Aku menulis tulisan ini agar
tulisan ini saja yang berbicara, kepada Tuhan. Aku malu Tuhan, untuk selalu
mengadu, maka surat ini adalah orang keduaku. Dia adalah pesuruhku sebagai jubir
deritaku, dosaku dan kesemrawutanku, terimalah Tuhan. Aku lusuh oleh peluh,
peluh dosa, maka mulutku tak pantas berbicara, kepada-Mu Tuhan. Tanganku adalah
makelar kebiadaban tak pantas meminta, meminta maghfiroh. Suaraku…suaraku telah
parau karena liur-liur kebohongan, sungguh berat Tuhan, maka surat ini bukan
perwakilan dari tangan dan jariku, bukan pula teriakan suaraku, atau ucapan
lisanku, tapi dia adalah hatiku Tuhan. Dia adalah aku dan aku adalah dia. Biasanya
aduanku ku titipkan kepada ibu bapak dan teman-temanku, tapi kali ini tidak,
ini berbeda, aku ingin bertatap muka dengan-Mu.
Tulisan ini bukanlah kata…Tuhan,
dia adalah gambaran rimba hatiku, yang sebenarnya memang tidak mudah
digambarkan, paling tidak mendekati. Hati itu memang Engkau yang tau, tak perlu
ku susah payah mengejawantahkannya, lewat apa saja. Tapi, begitulah manusia
Tuhan, butuh motivasi, dari visualisasi, butuh yang tersurat dari yang
tersirat. Namun Kau tak perlu membalasnya lewat surat pula Tuhan, aku tahu Kau
adalah Maha Raja, bisa membalasnya dalam nikmat atau petaka, aku sungguh
berserah pasrah. Tapi memang sudah menjadi kewajibanku untuk memohon kepada-Mu.
Semua berbeda ketika saya mendapi
jati diri saya, yang selalu ku ingin bercita-cita menjadi manusia yang
sempurna, namun ya begitulah akhirnya, yang sempurna hanya tema, yang ma’sum
hanyalah actor-aktor kelas dunia…dan akhirat. Aku ini siapa, hanya hamba-Mu
yang sok hebat, merasa paling benar, tapi justru dengan perasaan sok benar itu,
Kau malah menunjukkanku ribuan kekuranganku, terima kasih Tuhan. Aku merasa
actor kelas dunia, dunia yang ternyata dunia rasa, ilusi dan mimpi.
Yang paling sulit adalah
membersihkan benalu buruk sangka kepada kehidupan, alam dan sekitar. Semua
adalah hasil dari pantulan kelakuan kita, sebagai pelaku utama, sisa dari
mengapa ku selalu gagal adalah urusan-Mu ya Allah., mengapa ku selalu layu dan
sendu adalah kegalauanku dalam menerima dan menjalani kebenaran. Benar memang
pesan Imam Ghozali dalam kitabnya bidayatul hidayah, bahwa kualitas kesolehan
hamba adalah kecepatan seorang hamba tersebut dalam menerima dan menjalankan
kebenaran. Aku ini ternyata turunan Rahwana berwajah Kresna, aku malu Tuhan,
ampuni aku dan orang-orang sepertiku dalam iman dan gerak langkah kemanusiaan.
Sebelum ku menjadi duri-duri masyarakat, bangsa dan agama. Dan pesanku kepada
kawan-kawanku: mari saling mendoakan, dan selamat menyelam dalam kolam
muhabasah, bertelanjang dada atas dosa-dosa kita………!!!
By: Rahmat Abdurrosyid, 30 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar