Kamis, 28 Februari 2013 0 komentar

MANUSIA SEMPURNA KARENA PERUBAHAN

Berubah adalah keniscayaan, satu hal yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Demikian kalimat yang sering kita dengar. Memang benar demikian, hidup adalah gerak, pindah, gesekan dan dinamis. Semua ikhtiar hidup manusia adalah untuk menggapai perubahan, merubah apa yang ada di benaknya kepada faktualisasi hidup, entah itu impian kaya, sukses, dan lain sebagainya. Dan tentunya perubahan juga pasti ada pada semua makhluk di alam ini, entah secara lambat atau cepat.   

Yang menarik adalah Allah swt memberikan tiap manusia startnya masing-masing untuk menuju impian perubahannya. Ada yang dimulai dari start penuh penderitaan ada yang sebaliknya, ada yang dimulai dari start kebodohan ada yang sebaliknya pula. Itulah alam kehidupan kita ini, tidak ada yang statis. Semuanya hanya untuk satu tujuan, yaitu hikmah.    
   
Adakah makhluk Tuhan yang anti perubahan?...hampir tidak ada, namun yang paling agak tepat dijadikan jawaban adalah malaikat. Alam mereka adalah alam yang statis, baku sebagaimana ketentuan Tuhan. Tidak ada satupun malaikat yang mengerti arti perubahan, yang mereka tahu hanyalah kepatuhan muthlak kepada Allah swt. Mereka tidak perlu mendaki terjalnya bebatuan hidup untuk menggapai kesempurnaan, tak perlu mengais sisa-sisa kebenaran dengan air mata, karena kebenaran sangat lekat dengan mereka, mereka tidak mengerti apa itu kerinduan dan kegembiraan.

Cerita dalam al-Qur’an tentang pertanyaan malaikat kepada Allah swt tentang penciptaan manusia adalah naluri intelektual mereka, bukan pertentangan dan pembangkangan. Sebagaimana pendapat Imam Ar-Rozi bahwa makhluk Tuhan terbagi atas empat jenis: pertama adalah makhluk yang hanya memiliki pengetahuan dan hikmah, tanpa nafsu dan syahwat, yaitu malaikat, kedua: yang hanya memiliki nafsu dan syahwat tanpa intelektual, itulah binatang, ketiga adalah yang tidak memiliki intelektual dan nafsu, mereka adalah tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya, dan yang terakhir adalah yang memiliki intelektual, hikmah dan nafsu serta syahwat secara bersamaan, merekalah manusia. Maka nalar intelektual malaikat bekerja secara spontan ketika Tuhan menanyakan mereka tentang penciptaan manusia, namun tanpa ada unsur nafsu yang menentang atau menolak Tuhan.

Namun sungguh kita harus benar-benar sadar, merupakan sebuah anugrah yang sangat luar biasa kita dijadikan sebagai manusia, makhluk yang elit dan unik, dan sangat istimewa. Bagaimana tidak, dengan dinamisasi kehidupan kita benar-benar diajari dan dituntun Tuhan kepada arti pengabdian. Cinta yang sejati hanya ada pada manusia, karena puncak mahabbah tercapai setelah melalui titik kulminasi perubahan suasana jiwa. Maka sungguh rugi ketika kita menyerah pada satu keadaan kita saat ini, atau sudah sangat puas dengan perubahan yang ada, karena masih akan ada perubahan-perubahan lainnya yang akan menghampiri jiwa-jiwa manusia, yang jelas mari kita jadikan semua perubahan-perubahan tersebut sebagai penguat keimanan kita kepada sang Pencipta. Siapkah anda dengan perubahan?...jika tidak maka anda sedang bermimpi….
                                                                                                                                                 
Minggu, 03 Februari 2013 0 komentar

Yang Penting Sadar……

Seorang illusionis yang pandai menghipnotis orang itu punya keahlian khusus, banyak orang tidak bisa, tapi kalau banyak yang bisa wah…pasti banyak kekacauan di mana-mana. Kemampuan menghilangkan kesadaran orang lain itu bahaya lo..makanya tidak ada kurikulum yang jelas yang mengajarkan itu. 

