Minggu, 03 November 2013 0 komentar

Spirit Sumpah Pemuda Spirit Hijrah

Sejarah bulan Hijriah
Sejarah mencatat, bahwa Sayidina Umar bin Al-Khattab adalah sosok yang pertama kali menetapkan hijrah nabi sebagai event terpenting dalam penaggalan Islam. Hal ini terjadi pada tahun ke-17 sejak Hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah. Dan itu ketika Umar menjabat sebagai Khalifah yang kedua.    
Sebagaimana biasanya, Singa Padang Pasir ini selalu memusyawarahkan setiap problematika umat kepada para sahabatnya. Ada yang menginginkan, tapak tilas sistem penanggalan Islam berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan, awal diutusnya Muhammad Saw sebagai Rasul yang merupakan waktu paling tepat dalam standar kalenderisasi. Bahkan, ada pula yang melontarkan ide akan tahun wafatnya Rasulullah Saw, sebagai batas awal perhitungan tarikh dalam Islam. Walaupun demikian, akhirnya sayidina Umar r.a. lebih condong kepada pendapat sayidina Ali karamallâhu wajhah yang memilih peristiwa hijrah sebagai tonggak terpenting daripada event-event lainnya dalam sejarah Islam. Beliau berpendapat: “Kita membuat penaggalan berdasar pada Hijrah Rasulullah Saw, adalah lebih karena hijrah tersebut merupakan pembeda antara yang hak dengan yang batil”. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 1 Muharam, bertepatan dengan 16 Juli 622 M, hari Jumat.

Muharrom dan Puasa Asyuro                                                                    
Muharram adalah bulan di mana umat Islam mengawali tahun kalender Hijriah berdasarkan peredaran bulan yang disebut Qomariah bukan menggunakan ukuran peredaran matahari dan jika menggunakan hitungan peredaran matahari di sebut tahun Syamsiyah, Miladiah dan Masehi.                                                   
Muharram adalah bulan Pengampunan Dosa. Kata Muharram artinya “dilarang”. Sebelum datangnya dakwatul Islam, bulan Muharram sudah dikenal sebagai bulan suci dan pada bulan ini dilarang untuk melakukan hal-hal yang agung seperti peperangan dan pertumpahan darah. Bulan Muharram banyak memiliki keistimewaan. Khususnya pada tanggal 10 Muharram. Beberapa kemuliaan tanggal 10 Muharram antara lain Allah SWT akan mengampuni dosa-dosa setahun sebelumnya dan setahun ke depan. (HR. Tarmidzi)
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram . Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (At-Taubah 36)   
              
Jumlah bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, tersebut dalam Kitab Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Di antara kedua belas bulan itu ada empat bulan yang disucikan. Keempat bulan itu adalah, Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Selain keempat bulan khusus itu, masih ada bulan Ramadhan yang memiliki predikat sebagai bulan paling suci dalam satu tahun. Keempat bulan tersebut secara khusus disebut bulan-bulan yang disucikan karena ada alasan-alasan khusus pula, bahkan para musyrikin mengakui keempat bulan tersebut disucikan.

Keutamaan Bulan Muharram Nabi Muhammad SAW. bersabda, "Ibadah puasa yang paling baik setelah puasa Ramadan adalah berpuasa di bulan Muharram." Meski puasa di bulan Muharram bukan puasa wajib, tapi mereka yang berpuasa pada bulan Muharram akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah SWT. Khususnya pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan hari “Asyura”,  
Sejumlah hadist mengisyaratkan bahwa puasa di hari “Asyura” hukumnya sunnah. Juga ada beberapa hadits menyarankan dan di ambil istimbat oleh Mujtahid Muthlaq agar puasa hari “Asyura” diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari “Asyura”. Alasannya, seperti diungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW., orang Yahudi hanya berpuasa pada hari “Asyura” saja dan Rasulullah ingin membedakan puasa umat Islam dengan puasa orang Yahudi. Oleh sebab itu ia menyarankan umat Islam berpuasa pada hari “Asyura” ditambah puasa satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya (tanggal 9 dan 10 Muharram atau tanggal 10 dan 11 Muharram).

Makna Hijrah dan Spirit Sumpah Pemuda                                  
Sesungguhnya momentum pergantian tahun baru Islam sudah sepantasnya memberikan makna semangat baru untuk berbuat amal kebajikan, untuk  bekal menghadap sang Ilahi.  

Waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada  Allah SWT, Sang Pemilik Zaman.     

Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang. Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi.

Berhijrah, berarti berpindah secara moral, mental, dan perilaku dari perbuatan buruk yang merusak tatanan kehidupan sosial pada perilaku yang baik. Hijrah harus dilakukan secara masif dan bersama-sama oleh seluruh komponen masyarakat dan bangsa.

Masih terasa aura kebangkitan para pemuda pada hari sumpah pemuda beberapa hari yang lalu, hingga kemudian semangat itu bertambah kuat dengan datangnya tahun baru Hijriyyah beberapa hari lagi. Sebuah event yang luar biasa untuk kita sebagai pemuda mampu dengan baik memahami makna sumpah pemuda dan spirit hijrah. Pemuda menjadi tolak ukur yang cukup sentral dalam perubahan, perubahan yang dinantikan bangsa dan negara. Perubahan pemuda Islami harusnya diawali dengan kekuatan iman dan taqwa serta diaplikasikan lewat perbuatan yang nyata dalam masyarakat. Itulah awal hijrah untuk menjadi pemuda yang sejati.

Budaya barat adalah musuh utama pemuda saat ini hingga melupakan budaya yang Islami. Budaya begitu berpengaruh bagi pembentukan karakter pemuda yang melebur dalam lingkungan. Diantara budaya yang sangat mewabah adalah pacaran, terbuai dengan pornografi/pornoaksi serta budaya malas. Semua pengaruh budaya negatif tersebut dapat ditangkal lewat kesadaran yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai agama, dan tahun baru Islam kali ini menjadi start penting dalam perubahan. Semoga kita semua dapat menjadi teladan yang baik bagi pemuda Indonesia. Itulah Hijrah yang sesungguhnya. Semangat Sumpah Pemuda semangat Hijrah.


Sumber: Repubilka.or.id dan Karangan Pribadi
Kamis, 12 September 2013 0 komentar
Hubungan Hadis dan Al-Quran
Oleh: Dr. M. Quraish Shihab 
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama –seperti definisi Al-Sunnah– sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.

Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi’u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi’u Allah wa athi’u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi’u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu –dalam kondisi tertentu– walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka’ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi’u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-’Amr tidak dibarengi dengan kata athi’u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa’ ayat 65.
Jumat, 23 Agustus 2013 0 komentar

MARI BERFIKIR POSITIF

Oleh : Muchlis M. Hanafi
Berfikir adalah sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang terambil dari bahasa Arab al fikr, yang berarti “kekuatan yang menembus suatu obyek sehingga menghasilkan pengetahuari”. Manakala pengetahuan atau pandangan yang dihasilkannya didukung oleh bukti-bukti kuat yang meyakinkan maka dinamakan “ilmu”. Sementara jika bukti-bukti tersebut belum meyakinkan, tetapi kebenarannya lebih dominan, maka disebut zhann (dugaan). Dan jika kemungkinan benar dan salahnya seimbang disebut syakk (keraguan). Sementara jika tidak didukung bukti, atau bukti tersebut lemah, sehingga kemungkinan salahnya lebih besar disebut wahm.

