Minggu, 03 Februari 2013

Cinta Dan Nafsu


Menjadi sebuah kewajaran seorang pemeluk suatu agama tertentu akan begitu bersemangat untuk mencari ridlo Tuhan yang ia sembah. Seluruh kehidupannya akan berusaha sekuat tenaga dipersembahkan hanya untuk-Nya, terfokus. Hidup ini apa, hanya sampah, sampah yang nanti akan dibuang kecuali saripati amal. Sampah yang akan dilupakan, dicampakkan kecuali kandungan kompos nilainya. Hidup ini hanyalah kelapa perasan yang akan diambil santannya, untuk dapat digunakan dengan sebaik-baiknya, sisanya hanya sampah.

Dikatakan permainan, memang hidup ini permainan, tapi gak bisa main-main, ada aturan mainnya. Maka hampir semua sugesti hidup kita ini hanya untuk Allah swt. Usaha, sekolah, keluarga dan anak kita dan semua embel-embel kehidupan adalah pajangan dinding saja, yang nanti akan ditanyakan pertanggungjawabannya kepada sang Pencipta. Setiap dari kita adalah actor utama neraka atau surganya. Maka entah apa yang kita bangun di dunia ini, surga atau neraka, hotel bintang lima, atau asrama sempit saja.
Semangat ketuhanan ada bergelantungan di setiap hati manusia, itu sudah kudrat, fitroh bawaan. Tapi setelah lama bergumul dengan dewasanya dunia, panjangnya rel kereta fakta, beserta aneka ragam penumpangnya, membuat kadar ketuhanan itu semakin luntur, persis seperti baju yang terus dicuci dan luntur, memang begitulah panasnya rinso kehidupan, mampu melunturkan apa saja, dan siapa saja. 

Ada yang lunturnya separo-separo, maka baju keimanannya terlihat belang, ada pula yang sampai jarang diberi rinso agar awet warnanya, tidak banyak bergumul dengan panasnya rinso kehidupan, lebih baik menyepi. Semangat ketuhanan adalah semangat yang total, asal jangan kebablasan.  Karena Tuhan saja sering mengingatkan kita, bahwa keimanan harus diiringi oleh kepekaan social, Rasul pun bersabda: “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir agar menghormati tetangganya”. “dan cintailah orang-orang beriman sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri maka kamu akan menjadi orang yang beriman”. Tuhan sangat tidak egois, bukan pencemburu, otomatis Rasul-Nya pun begitu. 

Kita saja yang sering merasa harus menolong Tuhan, agama Tuhan dan paling ‘alim. Berusaha selalu mendlohirkan keimanan yang berlebihan di hadapan orang lain. Fenomena sikut-sikutan ketika mencium hajar aswad menjadi bukti, bahwa banyak yang dengan semangat tinggi kehajian agar dapat mengejar tumpukan fadlilah-fadlilah di dalamnya membuat mudah sekali didomplengi oleh nafsu dan ambisi, bukan cinta suci. Orang berebut kenduren haji yang mereka sendiri tak mengerti apa itu haji, dia nafsu atau cinta?...beda tipis memang. Cinta kepada Tuhan dan agamanya itu bukan cinta buta, cinta yang berkelas, maka harus dengan kedewasaan yang berkelas pula, bukan membati buta. 

Ada sebuah cerita tentang Syeikh Sariy as-Saqaty, seorang ‘arif, murid sufi besar Ma’ruf Karkhy, yang pernah berkata, “tiga puluh tahun aku beristighfar, memohon ampun Allah atas ucapanku sekali ‘alhamdulillah’!” “Lho, bagaimana itu?” Tanya seseorang yang mendengarnya. “terjadi kebakaran di Baghdad,” kata Syeikh menjelaskan, “lalu, ada orang yang datang menemuiku dan mengabarkan bahwa tokoku selamat tidak ikut terbakar. Aku waktu itu spontan mengucap, “Alhamdulillah!” Maka, ucapan itulah yang kusesali selama tiga puluh tahun ini. Aku menyesali sikapku yang hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan orang lain.” Bercermin dari cerita di atas, seberapa besarkah kepekaan social kita?...














0 komentar:

 
;