Kamis, 10 Januari 2013

PERUBAHAN YANG TIDAK BERUBAH

Suatu ketika saya sempat tersengat ketika ada seorang teman yang menilai tentang kepribadian saya, “kamu itu orang salaf, suka telat”. Sebenarnya itu soal kekurangan, saya setuju saja dengan penilaiannya, toh memang begitulah adanya. Cuma ketika saya berani untuk mulai meraba rasa, sehingga muncullah pikiran, memang apa sangkut pautnya dengan komunitas salaf?

Salaf Indonesia yang identik dengan pesantren tradisionalnya memang unik, terlihat sangat ketinggalan zaman, konservatif dan jumud. Karena tradisi dan budaya bagi mereka bukan semata sekedar identitas, tapi lebih dari itu, sebuah eksistensi bangsa. Dengan beban seberat itu, tentu membuat mereka lebih sulit untuk melaju mengikuti kilat cepat perubahan dunia.

Budaya dan tradisi adalah masa lalu, tapi lebih dari sekedar masa lalu, semuanya merupakan manifestasi dari karya-karya Tuhan dengan apa yang biasa disebut dengan bukti keMaha Hebatan Tuhan. Perbedaan budaya itu adalah bukti bahwa Tuhan punya banyak rencana, ide dan rumus-rumus yang lebih rumit dari apa yang telah dipecahkan oleh Einstein. Sampai anda pun tak pernah ingin membayangkan, apa jadinya jikalau semua orang berwajah Jawa?... Jawa dan budayanya adalah sebuah cap kemakhlukan untuk bisa menjadi cermin bagi orang-orang “bule” dengan kekontrasan gelagat hidup mereka. Persis seperti merek produk, bermacam-macam pula. Macam-macam warna hidup adalah nafas kehidupan.

Banyak tuntutan untuk mengikuti perubahan, semua orang harus bisa berubah, sesuai dengan wajah zamannya. Barang siapa yang tidak berubah maka dicap “kere”, Tapi tentunya tidak semua perubahan itu harus diikuti, dan tidak semuanya harus berubah, sebelum benar-benar dideteksi dengan pasti kemana perubahan tersebut akan berlabuh, kepada kebaikan bangsa atau sebaliknya. Cap “lelet” dan tertinggal bagi orang-orang salaf dan siapapun yang masih selalu menghargai adat dan budaya adalah lumrah. Menurut mereka, ketika semuanya akan semakin jauh berlayar menuju perubahan, maka ketika itu pula semakin jauh dari daratan, hanya tinggal menunggu waktu, kapan mereka akan ditelan oleh lautan.

Intinya, biarlah para tradisionalis menjalankan tugas-tugas suci mereka untuk tetap mempertahankan jati diri bangsa, mensyukuri pemberian yang begitu berharga dari Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagai bukti KuasaNya, namun tentu, dengan sikap yang mawas dan cerdas. Jangan menuntut banyak perubahan dari mereka, biarlah mereka tetap pada posisi sebagai pengawal perubahan yang tidak pernah berubah, ketika kulit luarnya selalu dirubah namun inti dalamnya tetaplah sama, hingga semuanya memahami bahwa jati diri adalah anugrah yang tidak pernah berubah…terutama jati diri sebuah bangsa…

0 komentar:

 
;