Akar kata fa, ka, ra, sampai pun ia berubah susunan (fa, ra, ka), memiliki makna seperti disebut di muka. Sebab al fark dalam bahasa Arab berarti “menyisiri sesuatu untuk mencapai hakikat yang sebenarnya”. Bedanya, menurut beberapa pakar bahasa, al-farak/ al-firk untuk sesuatu yang bersifat materil, sementara al-fikr untuk yang bersifat maknawi (Al-Mufradat Fi Gharib AI­Qur’aan 2/496).

Dengan demikian, berfikir merupakan sebuah proses cara pandang seseorang terhadap suatu obyek, baik itu nyata ataupun tidak, yang kemudian menghasilkan penilaian apakah obyek itu positif atau negative. Banyak hal tentunya yang dapat mempengaruhi hasilpenilaian tersebut, antara lain, yang bersifat internal; suasana hati, pemahaman dan penafsiran suatu informasi yang tidak lengkap, peristiwa yang dialami seseorang dalam kehidupan yang mendorong adanya pergeseran cara pandang terhadap sesuatu/orang lain. Yang bersifat eksternal antara lain faktor tingkat pendidikan, budaya, ekonomi, dan lain-lain

Berpikir positif adalah cara berfikir secara terbuka dan melihat segala sesuatu selalu memberi hikmah bagi pengalaman hidup. Sebaliknya, seorang yang berfikir negatif hanya merekam gambar kelam dari setiap kejadian atau keburukan pada seseorang. Pernahkah kita terpikir mengapa pita film yang umum kita kenal untuk mencuci gambar-gambar yang kita inginkan dikenal dengan film negatif. Mungkin karena kita hanya melihat bayangan hitam gelap dan kelabu di sana. Namun, bila kita bersedia mencuci dan mencetaknya dengan baik , kita akan dapati suansa indah penuh warna-warni sebagaimana yang kita harapkan. Demikian halnya dengan gambaran pikiran negatif; pikiran yang hanya merekam gambar kelam dari setiap kejadian. Kita takkan mendapati warna-warni kehidupan, karena cahaya ditangkap sebagai kegelapan. Untuk itulah, mengapa kita disarankan untuk selalu melihat segala sesuatunya dengan kacamata positif. Apalagi jika disadari, bahwa segala sesuatu di muka bumi ini berada dalam kendali Tuhan Yang Mahakuasa.
Minggu, 11 Agustus 2013 0 komentar

Sejarah Idul Fitri

Oleh Heri Ruslan 
Hakikat Idul Fitri adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan.

Jauh sebelum ajaran Islam turun, masyarakat Jahiliyah Arab ternyata sudah memiliki dua hari raya, yakni Nairuz dan Mahrajan. Kaum Arab Jahiliyah menggelar kedua hari raya itu dengan menggelar pesta pora. Selain menari-nari, baik tarian perang maupun ketangkasan, mereka juga bernyanyi dan menyantap hidangan lezat serta minuman memabukkan.

‘’Nairuz dan Mahrajan merupakan tradisi hari raya yang berasal dari zaman Persia Kuno?’’ tulis Ensiklopedi Islam.  Setelah turunnya kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadhan pada 2 Hijriyah, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda, ‘’Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.’’

Setiap kaum memang memiliki hari raya masing-masing. Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam Kisah Para Nabi dan Rasul, mengutip sebuah hadis dari Abdullah bin Amar, ‘’Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ’’Puasanya Nuh adalah satu tahun penuh, kecuali hari Idul Fitri dan Idul Adha’.’’ (HR Ibnu Majah).
Jumat, 09 Agustus 2013 0 komentar

Ramadhan, Mudik dan Kedermawanan

Oleh : Muchlis M Hanafi

Seperti biasa, setiap akhir Ramadhan terjadi pergerakan masa yang sangat luar biasa dalam rangka mudik; dari kota ke desa, atau dari kota ke kota.

Jutaan orang pulang ke kampung halaman untuk merayakan kebahagiaan bersama keluarga. Satu peristiwa yang tidak lagi hanya bernuasa religius, tetapi juga memiliki nilai sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik.

Dalam konteks berbeda, pada bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 20, tahun kedelapan hijriah Nabi bersama para Sahabatnya pernah mudik, setelah hampir delapan tahun dipaksa keluar (terusir) dari kampung halaman, Mekkah. Nabi yang terusir dari kampungnya itu sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh seorang pendeta, Waraqah bin Naufal, sebagai tanda kenabian. Pada hari itu, Nabi memasuki kembali kota Makkah dengan kemenangan sesuai janji Allah.

Sebelum itu, saat masih di Mekkah berjuang menyebarkan Islam, Allah pernah menurunkan sebuah ayat: Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali (QS. Al-Qashash : 85).
Rabu, 31 Juli 2013 0 komentar

Pemetaan Konflik Mesir


Dina Y. Sulaeman*
Pengantar: Dalam artikel panjang ini penulis akan melakukan pemetaan konflik dengan harapan agar publik bisa melihat situasinya dengan lebih jernih. Ini penting karena opini publik Indonesia atas konflik ini terlihat mulai keruh oleh sikap-sikap takfiriah. Yang tidak mendukung Mursi dituduh anti-Islam. Bahkan banyak yang seenaknya berkata: yang anti-Mursi pasti Syiah atau Yahudi (dan keduanya bersekongkol!). Jelas ini pernyataan yang tidak logis, tidak cerdas, dan semata didasarkan pada kebencian yang membabi-buta. Sebaliknya, yang menolak kudeta pun, belum tentu pro-Mursi atau pro-takfiri. Bahkan, negara yang paling awal mengecam penggulingan Mursi dan menyebutnya sebagai kudeta militer justru Iran. Sebaliknya, yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir justru Arab Saudi.

(1)   Ikhwanul Muslimin
Muhammad Mursi, doktor lulusan AS dan aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) naik ke tampuk kekuasaan dengan memenangi 52% suara dalam pemilu bulan Juni 2012. Jumlah turn-out vote saat itu hanya sekitar 50%. Artinya, secara real Mursi hanya mendapatkan dukungan seperempat dari 50 juta rakyat Mesir yang memiliki hak suara (karena ‘lawan’ Mursi saat itu hanya satu orang, Ahmad Shafiq, mantan perdana menteri era Mubarak). Dalam posisi seperti ini, bila benar-benar menganut azas demokrasi, idealnya Mursi melakukan pembagian kekuasaan dengan berbagai pihak.

Awalnya, Mursi memang memberikan sebagian jabatan dalam kabinetnya kepada tokoh-tokoh yang tadinya berada di pemerintahan interim militer. Namun sikap kompromistis Mursi tak bertahan lama. Pada bulan Agustus 2012, Mursi mulai melakukan ‘pembersihan’ di tubuh pemerintahannya. Bahkan pada bulan November 2012, Mursi mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua produk hukum yang dihasilkan anggota parlemen (yang didominasi Ikhwanul Muslimin) tidak bisa dibatalkan pengadilan. Dekrit ini ditentang kaum sekuler dan minoritas karena mengkhawatirkan produk UU yang meng- ‘Ikhwanisasi’ Mesir. Mereka pun berdemo besar-besaran di Tahrir Square.

Jumat, 26 Juli 2013 0 komentar

Indonesia, Turki, Mesir, dan Jalan Demokrasi

Oleh Nasihin Masha

Sebuah tulisan di The New Yorker, sebuah majalah bergengsi di Amerika Serikat, sedang menjadi trending topic di Twitter. Judulnya simpel saja, “Where is Morsi?” Sebuah tulisan ringkas oleh Amy Davidson. Satu kalimatnya yang menggelitik, “It is not healthy for democracy, or for model of democracy, when an elected head of state just vanishes.” Kalimat lainnya berbunyi, “The pro-coup crowds, including self-described liberals, have relied heavily on the argument that Brotherhood is fundamentally undemocratic.”