Manusia tidak suka dikendalikan oleh orang lain, kecuali kepepet, tapi sungguh kalau kita sadar bahwa banyak manusia tidak sadar bahwa dia itu tidak sadar. Buktinya, banyak ustadz malah mencabuli santrinya, guru menodai perannya…dengan melacur di warung-warung kebiadaan. Sadar itu penting, yang penting sadar, tapi malah orangnya sendiri yang suka berlaku tidak sadar. Sholat itu harus dikerjakan dengan sadar, begitupun ibadah-ibadah lainnya. Orang yang membunuh karena tidak sadar alias gila, hukumannya akan menjadi berbeda, atau bisa jadi malah bebas hukuman, cukup dikarantina di RSJ. 

Yang penting kita juga harus mengetahui kadar kesadaran kita sebagai manusia. Sehingga penting kiranya didirikan lembaga pengetes kesadaran. Kalau masjid sekarang ini membludak di batas kebutuhan orang-orang muslim, di mana-mana ada, seakan sebagai symbol kereligiusan, semakin banyak masjid semakin religiuslah masyarakatnya, yang hanya dijadikan gaung-gemaung suara adzan tanpa jama’ahnya. Masjid kan tempat orang-orang Islam itu sadar, sadar sebagai hamba Allah, tapi ternyata malah banyak yang kehilangan kesadaran. Seirama dengan bertambahnya jumlah masjid dan mushollah kok faktanya malah banyak juga ketidakbenaran. Itu tidak salah masjidnya, tapi salah siapa saya juga tak mengerti betul…

Pintu pertama taubat adalah mengakui kesalahan, alias sadar bahwa yang dilakukan itu salah. Kalau sadar saja tidak mau apalagi islah-islah selanjutnya. Bangsa kita ini juga sering tidak sadar, bahwa alamnya telah dipamah, dan umatnya dijajah. Yang busuk lagi adalah budaya pengerusakan yang dilakukan oleh orang-orang dari bangsa kita sendiri. Fenomena parpol gemar membeli artis dalam karung saat ini sungguh menunjukkan roman picisan mereka terhadap kekuasaan belaka. Masih ingat dalam benak saya ketika membaca kembali pesan sang plokamator Bung Karno: “ada penjakit jang kadang-kadang bahkan lebih hebat daripada rasa suku dan rasa daerah! Jaitu penyakit apa? Penjakit kepartaian”, begitu pesan soekarno. Bayangkan saja, seorang Nasar penyanyi dangdut yang lenjeh dipinang dan dikawini partai tertentu, itu membuktikan pengkaderan yang gagal, dan pemalakan instant dana pemilu. 

Makanya kita ini juga harus selalu sadar, bahwa ternyata pembodohan itu bukan datang dari musuh luar yang jauh dari mata, tapi adalah orang-orang terdekat kita, bangsa kita, dan harapan kita. Maka sadarlah bahwa demokrasi adalah kendaraan yang ber-bensin-kan kejelataan, bermesin kerakyatan, dan beroda kenistaan. Lebih parah lagi, ber-oli-kan tangisan, tangisan rakyatnya yang selalu sadar bahwa penderitaan benar-benar mengancam…….


By: Rahmat Abdurrosyid, 29 Januari 2013




0 komentar

Sang Lentera

Kita semua adalah lentera, bakal lentera, minimal untuk keluarga kita, sudahkah kita menyiapkan bahan bakar lentera masa depan, seberapa banyak dan kuat?...kita sekolah dari TK hingga tingkat mahasiswa, puluhan tahun berlayar di lautan ilmu, dinahkodai kyai dan ulama, guru dan orang hebat lainnya. Sungguh dekat kita dengan ilmu, mulai dari bangun pagi hingga tidur kembali. Akses-akses keilmuan pun sangat mudah didapatkan, dari berbagai fasilitas yang sangat lengkap, mulai dari HP, televisi, internet, koran, buku dan lain sebagainya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa sekarang ini adalah zaman di mana manusia sudah sangat penuh dengan ma’lumat keilmuan, entah ilmu umum maupun agama, masjid di mana-mana, musholla persis seperti jamur yang tumbuh subur di musim hujan, begitu menjamur di setiap lorong-lorong desa. Di mana-mana ada mau’idloh hasanah, sering mampir ke telinga kita. Ibarat pohon, kita itu tumbuh di tanah yang subur, dengan pupuk yang berkualitas dan cuaca yang sangat mendukung, tapi mengapa justru malah menghasilkan preman-preman kekerasan. Jangankan yang tidak mampu sekolah, justru keblangsatan sangat banyak dilakukan oleh orang-orang berpengetahuan kelas berat, berpendidikan tinggi. Fakta yang baru-baru ini terjadi adalah bagaimana seorang presiden PKS yang terkenal sebagai orang yang sangat religious dalam partai yang terlihat super religious jatuh dalam kubangan korupsi, kalau sudah demikian, lalu kepada siapa kita akan mempercayakan negri ini?....

Maka bukan saatnya lagi kita menyalahkan siapa-siapa, tapi lihatlah diri kita, yang begitu dekat. Kita bangsa Indonesia lebih pada posisi menjalani ritual-ritual keagamaan hanya sebagai rutinitas saja, belum menyentuh titik ihsan dan ketauhidan yang benar, sehingga akan mudah kalah oleh pragmatisme kehidupan yang begitu kasar. Dan yang terpenting adalah kita harus benar-benar memahami kekuatan iman dan Islam, sebagaima yang dikatakan pepatah: halakamruun man la ya’rif qodrohu (akan hancur orang yang tidak mengetahui kadar kemampuannya). Lebih baik, kita harus selalu merasa kurang dan kurang dalam masalah keimanan, agar terus bisa memperbaiki diri. 

Mari kita meluruskan niat dengan selurus-lurusnya, menegakkan idealisme keagamaan dengan sekokoh-kokohnya, dimulai dengan membentuk keluarga yang berkualitas dari pribadi kita yang berkualitas, khususnya bagi lelaki yang akan menjadi komandan keluarganya. Tentu kita akan dapat menegakkan kebenaran ketika kita telah sampai kepada kebenaran tersebut, sebagaimana kata mahfudlot: kaifa yastaqiimudzllu wal ‘uudu a’waj?..(bagaimana bayangan sebuah tongkat akan lurus, jikalau tongkat itu sendiri justru bengkok?..maka itulah pribadi, pribadi yang mutsla adalah yang benar-benar dapat menyerap saripati ihsan ke dalam dirinya, memasukkan partikel-partikel keilmuan ke dalam qolbunya, bukan hanya otaknya.  Intinya, mari kita labuhkan hati dan akal kita kepada ridlo Tuhan, jalan Tuhan, dan aturan Tuhan, menuju ke kesempurnaan ketauhidan, di mulai dengan selalu haus kebenaran, dan lapar keilmuan, merasa diri kita selalu kurang. 

Hidup kita ini memang berbeda, alamnya menyuguhkan tingkat godaan yang begitu menggelora, ibarat sungai zaman kita ini adalah zaman kekeruhan, penuh pencemaran limbah-limbah kejahatan zaman, semakin jauh era kita ini dari hulu Rasulullah saw, semakin jauh dari sumber-sumber kejernihan, semakin jauh dan sangat jauh. Olehkarenanya, mari kita bentengi aliran sungai hati kita dengan kuat, karena cobaan hidup semakin berat, sulit saat ini kita membedakan mana yang hak dan mana yang batil, persis seperti air dan bensin yang telah bercampur, diminum bikin sakit perut, dibuat bahan bakar malah akan merusak mesin. Wahai sahabat, kita adalah lentera, di dunia yang penuh lampu disco kebatilan, yang suatu saat listrik keiblisannya akan padam, maka kita akan selalu tampil di depan, sebagai lentera-lentera kebenaran….setiap dari kita adalah lentera….

By: Rahmat Abdurrosyid, 1 Feb 2013
0 komentar

Nilai Hidayah

Manusia sudah sangat karib dengan nilai. Dari kecil sudah lekat dengan nilai, entah nilai pelajaran, nilai keimanan atau nilai keduniaan. Sebenarnya manusia tidak manusiawi karena minim nilai, maka manusia tidak bisa bereksistensi tanpa nilai. Karena Allah swt menciptakan kehidupan ini penuh dengan nilai, nilai kebenaran, nilai ketauhidan. Manusia yang tanpa sadar berbuat apa saja di muka bumi ini adalah berbuat dengan nilai untuk suatu nilai tertentu. 

Sejarahnya mengapa saya menulis di kertas elektronik ini adalah karena ternyata saya itu benar-benar bebel (bodoh). Saya tahu kebodohan saya setelah membaca tulisannya KH. Musthofa Bisri, atau yang biasa dipanggil Gus Mus tentang pembentukan akhlak. Saya benar-benar terperangah, karena ternyata saya baru bisa memahami siapa itu ulama dari tulisan tersebut. Padahal usia saya selama 12 tahun di pesantren selalu terselip di pendengaran saya tentang ulama, bergumul dengan ulama, sampai sering mimpi ulama, tapi rasanya paham saya kali ini setelah membaca pesan Gus Mus begitu berbeda, begitu mendalam, begitu menancap dalam sanubari, subhanallah. Mungkin karena kesederhanaan tulisan dan bahasa beliau, atau kebersahajaan sikap beliau, atau mungkin karena kualitas keihklasan beliaulah yang menjadikan tulisannya begitu mempesona. Saya sampai hamper tidak percaya, bahwa saya baru di usia 25 tahun ini mengerti usiapa itu ulama. 

Persis seperti beberapa hari yang lalu saya membaca ayat Al-Qur’an tentang perbedaan umat, saya juga baru ngeh waktu itu, sebelum-sebelumnya memang paham artinya tapi tidak pada titik ketenangan jiwa. Seakan-akan rasa paham itu ketika masuk terasa begitu sejuk di hati, nah itulah makanya hidayah Allah lewat al-Qur’an yang kita baca secara spontan masuk ke hati adalah lebih mantab terasa dan bertahan lama, daripada yang kita proses lewat pengkajian dan penelitian. Sehingga hidayah yang langsung menancap di hati kita akan lebih dahsyat daripada partikel-partikel keilmuan yang melekat di otak kita.

Maka itulah hidayah, dan hidayah adalah nilai yang sangat luar biasa buat kita. Proses Allah menanamkan hidayah kepada kita adalah proses penanaman nilai kepada sanubari kita, dan menjadi nilai muthlak. Untuk selalu mendapatkan dan mempertahankan nilai-nilai ketuhanan itu maka seyogyanya kita memoles dan membersihkan bandara hati kita untuk tempat berlandasnya hidayah-hidayah tersebut. 

Sehingga kita harus selalu berusaha dengan sekuat upaya, agar saya selalu siap menjadi anak didik Allah swt, agar terus lebih banyak lagi dilekatkan nilai-nilai keilmuan dan ma’rifat akan hakekat kebenaran, untuk kemudian kita juga harus siap mendidik orang-orang di sekitar kita, sebagaimana agama dahulu telah mengasuh kita semua.

By: Rahmat Abdurrosyid, 31 Januari 2013
0 komentar

Mari Berbenah Untuk Bangsa

Pada dasarnya politik itu benar, bertujuan benar, asal dijalankan oleh orang-orang yang benar. Kedekatan politik dengan kekuasaan menjadikkannya kendaraan super mewah yang menarik minat banyak manusia penyembah keglamoran. Pertanyaannya..mampukah jatidiri politik yang sebenarnya sebagai pensejahtera masa bereksistensi dalam genggagaman manusia jahannam?..fakta yang terbarukan kita mendapati bersama, bagaimana sosok LHI dari partai besar yang bervisikan dakwah Islamiyyah jatuh tersungkur, kalah oleh pragmatisme politik. Ini sebagai bukti, betapa hancurnya dunia politik Indonesia, lalu kepada siapa kita akan percaya?...malaikat pun bisa berubah menjadi iblis karena racun politik, itu real. 

