Suatu ketika
saya sempat tersengat ketika ada seorang teman yang menilai tentang kepribadian
saya, “kamu itu orang salaf, suka telat”. Sebenarnya itu soal kekurangan, saya
setuju saja dengan penilaiannya, toh memang begitulah adanya. Cuma ketika saya
berani untuk mulai meraba rasa, sehingga muncullah pikiran, memang apa sangkut
pautnya dengan komunitas salaf?
Salaf Indonesia
yang identik dengan pesantren tradisionalnya memang unik, terlihat sangat
ketinggalan zaman, konservatif dan jumud. Karena tradisi dan budaya bagi mereka
bukan semata sekedar identitas, tapi lebih dari itu, sebuah eksistensi bangsa. Dengan
beban seberat itu, tentu membuat mereka lebih sulit untuk melaju mengikuti
kilat cepat perubahan dunia.
Budaya dan
tradisi adalah masa lalu, tapi lebih dari sekedar masa lalu, semuanya merupakan
manifestasi dari karya-karya Tuhan dengan apa yang biasa disebut dengan bukti
keMaha Hebatan Tuhan. Perbedaan budaya itu adalah bukti bahwa Tuhan punya
banyak rencana, ide dan rumus-rumus yang lebih rumit dari apa yang telah
dipecahkan oleh Einstein. Sampai anda pun tak pernah ingin membayangkan, apa
jadinya jikalau semua orang berwajah Jawa?... Jawa dan budayanya adalah sebuah
cap kemakhlukan untuk bisa menjadi cermin bagi orang-orang “bule” dengan
kekontrasan gelagat hidup mereka. Persis seperti merek produk, bermacam-macam
pula. Macam-macam warna hidup adalah nafas kehidupan.
Banyak tuntutan
untuk mengikuti perubahan, semua orang harus bisa berubah, sesuai dengan wajah
zamannya. Barang siapa yang tidak berubah maka dicap “kere”, Tapi tentunya
tidak semua perubahan itu harus diikuti, dan tidak semuanya harus berubah,
sebelum benar-benar dideteksi dengan pasti kemana perubahan tersebut akan
berlabuh, kepada kebaikan bangsa atau sebaliknya. Cap “lelet” dan tertinggal
bagi orang-orang salaf dan siapapun yang masih selalu menghargai adat dan
budaya adalah lumrah. Menurut mereka, ketika semuanya akan semakin jauh
berlayar menuju perubahan, maka ketika itu pula semakin jauh dari daratan, hanya
tinggal menunggu waktu, kapan mereka akan ditelan oleh lautan.
Intinya,
biarlah para tradisionalis menjalankan tugas-tugas suci mereka untuk tetap
mempertahankan jati diri bangsa, mensyukuri pemberian yang begitu berharga dari
Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagai bukti KuasaNya, namun tentu, dengan sikap yang
mawas dan cerdas. Jangan menuntut banyak perubahan dari mereka, biarlah mereka
tetap pada posisi sebagai pengawal perubahan yang tidak pernah berubah, ketika
kulit luarnya selalu dirubah namun inti dalamnya tetaplah sama, hingga semuanya
memahami bahwa jati diri adalah anugrah yang tidak pernah berubah…terutama jati
diri sebuah bangsa…
0 komentar:
Posting Komentar