Dua kalimat itu menggambarkan dua situasi. Pertama, kudeta terhadap Mursi merusak ide demokrasi. Kedua, salah satu pembenar kudeta adalah tuduhan bahwa Ikhwanul Muslimin adalah organisasi yang antidemokrasi. Dua hal inilah yang membuat komunitas internasional menjadi ambigu dan berpecah. Lalu, tiba-tiba mereka disodorkan pada fakta tragis pascakudeta: pembunuhan, pembekuan aset, militerisme, pemenjaraan tanpa pengadilan, mengadu massa, menghadapi protes dengan senjata, dan seterusnya. Kaum liberalis sudah tak bisa berbuat apa-apa. Harga yang mahal dan setimpal dengan kekerdilan dan kepicikan sikap kaum liberalis.

Jalan sejarah tiga negara berpenduduk mayoritas Muslim ini memang menarik untuk dicermati: Indonesia, Turki, dan Mesir. Tiga negara yang memiliki posisi kunci di kawasan masing-masing. Tiga negara ini pernah dicengkeram militer selama bertahun-tahun. Bahkan, Turki sejak 1922. Sedangkan, Indonesia sejak 1966. Adapun, Mesir sejak zaman Sadat, 1970. Indonesia dan Mesir bahkan pernah berkolaborasi memainkan peran strategis di pentas dunia, yakni pada masa Sukarno dan Jamal Abdul Nasir. Bersama Jawaharlal Nehru (India), M Ali Jinnah (Pakistan), dan Ahmad bin Bella (Aljazair), mereka menghentak dunia. Mereka memerdekakan negeri-negeri di Asia dan Afrika. Mereka membangun poros Gerakan Non-Blok. Mereka menolak terlibat perseteruan Blok Komunis dan Blok Kapitalis.
Minggu, 14 Juli 2013 0 komentar

Rekam Jejak Hubungan Mursi dan Militer Mesir (Mursi vs SCAF)


Masih segar dalam ingatan dunia Internasional saat keruntuhan Mantan Presiden Husni Mubarak yang digulingkan warga Mesir, kini pemimpin Mesir kembali terjungkal dan mundur ke titik nol.

Tahun 2012 silam, Mesir memulai dari nol transisi demokrasi yang dipimpin Pimpinan Dewan Militer (SCAF) Marsekal Husein Thantawi. Sebagai penyelenggara negara, SCAF sukses menggelar pesta demokrasi pemilu Majlis Shaab dan Majlis Shoura.

Selanjutnya, segera digelar pemilihan presiden. Rakyat menuntut Dewan Militer yang dipimpin oleh Husein Thantawi agar segera mengalihkan kekuasaannya kepada pemerintahan sipil. Waktu yang diberikan selambat-lambatnya hingga 30 Juni 2012.

SCAF pun memenuhi tuntutan tersebut. Pada saat itu, SCAF-lah satu-satunya pemegang amanat rakyat yang legal secara konstitusional. SCAF sebagai wujud representasi presiden itu mempunyai kekuasaan penuh atas Mesir selama presiden Mesir baru belum terpilih.
Setelah berhasil menyelenggarakan pemilu, SCAF pun secara jantan menyerahkan tampuk kepemimpinan Mesir kepada Muhammad Mursi yang terpilih secara sah.
0 komentar

Ketika Demokrasi Mesir Dikebiri Militer dan Kelompok Sekuler

Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Sebuah drama sedang dimainkan di Mesir. Aktornya: kaum sekuler, liberal, sosialis, dan fulul (orang-orang dari rezim mantan Presiden Husni Mubarak) yang berkolaborasi dengan militer. Lawan mainnya: Ikhwanul Muslimin dengan sayap politiknya, Partai Kebebasan dan Keadilan, yang didukung oleh sejumlah partai Islam. Lakon yang dimainkan: bagaimana menjatuhkan seorang presiden yang dipilih secara demokratis, lantaran memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam pemerintahannya.

Sedangkan jalan ceritanya: pemerintahan yang dipimpim presiden pilihan rakyat yang sedang didemo oleh kelompok oposisi. Lalu militer negara itu yang semestinya netral dalam menyikapi unjuk rasa dua kelompok penentang dan pendukung sang presiden, justru memihak kepada kelompok oposisi. Ending-nya, militer mengambil kekuasaan negara dan memenjarakan sang presiden.

Ending tersebut tentu sementara. Belum final. Karena, drama di atas bukan dimainkan di panggung theater atau gedung pertunjukan. Drama itu nyata terjadi dalam kehidupan rakyat Mesir sekarang ini. Dikatakan 'ending sementara', lantaran para pendukung sang presiden sudah bertekad tidak akan tinggal diam. Mereka akan terus melawan dalam waktu pendek, sedang, dan panjang, apapun risikonya.
Rabu, 19 Juni 2013 0 komentar

istidroj

Oleh: Dr Ahmad Kusyairi Suhail, MA

Jika ada di antara kita, saat ini bergelimang banyak harta dan kemewahan atau meraih tahta dan menduduki jabatan bergengsi, jangan buru-buru mengucapkan Alhamdulilah, sebagai ungkapan syukur. Melainkan hendaknya, ia berkaca diri dan intropeksi.

Sebab, apabila semua itu didapat dari korupsi, suap atau cara-cara haram lainnya, semua kemewahan dunia dan jabatan yang nyaman itu bukanlah ni'mah (nikmat) yang harus disyukuri, melainkan justru merupakan niqmah (malapetaka) yang mesti diwaspadai.

Dalam terminologi syar'i (Islam) hal ini disebut dengan istidraj. Sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin 'Aamir RA, "Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas maksiat-maksiatnya, apa yang ia suka, maka ingatlah sesungguhnya hal itu adalah istidraj".

Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat 44 dari QS Al An'aam [6], yang artinya "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa" (HR Ahmad no. 17349 dan dishahihkan Al Albani di As Silsilah Ash Shahihah no. 414).
Minggu, 16 Juni 2013 0 komentar

sistem federal, sistem yang joz buat indonesia.....

Pakar Psikologi Politik Hamdi Muluk menyayangkan bentuk negara kesatuan. Ia mengusulkan ide pembentukan negara federal.
"Negara kita negara kesatuan, ketimpangan antara pusat dan daerah jauh. Banyak mudaratnya daripada bagusnya. Semua ukuran di pusat," kata Hamdi Muluk dalam diskusi di Hotel Morrissey, Jakarta, Minggu (5/5/2013).

Menurut Hamdi, Indonesia lebih cocok memakai sistem negara federal. Pasalnya tidak semua urusan menggunakan konsep sentralistik seperti saat ini.
"Kalau kita lihat negara federal itu pola ideal, efektifitas managemen enggak mungkin Sabang sampai Merauke sentralistik," ujarnya.

Ia mencontohkan pelaksanaan UN yang gagal karena memakai sistem sentralistik. Menurutnya, kebutuhan masyarakat lokal seharusnya diatur oleh pemerintah daerah.
"Maka Gubernur negara bagian yang berdaulat, politik yang hangat politik yang lokal. Negara federal secara empiris terbukti membuat daerah itu berkembang," imbuhnya.
Ia mengatakan negara-negara maju yang menggunakan konsep negara federal berkembang diberbagai bidang. Setiap negara bagian memiliki universitas berkualitas. Kemudian ekonomi bertumbuh dengan pesat.
0 komentar

Konsepsi Taufiq Kiemas

Oleh: Yudi Latif
Taufiq Kiemas, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), berpulang ke haribaan Ilahi, meninggalkan jejak penting bagi perikehidupan kebangsaan, konsepsi “Empat Pilar”. Secara semantik, bisa jadi banyak orang yang tidak setuju dengan penggunaan istilah “pilar”, terutama dalam kaitannya dengan Pancasila. Namun secara substantif, mestinya ada “kalimatun sawa” tentang pentingnya menjaga komitmen terhadap beberapa konsensus dasar kebangsaan.

Setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi dan konsensus bersama menyangkut hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan, dan kejayaan bangsa bersangkutan. Dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 30 September 1960 yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Sukarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi suatu bangsa: “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya.” (Sukarno, 1989: 64).

Setiap bangsa memiliki konsepsi dan cita-citanya sesuai dengan kondisi, tantangan, dan karakteristik bangsa yang bersangkutan. Dalam pandangan Sukarno, “Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mampunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya.” (Sukarno, 1958, I: 3).
Sabtu, 15 Juni 2013 0 komentar

Mengapa Abu Hurairah Lebih Banyak Meriwayatkan Hadits?

oleh: Ahmad Sarwat, Lc., MA
Jumlah yang sedikit atau banyak dalam meriwayatkan hadits, sebenarnya bukan ukuran dari sedikit atau banyaknya ilmu yang dimiliki para shahabat Nabi SAW. Bahkan kalau ada yang sama sekali tidak meriwayatkan hadits, jangan dulu kita anggap mereka tidak tahu isi materi hadits itu.

Sebab ada terlalu banyak faktor yang ikut berpengaruh. Tidak mentang-mentang seorang shahabat hidup lebih lama bersama Nabi SAW, lantas dia pasti meriwayatkan lebih banyak hadits. Dan sebaliknya, tidak mentang-mentang perjumpaannya dengan Rasulullah SAW lebih singkat, berarti lebih sedikit meriwayatkan hadits.

Semua itu dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Salah satunya adalah faktor profesi. Meriwayatkan hadits biasanya dilakukan oleh para shahabat yang menekuni bidang pengajaran ilmu. Padahal tidak semua shahabat berprofesi seperti itu.

Faktor lain adalah masa untuk meriwayatkan hadits. Kalau masa ini ada dan cukup panjang, bisa saja seorang shahabat banyak meriwayatkan. Sebaliknya, bila beliau tidak punya waktu untuk meriwayatkan, meski punya begitu banyak materi hadits, tetapi bisa saja sangat sedikit meriwayatkan.
Kamis, 13 Juni 2013 0 komentar

DR Rizal Ramli, Playmaker Kabinet Gus Dur

Oleh Adhie M Massardi
DALAM pemerintahan, Gus Dur menggunakan pola kepemimpinan (manajer) sepakbola. Anggota kabinet dipilih dari orang-orang yang memiliki karakter, visi dan kemampuan sesuai pola pemerintahan yang hendak dibangunnya. DR Rizal Ramli dipasang sebagai Menko Ekonomi karena gagasan dan karakternya yang berpihak (kepada rakyat) sesuai jalan politik ekonomi Gus Dur. 

Banyak orang tahu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah penggemar berat sepakbola. Bahkan sebelum mengalami gangguan serius pada penglihatannya akibat diabetes, Gus Dur banyak ditanggap media massa sebagai komentator bola yang analisanya sering mencengangkan.

Tapi sedikit orang yang tahu bahwa sepakbola bagi Gus Dur bukan sekedar hobi dan tontonan menghibur. Ada filsafat sepakbola modern, antara lain fair play, team work, dan dinamika organisasinya yang fleksibel, membuat Gus Dur terpesona, yang kemudian banyak mempengaruhinya dalam mengambil keputusan, khususnya dalam menjalankan roda pemerintahan.

Kabinet Persatuan Nasional dibentuk Gus Dur (Oktober 1999) dengan konsep membangun sebuah tim nasional (timnas) sepakbola itu. Sebagaimana di negara-negara lain, timnas dibangun bukan untuk menghadapi klub-klub lokal. Tapi untuk menghadapi persaingan dan berkompetisi dengan timnas (pemerintahan) negara-negara lain. Bahkan negara-negara kuat seperti AS dan Eropa.
Sabtu, 08 Juni 2013 0 komentar

Membumikan Pancasila

Oleh Yudi Latif

Sebuah kongres bertajuk “Strategi Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila” baru saja dihelat di kampus Universitas Gadjah Mada (31 Mei-1 Juni). Pertanyaan sentral kongres tersebut adalah bagaimana idealitas nilai-nilai Pancasila bisa dibumikan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara?
Pertanyaan itu mewakili kesadaran banyak orang dalam menyoal Pancasila. Setelah 67 tahun Pancasila dilahirkan, keluhuran nilai-nilainya sebagai dasar dan haluan bernegara terus diimpikan tanpa kemampuan untuk membumikannya.

Sebuah penantian kesiasiaan menyerupai kisah Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Alkisah, Vladimir dan Estragon berhari-hari menanti di jalan sunyi kedatangan makhluk misterius bernama Godot. Setelah yang dinanti tak kunjung datang, keduanya memutuskan untuk pergi. Estragon: “Baiklah, haruskah kita pergi?” Vladimir: “Ya, mari kita pergi.” Meski begitu, keduanya tidak bergerak, tetap di tempat.

Waktu terus berlalu, meninggalkan bangsa Indonesia terus menanti pendaratan mesiah Pancasila. Penantian yang tak kunjung datang melahirkan sumpah serapah. Dalam kaitan ini, warisan terburuk dari pemerintahan otoriter adalah ketidaksanggupan warga untuk membayangkan sisi-sisi baik dari masa lalu. Masa lalu dipandang sebagai sumber kutukan. Pancasila yang diindoktrinasikan di masa lalu lantas ramai-ramai dihapus dari kurikulum persekolahan dan kesadaran kenegaraan.
Sabtu, 01 Juni 2013 4 komentar

ketika fatwa wahabi bergandengan mesra dengan zionis

Beberapa tahun yang lalu ketika usiaku masih belasan tahun dan sedang mengenyam pendidikan di sebuah Pesantren, aku mendapati selebaran yang berisi peringatan terhadap kaum Muslimin untuk mewaspadai misi Zionis, diantara yang aku ingat adalah :
1. Pisahkan umat Islam dari ulamanya
2. Pisahkan umat Islam dari Nabinya
3. Pisahkan umat Islam dari kitab sucinya (Al-Quran )
4. Pecah belah dan hancurkan!

