’’

Setiap kaum memang memiliki hari raya masing-masing. Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam Kisah Para Nabi dan Rasul, mengutip sebuah hadis dari Abdullah bin Amar, ‘’Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ’’Puasanya Nuh adalah satu tahun penuh, kecuali hari Idul Fitri dan Idul Adha’.’’ (HR Ibnu Majah).
 
;