Selasa, 15 Januari 2013

ketika si Bejo berharap bejo...



Tidak lama setelah si Bejo keluar dari kelasnya dia merasa di benaknya ada slilit yang mengganjal. Lantas dia segera mencari dongkrak slilitnya tadi yang lumayan agak mengganggu kehampaan idenya. “Kita harus menjadi orang atasan kalau hendak melakukan banyak perubahan yang berarti”, itulah sepenggal slilit yang mengganjal di pikirannya. Jangankan untuk menjadi orang yang punya kedudukan tinggi, ilmu dan hartanya saja pas-pasan. 

Secara idealism, siapa saja pasti ingin mencapai puncak tertinggi kepemimpinan, termasuk si Bejo. Bejo suka pesimis, karena dia sering terlanjur bingung dengan fakta kehidupan beberapa orang yang nasibnya tidak jauh dengannya. Bagaimana tidak, sebagai seorang yang cukup banyak mempunyai teman, si Bejo mengerti betul bagaimana nasib teman-temannya selekas keluar dari pesantren. Ketika di pesantren hampir semuanya bercita-cita ingin menjadi da’I, minimal guru diniyah. Tapi apa daya, kebanyakan cita-cita temannya tersebut dipasung oleh pragmatism kehidupan masing-masing, terutama oleh bensin. Bensin mengurus keluarga, bensin wira-wiri silaturahmi, dan bensin perut, semuanya membutuhkan uang, ketika uangnya pas-pasan maka cita-citanya juga pas-pasan. 

Bejo tidak hendak menyalahkan teman-temannya maupun Tuhan sebagai konspirator kehidupan, toh Bejo pun juga sering diperkosa oleh pragmatism faktanya sendiri. Sejenak si bejo melihat kembali lembaran memori masa lalunya, tepat pada halaman di mana sang guru besar alm. KH. Ahmad Zarkasyi pernah berpesan: “saya akan lebih bangga kepada murid-muridku yang mau mengajar di surau di pucuk gunung, meskipun muridnya hanya 1 atau 2 orang saja”. Tapi di sisi lain dia juga masih terngiang-ngiang oleh pesan dosen Sejarahnya: “buatlah perubahan yang berarti dengan menjadi seorang yang mempunyai jabatan dan peran yang tinggi”. “Pilih mana ya?” si Bejo pun GALAU. Persis seperti ketika dia disuruh memilih mie ayam atau bakso?...sama-sama menggoda hasratnya. 

Menurutnya, dunia politik dunia yang penuh intrik, dan rentan dengan “bajigur” keblingeran, tapi sebenarnya dunia politik cukup membuat “adrenalin” keikhlasan benar-benar akan teruji, dan membuat “denyut jantung” nya berdebar dengan slogan: “politik membuat eksistensi manusia semakin jelas”. Bagaimana tidak, dalam pentas politik, kapasitas keilmuan dan kreatifitas akan benar-benar teruji dalam pentas ribuan tokoh-tokoh brilliant lainnya dalam skala nasional, dan akhirnya memaksa dia merombak daya laju atau cc mesin motor pribadinya, dari yang 150 ke 500 cc.

Bandingkan dengan mengaji di masyarakat yang adem ayem, “gemah ripah lohjinawi”, istiqomah dan tabah, tidak banyak persaingan, dan jauh dari sifat-sifat codot materialistis, surganya pun jelas. Nah, itulah yang membuat bejo agak sedikit kurang bergairah untuk menjadi guru ngaji, minim ujian atau low clash. Dalam benaknya, ujian-ujian faktalah yang membuat dia semakin mengerti aurat-aurat jati dirinya.

Akhirnya dia berijtihad dengan mengumpulkan jadi satu, dia menyimpulkan bahwa kekuatan dakwah adalah keikhlasan dan kejujuran. Entah itu dakwah di masyarakat maupun level politik Negara. Sehingga ujung-unjungnya dia memodivikasi dua pesan gurunya tadi: ““saya akan bangga kepada murid-muridku yang tabah mengajar di surau di pucuk gunung, meskipun muridnya hanya 1 atau 2 orang saja, dan yang berpentas di dunia politik tetapi kuat terhadap godaan-godaan dunia.”
Tahukah anda siapa si Bejo? Yang jelas dia adalah cita-cita dan harapan, sesuai dengan namanya….

0 komentar:

 
;