Beberapa tahun setelah aku kembali ke kampung, aku dapati fenomena Salafi Wahabi. Dan ketika aku mencermati dogma (ajaran) serta cara mereka “berdakwah” (menyampaikan ajarannya), timbul kecurigaan kuat mereka adalah kaki tangan Zionis. Kecurigaanku bukan tanpa alasan, berikut mari bersama kita cermati secara kritis dengan fikiran dan hati yang jernih tentang beberapa fatwa Salafi Wahabi sekaligus efek yang terjadi dalam konteks keselarasan fatwa-fatwa tersebut dengan misi Zionis:
0 komentar

Kupas Tuntas Tentang Isbal

 Seiring dengan arus kebangkitan Islam tanpa adanya khilafah islamiyah, banyak kita temukan aktifis–aktifis Islam yang membentuk organisasi atau golongan. Kita harus berbangga diri dengan mereka yang semangat dalam menegakkan hukum Allah dan sunnah Rasulullah, mereka berlomba–lomba dalam melaksanakan sunnah Rasulullah. Akan tetapi, selalu saja ada perbedaan pendapat dari setiap golongan. Salah satunya adalah masalah isbal atau lebih dikenal dengan menjulurkan pakaian dibawah mata kaki. Mereka sering berselisih paham dengan hukum isbal . Ada yang mengatakan haram dan ada yang mengatakan boleh apabila tidak dengan sombong. Tapi yang sangat disayangkan, ada diantara aktifis-aktifis Islam tersebut yang berlebihan dalam mengkritik sampai-sampai ada yang mencaci maki. Padahal ini hanyalah masalah fiqh semata yang dari dahulu sudah diperselisihkan oleh ulama-ulama. Biasanya hal ini dimulai dari aktifis-aktifis yang mengharamkan isbal secara mutlak. Sementara pihak yang diserang, tidak terima dan melakukan pembelaan dengan hujjah-hujjah yang mereka miliki. Penulis bingung melihat fenomena ini. Apakah mereka tidak sadar dengan masalah isbal yang sejak dahulu para ulama sudah berselisih paham? Mereka hanya melakukan siaran ulang saja.
0 komentar

Toleransi Syari'at Terhadap Adat Istiadat

Sudah menjadi sunnatullah jika manusia diciptakan Allah Swt. dalam keadaan selalu berbeda. Perbedaan tersebut tidak hanya mencakup urusan dunia, melainkan masuk dalam ranah hukum syareat agama yang mulia.
Allah Swt berfirman :
ﻭَﻟَﻮْ ﺷَﺎﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻟَﺠَﻌَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺃُﻣَّﺔً ﻭَﺍﺣِﺪَﺓً ۖ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺰَﺍﻟُﻮﻥَ ﻣُﺨْﺘَﻠِﻔِﻴﻦ O اِﻻَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia umat yg satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang yang Dia beri rahmat. (QS. Hud 118-119.)

Dewasa ini banyak sekali terjadi perbedaan panjang tak berkesudaan yang menjadi konsumsi orang awam. Tak ayal, jika terjadi berbagai macam hujatan, cacian, atau penghinaan di dalamnya. Hal itu dikarenakan perbedaan tersebut hanya boleh di hadapi oleh para ulama yang paham serta mengerti agama dan adab ketika berbeda. Bukan sebagai bahan yang boleh di sikapi oleh setiap orang.

Perbedaan yang saya maksud di sini adalah perbedaan yang berkaitan dengan urusan agama. Adapun perbedaan yang berkaitan dalam urusan dunia maka kita kembalikan kepada yang bersangkutan.
Sejak masa keemasan sahabat radhiyallahu anhum, sudah terjadi perbedaan. Sampai akhirnya perbedaan tersebut meluas dan akhirnya sampai di ‘tangan kita’.
Kamis, 30 Mei 2013 0 komentar

small is complicated

Oleh Dr Muhammad Hariyadi, MA

Salah satu karakter yang tetap identik dengan orang-orang bodoh adalah sikapnya yang gampang meremehkan segala sesuatu termasuk penemuan ilmiah baru. Sikap tersebut sama dengan sikap orang-orang kafir, karena kebodohan dan kekafiran pada hakekatnya serupa.

Kebodohan berkaitan dengan tidak sampainya akal pikiran pada hakekat ilmu penetahuan. Kekafiran tidak sampainya akal pikiran pada hakekat keimanan.

Ketika Allah yang Maha Agung menyampaikan bahwa sesungguhnya diri-Nya tidak segan membuat perumpamaan  dengan seekor nyamuk atau bahkan yang lebih kecil dari nyamuk (QS. Al-Baqarah: 26), orang-orang kafir berkata:"Apa maksud Allah membuat perumpamaan sekecil itu?". Sementara orang-orang beriman dengan dasar keimanan dan  pemikirannya yang mendalam berkata: "Jika berasal dari Allah, maka tentu ada kebenaran dan hikmah yang terkandung di dalamnya."

Dua sikap yang bertolak belakang ini pada satu sisi menggambarkan sikap meremehkan sesuatu yang kemudian berimplikasi negatif karena didasarkan pada cara berpikir negatif yang pada akhirnya memalukan diri sendiri sebab kebenaran ilmiahnya pada waktu tertentu menjadi nyata.
0 komentar

Pergumulan Teologis dan Realitas Hidup (II)

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Apakah Tuhan memang sedang murka pada kita umat Islam yang papa ini, sehingga masih saja berada dalam keadaan tersungkur, sebagaimana terbaca pada bait terakhir dalam "protes" Iqbal di atas? Aduh, sudah papa kena murka lagi.

Tentu, jika Tuhan memang sedang murka kepada umat ini, semestinya kita melakukan kritik diri secara jujur dan tajam, mengapa berlaku demikian? Belum ada perbaikan yang mendasar sebagai syarat untuk bangkit sebagai umat yang diridai. Iman kita mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah ingkar janji, asal syarat-syarat untuk itu dipenuhi oleh hamba-Nya.

Protes Iqbal berlanjut: Di tempat-tempat pemujaan syirik, si musyrik berkata, "Umat Islam telah tamat!" Mereka girang karena penjaga Ka'bah telah pergi.
... Si kafir bersorak terbahak; apakah Engkau pekak, tak peduli? Akan halnya keesaan Engkau, seolah kehilangan makna?
(Lihat Muhammad Iqbal, Complaint and Answer. Terjemahan AJ Arberry. Kashmiri Bazar, Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1977, hlm 17).
Minggu, 26 Mei 2013 0 komentar

Konsep Aurat dan Larangan Berwudhu Telanjang Bulat

Bagi sebagian orang, wudhu merupakan salah satu laku ibadah yang telah merasuk menjadi rutinitas. Setiap kali bersentuhan dengan air, seketika itu pula ia berwudhu. Ini adalah suatu kebaikan, karena berusaha mengkondisikan diri dalam keadaan suci.

Namun demikian perlu diperhatikan bahwasannya berwudhu haruslah dalam keadaan aurat tertutup. Minimal aurat depan (qubul) dan belakang (dubur). Walaupun sebenarnya menutup aurat bukanlah termasuk syarat sah wudhu. Akan tetapi, ini berhubungan dengan tata cara dan hukum menutup aurat ketika sendirian (khalwat) yang batasannya berbeda dengan aurat ketika shalat dan ketika bersosialisasi di depan umum.

Menurut Az-Zarkasyi sebagaimana tercantum dalam Nihayatul Muhtaj, bahwa aurat yang wajib ditutup ketika sendirian (khalwat) adalah dua kemaluan saja bagi laki-laki (qubul dan dubur), dan antara pusar dan lutut bagi perempuan.

قال الزركشى: والعورة التى يجب سترها فى الخلوة السوأتان فقط من الرجل ومابين السرة والركبة من المرأة
Azzarkasyi berkata bahwa aurat yang wajib ditutup ketika khalwat adalah dua kemaluan saja bagi laki-laki (qubul dan dubur), dan antara pusar dan lutut bagi perempuan.
Bahwasannya  ada dua macam aurat khusus.

