Berfikir adalah sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang terambil dari bahasa Arab al fikr, yang
berarti “kekuatan yang menembus suatu obyek sehingga menghasilkan
pengetahuari”. Manakala pengetahuan atau pandangan yang dihasilkannya
didukung oleh bukti-bukti kuat yang meyakinkan maka dinamakan “ilmu”.
Sementara jika bukti-bukti tersebut belum meyakinkan, tetapi
kebenarannya lebih dominan, maka disebut zhann (dugaan). Dan jika kemungkinan benar dan salahnya seimbang disebut syakk (keraguan). Sementara jika tidak didukung bukti, atau bukti tersebut lemah, sehingga kemungkinan salahnya lebih besar disebut wahm.
Akar kata fa, ka, ra, sampai pun ia berubah susunan (fa, ra, ka), memiliki makna seperti disebut di muka. Sebab al fark dalam bahasa Arab berarti “menyisiri sesuatu untuk mencapai hakikat yang sebenarnya”. Bedanya, menurut beberapa pakar bahasa, al-farak/ al-firk untuk sesuatu yang bersifat materil, sementara al-fikr untuk yang bersifat maknawi (Al-Mufradat Fi Gharib AIQur’aan 2/496).
Dengan demikian, berfikir merupakan
sebuah proses cara pandang seseorang terhadap suatu obyek, baik itu
nyata ataupun tidak, yang kemudian menghasilkan penilaian apakah obyek
itu positif atau negative. Banyak hal tentunya yang dapat mempengaruhi
hasilpenilaian tersebut, antara lain, yang bersifat internal; suasana
hati, pemahaman dan penafsiran suatu informasi yang tidak lengkap,
peristiwa yang dialami seseorang dalam kehidupan yang mendorong adanya
pergeseran cara pandang terhadap sesuatu/orang lain. Yang bersifat
eksternal antara lain faktor tingkat pendidikan, budaya, ekonomi, dan
lain-lain
Berpikir positif adalah cara berfikir
secara terbuka dan melihat segala sesuatu selalu memberi hikmah bagi
pengalaman hidup. Sebaliknya, seorang yang berfikir negatif hanya
merekam gambar kelam dari setiap kejadian atau keburukan pada seseorang.
Pernahkah kita terpikir mengapa pita film yang umum kita kenal untuk
mencuci gambar-gambar yang kita inginkan dikenal dengan film negatif.
Mungkin karena kita hanya melihat bayangan hitam gelap dan kelabu di
sana. Namun, bila kita bersedia mencuci dan mencetaknya dengan baik ,
kita akan dapati suansa indah penuh warna-warni sebagaimana yang kita
harapkan. Demikian halnya dengan gambaran pikiran negatif; pikiran yang
hanya merekam gambar kelam dari setiap kejadian. Kita takkan mendapati
warna-warni kehidupan, karena cahaya ditangkap sebagai kegelapan. Untuk
itulah, mengapa kita disarankan untuk selalu melihat segala sesuatunya
dengan kacamata positif. Apalagi jika disadari, bahwa segala sesuatu di
muka bumi ini berada dalam kendali Tuhan Yang Mahakuasa.
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, “Ana ‘inda zhanni ‘abdi bi” (Aku seperti yang diduga/dibayangkan hamba-Ku). Imam Al-Qurthubi, seperti dikutip pakar hadis Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Baari (13/386),
menjelaskan dugaan atau sangkaan dimaksud adalah “dugaan pasti
dikabulkan jika berdoa, diterima jika bertobat, diampuni jika memohon
ampunan (istighfar), diberi balasan jika beribadah sesuai ketentuan”.
Imam Nawawi dalam Syarh shahih Muslim (17/2) menambahkan, “dugaan akan diberi kecukupan dalam hidup jika ia minta dicukupi”.
Hadis di atas mengajak kita untuk
bersikap optimis dalam menjalani kehidupan. Sekecil apa pun yang kita
lakukan, selagi disertai ketulusan, pasti akan diberi balasan oleh swt.
(QS. Ali Imran 195). Sebab rahmat Allah sangatlah luas, “maka janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah”, demikian
QS.Yusuf ayat 87. Segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit telah
diperuntukkan untuk kebaikan manusia, karena ia telah dipilih untuk
bertugas menjadi khalifah yang akan memakmurkan bumi.
Sikap optimis inilah yang akan memberi
dorongan kuat dalam diri untuk berkarya, berkreasi dan berprestasi.
Alkisah, seorang Jendral Jepang termasyur bernama Nobunaga memutuskan
untuk menyerang musuh meskipun jumlah prajuritnya hanya sepersepeluh
dari jumlah prajurit musuh yang akan dihadapinya. la
memiliki keyakinan akan mendapatkan kemenangan, tapi para prajuritnya
pesimis/sangsi. Para prajurit mengatakan ini hal yang mustahil. “Mana
mungkin kita melawan musuh yang secara jumlah kita sudah tidak
berimbang”. Dalam perjalanannya menuju medan pertempuran, Jendral
Nobunaga berhenti di sebuah kuil Shinto, la kemudian melakukan doa,
setelah berdoa dalam kuil sang Jendral berkata, “sekarang aku akan
melempar mata uang, jika nanti yang muncul gambar kepala maka kita akan
menang, dan jika angka kita akan kalah, nasib akan terungkap sekarang.