Maka, kita pun menyadari, sungguh berat tantangan terjal perpolitikan. Semua partai butuh dana segar, entah dari manapun, yang halal atau yang haram. Sudah waktunya mereka membuat badan usaha untuk menghidupi kebutuhan pribadi, bukan mendompleng seperti bayi yang selalu harus disusui oleh ibu negaranya. Korupsi memang tidak murni karena kepentingan personal, namun kebanyakan karena kepentingan partai. Totalitas kepada partai sebagai kader partai yang telah membesarkannya, menjadi Tuhan-Tuhan baru mereka. Seakan mereka diciptakan oleh partai-partai itu, diberi rizky dan diayomi, mereka lupa bahwa partai hanyalah ibu tiri mereka. Itu membuat para elit partai bersikap pragmatis, instant, dan oportunis. Kita lihat bahwa uang adalah darah kehidupan bagi vampire-vampir politik, demokrasi memang sangat mahal. Dan akankah kita menyimpulkan bahwa politik bukanlah ranah orang-orang benar?...sehingga kita akan lepas tangan?...membiarkan mereka menghisap darah kehidupan rakyat, memakan rerumputan hijau di padang kemlaratan?..kita memang sudah lama perang dengan orang-orang yang mengaku sebagai wakil kita, pelindung kita. Kita tak kenal lelah mengawasi, mengintrogasi dan mengevaluasi mereka, sampai mempertaruhkan nyawa. Perjuangan kita belum berakhir, hingga mereka benar-benar melangkah dengan kaki kita, berdetak dengan detak jantung kita, bergerak dengan gerak otot kita dan bermata hati dengan mata hati kita. Mari terus kita lanjutkan, untuk tak kenal waktu mengingatkan, mengarahkan wakil-wakil kita. Kalau wakil kita jombrot maka tentu saja kita akan jombrot, mereka tidak bisa seenaknya saja memutuskan tali batin kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Sebagaimana pesan agama untuk selalu saling mengingatkan dalam kebenaran.

Rumah politik adalah rumah kekuasaan dan uang plus wanita. Harta, wanita dan tahta adalah trilogy iblis yang begitu kuat mengikat wakil-wakil kita, utusan kita, harapan kita. Mari kita sadarkan mereka, bangunkan mereka. Semua bukan tidak bisa, selama kita yakin bahwa kebenaran akan mengalahkan kebatilan. Olehkarenanya, wakil kita adalah orang-orang yang lahir dari rahim bangsa, yang besar dari lingkungan kita semua. Mungkin masih banyak kekurangan kita dalam menasehati, kurang sabar, lebih suka arogan terhadap wakil rakrat, kita harus ingat mereka bukan siapa-siapa, mereka adalah anak kandung kita, atau mungkin ayah dan ibu kita, yang dulunya bercita-cita mengayomi manusia. Penampakan keduniaan terpampang jelas dalam kehidupan politik, maka maklum jika banyak yang terkecoh, terpeleset oleh licinnya tipuan dunia. Kita mungkin juga belum tentu selamat ketika dalam posisi seperti mereka, maka mari saling menyadari kemudian mengingatkan.

Bagaimana kita akan meluruskan mereka kalau kita saja masih belum berbenah diri?? Akankah yang mengingatkan justru kaburo maqtan?....wakaifa yastaqiimudzillu wal ‘uudu a’waj? (bagaimana bayangan sebuah tongkat akan lurus jikalau tongkat itu sendiri bengkok?).mari berbenah untuk bangsa, setiap 1000 langkah dimulai dari langkah pertama yang paling sederhana.

 
;