Pertama aurat ketika sendirian (khalwat) dan kedua aurat ketika di hadapan orang yang boleh memandang kepadanya seperti istri dan budak perempuan (sesuai perkembangan zaman, konsep perbudakan kini sudah tidak ada lagi). Keduanya memiliki tata cara yang berbeda seperti diterangkan dalam kitab Fathul Muin bahwa:

وجاز تكشف له اى للغسل فى خلوة او بحضرة من يجوز نظره الى عورته كزوجة او أمة والستر افضل وحرم ان كان ثم من يحرم نظره اليها كماحرم فى الخلوة بلاحاجة وحل فيها لأدنى عرض كما يأتى
Boleh membuka aurat (telanjang bulat) ketika mandi karena khalwat (sendirian), atau (boleh juga membuka aurat) di depan orang yang diperbolehkan memandang auratnya seperti istri atau budak perempuannya. Namun menutup aurat lebih afdhal. Dan haram membuka aurat jika di sana ada orang yang terlarang (tidak diperbolehkan) melihatmya. Seperti halnya diharamkan membuka aurat ketika sendirian tanpa ada keperluan apa-apa.

Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa seseorang hanya diperbolehkan membuka aurat atau bertelanjang bulat ketika mandi sendirian atau ketika hanya berhadapan hadapan dengan istri. Karena mandi harus meratakan air ke seluruh tubuh, dan ini tidak bisa tercapai tanpa harus membuka semua penutupnya. Maka dibolehkan bertelanjang bulat ketika mandi.

Ini berbeda dengan kasus wudhu, karena keperluan wudhu dalam meratakan air tidak seperti mandi, maka berwudhu harus dengan menutup auratnya, minimal aurat depan (qubul) dan belakang (dubur). Dengan kata lain, jika mandi memang perlu bertalanjang, sedang wudhu tidak perlu bertelanjang. Maka dilarang berwudhu dengan bertelanjang bulat tanpa menutup aurat walaupun sendirian tanpa sesuatu keperluan apapun.

Oleh Karena itu, ketika seseorang selesai mandi dan ingin mengakhiri mandinya dengan berwudhu, sebaiknya terlebih dahulu menutup auratnya. Walaupun hanya dengan celana dalam ataupun handuk yang melingkar di badan. Wallahu a’lam.
 
sumber: www.nu.or.id
0 komentar

mengapa mengeluarkan barang yang suci harus mandi, sedangkan mengeluarkan air kencing yang najis tidak perlu mandi?

Fiqih mengharuskan siapapun yang mengeluarkan air sperma atau air mani baik karena mimpi basah atau karena bersetubuh dengan istri ataupun karena onani (istimta’) wajiblah mandi. Padahal fiqih juga menerangkan bahwa air mani adalah suci (tidak najis), berbeda halnya dengan air kencing yang najis. Pertanyaan yang sering muncul kemudian bagaimana bisa mengeluarkan seseuatu yang suci malah diwajibkan mandi, sedangkan mengeluarkan yang najis cukup dengan bersuci (istinja’ /cebok) saja, dan cukup berwudhu jika ingin menjadi suci?

Pertama dalil dari hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Abi Said berbunyi:
الماء من الماء
Bermula air (kewajiban mandi) itu dari sebab air (keluar air mani)

Demikian pula riwayat Ummi Salah ra. bahwa Ummul Sulaim berkata “Ya Rasulullah, bahwa Allah swt tidak malu menyatakan yang haq, apakah wajib seorang perempuan mandi apabila ia mimpi jimak?” Rasulullah menjawab “ya, apabila ia melihat air (mani)”.

Kedua hadits di atas merupakan dasar yang telah disepakati oleh para Imam Fiqih, bahwa mengeluarkan mani mewajibkan seseorang mandi. Adapun mengenai kesucian air mani adalah pernyataan Rasulullah saw dalam haditsnya ketika ditanya seseorang mengenai mani yang terkena pakaian, beliaupun menjawab:
إنما هو بمنزلة المخاط والبصاق وإنمايكفيك أن تمسحه بخرقة أو إذخرة
Bahwasannya mani itu setingkat dengan ingus dan ludah, cukuplah bagimu menyapunya dengan percikan air atau idzkhirah (sebangsa rumput wangi).

Jika dalil-dalil tersebut dengan jelas menerangkan kesucian mani dan kewajiban mandi karena keluar mani, tetapi dalil-dalil itu belum menggambarkan adanya hubungan sebab-akibat (keluar mani yang suci mengakibatkan wajib mandi).

Sebagian ulama seperti yang ditulis oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, menjelaskan bahwasannya alasan (illat) diwajibkannya mandi ketika keluar mani adalah adanya rasa nikmat dan lezat yang mengiringi keluarnya mani itu. Maka mereka yang berpendapat demikian tidak mewajibkan mandi bagi orang yang keluar mani tanpa rasa nikmat seperti mereka yang teramat pulas dalam tidur, maka ia tidak diwajibkan mandi.

Hal ini mungkin dapat dijadikan alasan mengenai proses diwajibkannya mandi, tetapi belum bisa menjawab asal masalah “mengapa mengeluarkan barang yang suci harus mandi, sedangkan mengeluarkan air kencing yang najis tidak perlu mandi?”

Bahwasannya dalam catatan ilmu kedokteran ‘ilmut thibb’ diteragkan dalam sekali tumpahan mani terdapat 2 000 000 000 (dua milyar) benih kehidupan spermatozoid. Maka siapapun yang keluar mani akan kehilangan energy sebanyak itu. Sebagai dampaknya orang yang keluar mani akan segera lemas dan berkurang tenaganya. Hal ini tidak bisa dipulihkan hanya dengan membasuh dzakar ataupun alat kelamin  saja. Tetapi harus dengan cara membasahi badan secara merata terutama dengan air hangat.

Oleh karena itu sebaiknya setelah keluar mani segeralah mandi, agar tubuh kuat kembali. Ini sangat berbeda dengan mengeluarkan air kencing yang hanya mengandung kotoran dari dalam tubuh manusia. Dan cukup dengan membersihkan alat keluarnya. Meskipun keduanya (air mani dan air kencing) keluar dari lubang alat yang sama tetapi keduanya adalah materi yang bebeda. Wallahu a’lam.
 
sumber: www.nu.or.id
Sabtu, 25 Mei 2013 0 komentar

nilai sebuah subyektifitas

Oleh Dr Muhammad Hariyadi MA

Manusia dilahirkan ke dunia dengan nilai subyektivitas yang dibawa oleh alam pikirannya. Subyektivitas tersebut muncul dari cara berpikir manusia yang diproses oleh akalnya.

Mereka yang menggeluti dunia hukum memiliki kerangka berpikir dan pola subyektivitas yang berbeda dengan yang mendalami bidang agama. Maka wajarlah jika subyektivitas ternyata bertingkat, yang dibuktikan dengan subyektifitas anak memiliki nilai yang berbeda dengan subyektifitas orang dewasa dan subyektifitas dalam filsafat tidak sama dengan subyektifitas dalam ilmu pengetahuan.

Perbedaan kadar dan tingkat subyektivitas tersebut mengisyaratkan kepada kita agar memberikan penyadaran sepenuhnya bahwa kebenaran akal adalah kebenaran nisbi. Namun demikian bukan berarti kebenaran akal tersebut tidak bernilai, melainkan menjadi sebuah terminal kebenaran yang mengantarkan kepada terminal kebenaran lain yang sama-sama nisbi.