Lalu ia melempar mata uang tersebut. Ternyata kepala yang muncul.
Kemudian para prajurit begitu bersemangat untuk maju kemedan perang dan
memenangkan dengan mudah. Hari berikutnya, seorang Ajudan berkata kepada
Sang Jendral Nobunaga, “tak seorang pun dapat mengubah yang sudah
ditakdirkan”. ” Memang benar”, kata Sang Jendral Nobunaga sambil
menunjuk mata uang rangkap yang kedua sisinya bergambar kepala.
Kisah di atas, kendati nuansanya
berbeda, mengingatkan kita akan kisah Thalut dan Jalut yang terekam
dalam (QS.Al-Baqarah 247-251). Tanpa motivasi yang kuat bahwa
pertolongan Allah pasti akan turun, tidak mungkin dengan jumlah pasukan
yang sangat terbatas raja muda, Thalut, berhasil menyelamatkan bangsa
Bani Israel dari kekejaman dan kedigdayaan Jalut. Motivasi itu tumbuh
karena mereka yakin pasti akan “menjumpai Tuhan”, sehingga “berapa banyak kelompok minoritas/ kecil berhasil mengalahkan mayoritas/ besar dengan kekuasaan Allah” (QS.
Al-Baqarah 249). Dengan motivasi dan keyakinan yang kuat, Nabi Ya’qub
yang sudah tua renta dan hilang penglihatan dipertemukan kembali dengan
anaknya, Yusuf as., setelah berpisah sekian lama.
Memang betul seperti kata sang ajudan,
“tak seorang pun dapat mengubah yang sudah ditakdirkan’”. Tetapi dalam
pandangan Islam, manusia memiliki kebebasan untuk memilih antara
kebaikan atau keburukan (QS. Al-Balad: 10), (QS. Al-Syams : 8). Karena
itu, jika diterpa musibah atau keburukan, jangan tergesa-gesa
menyalahkan Tuhan, orang lain atau lingkungan. Ketahuilah, “Kebaikan yang kamu terima adalah dari Allah, dan keburukan yang kamu derita berasal dari dirimu sendiri”;
QS. Al-Nisa Ayat 79. Ayat 10 surah al-Jin mengajarkan kepada kita
bagaimana bersopan santun kepada Tuhan dengan tidak menisbatkan
keburukan kepada-Nya. “Dan kami tidak tahu, apakah keburukan yang diinginkan oleh penghuni bumi (asyarrun urida biman fil arhd), ataukah mereka menghendaki agar Tuhan memberikan petunjuk (kebaikan) kepada mereka (arada bihim rabbuhum rasyada)”. Perhatikan, ketika menunjuk keburukan kata yang digunakan bersifat pasif/majhul (urida), dan ketika menunjukkan kebaikan kata yang dipilih bersifat aktif (araada).
Seorang yang berfikir positif akan
diliputi dengan ketenangan dan hidup yang stabil. Kebaikan akan diterima
sebagai anugrah yang patut disyukuri, bukan berkeluh-kesah tentang
apa-apa yang tidak dipunyainya, musibah akan dihadapi sebagai cobaan
yang membuatnya tertantang untuk menggapai hikmah (kebaikan) di balik
itu. Untuk itu ia akan bersikap terbuka menerima saran dan ide. Karena
dengan begitu, boleh jadi ada hal-hal baru yang akan membuat segala
sesuatu lebih baik. Bahkan cobaan justru semakin membuatnya optimis akan
rahmat Tuhan. Perhatikan kehidupan Nabi Ya’qub. Dalam sebuah riwayat,
Ya’qub memperoleh keistimewaan karena cobaan demi cobaan yang diderita
telah membuatnya semakin berbaik sangka (husnu al-zhann) kepada
Tuhan (Tafsir Ibnu Katsir 4/18). Keluh kesahnya hanya ditumpahkan
kepada Allah Swt (QS. Yusuf 86), bukan kepada orang lain. Sehingga
beliau cepat mengambil tindakan dengan mengirim kembali anak-anaknya ke
Negeri Mesir untuk mencari Yusuf (QS. Yusuf 87). Seorang yang berfikir
positif bukan penganut NATO yang diplesetkan menjadi “No Action, Talk
Only”.
Terakhir, sikap optimis dan cara pandang
positif akan melahirkan bahasa yang positif, baik tutur kata maupun
bahasa tubuh. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, optimisme (al fa’lu) tercermin pada tutur kata yang baik (al-kalimah al-hasanah). Kata-katanya
bernadakan optimisme, seperti, “masalah itu pasti akan terselesaikan”,
atau “Dia memang berbakat”. Rasul pun, seperti dalam hadis lain, senang
mendengar kata “sukses” (yaa najiih) jika akan melakukan
sesuatu (Aunul Ma’bud 10/293). Sudah barang tentu, ungkapan tersebut
dibarengi dengan senyuman, berjalan dengan langkah tegap, dan gerakan
tangan yang ekspresif, atau anggukan. Berbicaranya pun dengan intonasi
yang bersahabat, antusias, dan ‘hidup’. Wallahua’lam.
0 komentar:
Posting Komentar