Atas dasar kebenaran yang nisbi tersebut, maka Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita agar tidak menghakimi seseorang hanya didasarkan pada subyektifitas diri, melainkan perlu mempertimbangkan pengakuan, subyektivitas pihak lain dan saksi-saksi karena hakekat kebenaran yang sebenarnya berada di sisi Allah SWT.
0 komentar

Indonesia yg tumbuh tapi tak berkembang

Oleh Nasihin Masha

Darmin Nasution ingin membangun tradisi baru. Ia merintis adanya pidato pertanggungjawaban (farewell address) bagi setiap gubernur Bank Indonesia yang mengakhiri masa tugasnya. Pekan ini ia harus menyerahkan singgasana penguasa moneter itu kepada penggantinya, Agus Martowardoyo. Pidato itu dilakukan di hadapan publik. Ia memaparkan apa saja yang telah dilakukannya dan apa tujuannya. Ia mengaku, apa yang dilakukannya ibarat membangun gorong-gorong dan drainase. Musuh utama jalan di Indonesia adalah air. Namun pembangunan infrastruktur jalan itu tak selalu diiringi pembangunan gorong-gorong dan drainase. Akibatnya jalan selalu rusak dan biaya menjadi mahal. Sehingga kita terjebak melakukan hal yang sama setiap saat dan tak beranjak ke mana-mana.

Membangun sistem, kelembagaan, dan tata nilai bukanlah pekerjaan menarik. Ia sunyi dari pujian dan jauh dari hasil instan. Kita cenderung untuk melakukan sesuatu yang cepat terlihat ujung akhirnya. Pekerjaan semacam itu bersifat instan, manipulatif, dan pasti tak berkesinambungan. Tentu itu jalan yang buruk. Karena itu, Darmin memilih jalan yang sunyi. Latar belakangnya sebagai peneliti selama 22 tahun serta pengalamannya di pemerintahan yang panjang dan di berbagai jabatan menjadi faktor kunci pilihan tak populer itu. Ia mendapati masalah yang dihadapi Indonesia dari dulu hingga kini tetap sama. Padahal kita sudah bangga bahwa telah banyak kemajuan yang telah diraih Indonesia. Itulah kebanggaan semu. Karena itu ia berkesimpulan, kita memang growth but without change (tumbuh tapi tak ada perubahan).
Rabu, 22 Mei 2013 0 komentar

memudakan indonesia

Oleh Yudi Latif

Indonesia tanpa daya muda adalah Indonesia yang menyangkal jati dirinya. Nyaris tak terbayangkan bagaimana Indonesia bisa merdeka tanpa dipelopori pergerakan kaum muda. Menulis di majalah Bintang Hindia No 14 (1905: 159), Abdul Rivai memperkenalkan istilah ”kaum muda” yang didefinisikan sebagai seluruh rakyat Hindia (muda atau tua) yang tidak lagi bersedia mengikuti aturan kuno. Sebaliknya, mereka berkehendak untuk memuliakan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu.

Sejak itu, istilah kaum muda digunakan secara luas dalam liputan media dan wacana publik. Secara umum, istilah itu dirujuk sebagai kode eksistensial sebuah entitas kolektif yang berbagi titik kebersamaan dalam ambisi untuk memperbarui masyarakat Hindia melalui jalur pengetahuan dan kemajuan.

Lebih dari sekadar kriteria usia, kaum muda merefleksikan sikap-kejiwaan. Suatu kebaruan cara pandang yang memutus hubungan dengan tradisi jahiliah masa lalu melalui keberanian memperjuangkan visi perubahan yang menjanjikan pencerahan masa depan. Tapi, tak terhindarkan, mereka yang berani mengemban visi perubahan lebih mungkin tumbuh dari mereka yang tidak terlalu digayuti beban masa lalu. Meminjam pandangan Hatta, generasi baru kaum terdidik dengan kemampuannya untuk membebaskan diri dari hipnosis kolonial, lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoretis bagi aksi-aksi kolektif.
Senin, 20 Mei 2013 0 komentar

islam dan politik

Sejumlah survei dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa Masyarakat Indonesia saat ini jauh lebih "religius" (taat beribadah) dibanding pada dekade 1950-an. Survei Nasional Reform Institute belum lama ini menemukan, rata-rata 73 persen dari total pendukung 10 partai terbesar menyatakan selalu menjalankan ibadah. 

Dengan gambaran tersebut, sulit melakukan kategorisasi aliran kepartaian berdasarkan ketaatan keagamaannya, seperti dalam tipologi Clifford Geertz. Dengan alasan, baik pengikut partai-partai Islam maupun partai nasionalis, memiliki tingkat ketaatan beribadah yang relatif sama.

Meskipun, masyarakat Indonesia berkembang ke arah yang lebih religius, tidaklah otomatis mengarah pada meningkatnya dukungan terhadap partai-partai Muslim (berasas Islam maupun Pancasila). Pada Pemilihan Umum 1998, jumlah suara yang diperoleh oleh semua partai Muslim, termasuk partai-partai yang menjadikan Pancasila sebagai asasnya, hanya sebesar 36,38 persen. Pada Pemilu 2004, total persentase suara yang diperoleh seluruh partai-partai Muslim sedikit naik dari pemilu sebelumnya, yakni 38,1 persen. Pada Pemilu 2009, total persentasenya lebih merosot, tapi mungkin tidak bisa dijadikan ukuran karena Pemilu 2009 ini penuh dengan “skandal”. Gambaran itu menunjukan bahwa capaian-capaian partai Muslim tidak pernah melampaui hasil Pemilu 1955, yakni sekitar 42 persen.
0 komentar

hidup dan kualitas hidup

Konon makna seseorang dalam hidup baru kita ketahui saat kehilangan mereka. Seorang istri yang sering mengabaikan suami, tidak begitu peduli dengan segala kebutuhannya karena sibuk dengan urusan sendiri, tiba-tiba menangis dan berjanji akan merawat suami sebaik mungkin ketika lelaki yang dicintai terbaring koma di rumah sakit.

Seorang suami yang mengabaikan peran istri dan merasa hanya dirinya yang paling penting sebab menafkahi keluarga, baru sadar betapa berat dan ruwetnya tugas istri saat sang pendamping sudah tak ada lagi di sisi. Orang tua yang selalu tidak punya waktu untuk anak-anaknya, tiba tiba diliputi penyesalan mengapa tidak memberikan semua waktunya untuk anak ketika si buah hati telah terbaring kaku di pusara.

Ya, kisah-kisah penyesalan serupa dapat ditemukan jejaknya da lam masyarakat kita. Dan beberapa pekan terakhir, membaca berbagai berita kehilangan, saya seakan diantar pada satu perenungan tentang seberapa berartinya kehidupan kita.

Indonesia begitu tersentak ketika mendengar berita Uje (Ustaz Jefri Al Buchori) berpulang ke haribaan Allah di usia yang relatif muda. Ribuan orang menshalati jenazahnya. Tidak puas hanya sekadar menshalati, mereka berbondong-bondong mengantar jenazah ke peristirahatan terakhir. Lebih dari sepekan berbagai media di Tanah Air tetap memberitakan kepergian ustaz tersebut.
Kamis, 16 Mei 2013 0 komentar

Marwah Pemikiran

Oleh: Yudi Latif 
Hari Pendidikan Nasional telah berlalu, menyisakan keprihatinan besar. Di negeri ini, ke mana pun kita menghadap, sulit menemukan kecerdasan pikiran sebagai fitur utama kebijakan dan tindakan. Kemunduran terbesar negeri ini bukan pada ekonomi, tetapi pada kemunduran dalam menghargai pikiran.

Kecerdasan para pendiri negeri ini, seperti tecermin dalam kualitas Pembukaan UUD 1945, jauh menjulang dibanding kapasitas para politisi masa kini. Tanpa kecerdasan visi, para praktisi politik saat ini tak memiliki pandangan yang terang tentang orientasi negara. Rakyat di tingkat akar rumput kehilangan kepemimpinan dan kepercayaan.

Pikiran tak lagi menjadi ukuran kehormatan di negeri ini. Suatu perkembangan yang melenceng jauh dari trayek sejarah perjuangan bangsa. Persis pada awal abad ke-20, saat inteligensia pribumi mulai muncul dengan obsesi kemajuan, kata "pikiran" dijadikan tanda baru menakar kehormatan sosial. Tanda baru yang menjadi mercusuar, ke arah mana idaman orang ditujukan. Tanda baru yang menjadi pembatas antara tradisi dan inovasi, masa lalu dan masa depan.
0 komentar

Pergumulan Teologis dan Realitas Hidup (I)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif 
Yang saya maksudkan dengan teologi dalam tulisan ini adalah sistem kepercayaan kepada Tuhan yang selalu berpihak pada kebenaran, keadilan, kesabaran, kejujuran, dan ketakwaan. Dalam Alquran banyak ayat yang menegaskan tentang keberpihakan ini. Artinya, Tuhan tidaklah netral dalam sejarah.

Tetapi, dengan kekalahan beruntun umat Islam dalam perlombaan peradaban selama rentang waktu yang panjang, apakah pemihakan itu sudah tidak berlaku lagi? Mengapa? Di sinilah pergumulan teologis dan realitas hidup itu semakin menegangkan dan sulit dipahami.

Dari sisi pihak lain, keterangan Karen Armstrong patut juga didengar. Menurut penulis perempuan Inggris ini, banyak orang Inggris tidak percaya lagi kepada Tuhan, dengan alasan Tuhan tidak berbuat sesuatu untuk menyetop Perang Dunia (PD) II yang telah membawa malapetaka dahsyat bagi Eropa itu.

Berbeda dengan orang Inggris, sepanjang pengetahuan saya, betapapun umat Islam telah mengalami kekalahan demi kekalahan, mereka tidaklah sampai meninggalkan iman mereka kepada Allah. Paling-paling sebagian mereka salah tingkah dalam menjawab tantangan yang tidak mampu dihadapi.
Mereka bahkan masih terus berdoa agar umat ini bangkit kembali dari segala macam keterpurukan dan kehinaan yang datang silih berganti. Tengoklah apa yang sedang berlaku di Suriah, Irak, Afghanistan, Pakistan, dan di kawasan lain, umat Islam hidup dalam kegelisahan, ketidakamanan, dan penderitaan yang mengenaskan. Bom bunuh diri meledak di berbagai tempat. Pengungsi bertebaran di mana-mana, akibat hidup sudah tidak aman lagi.
0 komentar

Negara dan Filantropi Islam

Filantropi Islam Indonesia dalam bentuk ziswaf (zakat, infaq, sedekah, wakaf) memiliki potensi sangat besar. Belakangan ini berbagai kalangan memperkirakan, potensi ziswaf Indonesia mencapai sekitar Rp 217 triliun setiap tahun.

Meski realisasinya masih jauh daripada potensi itu, ziswaf yang terus bertumbuh kian menjadi ‘rebutan’ di antara berbagai lembaga. Sejak dari amir masjid di masjid lingkungan pertetanggaan, ormas Islam, LSM kolektor-distributor, sampai pada pemerintah.

Adanya tarik tambang antara pihak-pihak tersebut terlihat dari judicial review UU No 23 Tahun 2011 tentang Zakat ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan LSM kolektor-distributor ziswaf pada 2011. Koalisi LSM yang bergerak dalam pengelolaan dana ziswaf —yang dapat dikatakan sebagai representasi civil society— menggugat UU yang memberikan otoritas dan wewenang terlalu besar kepada Baznas. Mereka memandang hal itu dapat mengancam eksistensi lembaga pengumpul dan distribusi ziswaf yang telah relatif sukses dalam menggali dan meningkatkan realisasi dana ziswaf sejak 1990-an.
Jumat, 03 Mei 2013 0 komentar

Resume Buku al-Attas "Prolegomena To The Metaphysics Of Islam"

Profil Buku dan Pengarang
             Prolegomena To The Metaphysics Of Islam, merupakan sebuah buku yang ditulis oleh seorang filsuf Islam yang bernama Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Buku ini, sebagaimana dikatakan pada bagian pengantar cetakan pertama pada tahun 1995, merupakan Bab-bab yang pada aslinya diterbitkan sebagai monografi terpisah dalam jumlah terbatas atas permintaan staf akademik ISTAC dan pihak lain. Mereka meminta saya untuk mengelaborasi komentar tiap monografi, dalam bentuk sebuah kuliah di ISTAC yang kemudian dikenal sebagai Kuliah Sabtu Malam[1].  
            Dengan pengecualian akan bab I, yang telah ditulis dua puluh tahun lalu pada bulan Ramadan, keenam bab lain telah ditulis dan dilengkapi selama bulan pada tahun 1989 (III; 1990
            (IV, V dan VI); 1993 (II); dan 1994 (VII). Bab II, merupakan komentar atas penjelasan teori Al-Attas tentang makna dan asal tragedi. Keseluruhan buku ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian Penutup, akhirnya menunjuk kepada interpretasi makna yang tersembunyi dari bagian Qur’an tentang Penciptaan dalam Enam Hari.
            Sekilas tentang Al-Attas, dia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, tahun 1931, dan menjalani pendidikan dasar di Sukabumi dan Johor Baru. Lalu, menempuh pendidikan di The Royal Military Academy, Sandhurst, England, lalu ke University of Malaya, Singapura. Gelar master diraihnya di McGill University, Montreal, Canada, dan PhD di University of London, London, Inggris, dengan konsentrasi bidang ‘ Islamic philosophy’, ‘theology’ dan ‘metaphysics’. Di McGill inilah kemudian ia berkenalan dengan beberapa orang sarjana yang terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Seyyed Hossein Nasr (Iran).
Kamis, 02 Mei 2013 0 komentar

Democracy: What Went Wrong?

oleh: Azyumardi Azra

Mengamati perjalanan demokrasi di Indonesia dalam 15 tahun yang masih semrawut (messy), sebagian kalangan masyarakat dan pengamat sering bertanya: apa yang salah dengan demokrasi? Mengapa demokrasi belum juga mampu membawa warga pada kesejahteraan?

Pertanyaan yang sama juga relevan dalam konteks transisi demokrasi di dunia Arab, seperti di Tunisia, Mesir, Yaman, dan bahkan Bahrain-untuk tidak menyebut Suriah- yang terus berdarah-darah.

Apa yang salah dengan demokrasi? Tema ini sering pula menjadi pembicaraan hangat dalam lembaga-lembaga internasional penguatan demokrasi. Sebagai contoh saja, lembaga International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) yang berpusat di Stockholm-di mana saya menjadi salah satu anggota Dewan Penasihat-dalam tiga tahun terakhir menjadikan subjek ini sebagai topik utama; Democracy: What Went Wrong?

Ada kekhawatiran, jika demokrasi gagal mewujudkan janji untuk peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan, kian banyak warga berpaling pada sistem politik lain. Demokrasi memiliki batas dan kelemahan tertentu; ia bukan sistem yang seratus persen tanpa kelemahan.

Pada satu sisi, demokrasi memberikan ruang amat luas bagi kebebasan politik dan partisipasi politik warga, misalnya. Akan tetapi, pada saat yang sama, kebebasan politik demokrasi yang berlangsung cenderung kebablasan beriringan dengan lambatnya pengambilan keputusan, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Akibatnya, program pembangunan tidak dapat berjalan baik dan peningkatan kesejahteraan warga kian jauh.
Senin, 29 April 2013 0 komentar

Neo-Imperialisme dan Senyum Inlander

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Pidato Pembelaan Bung Hatta di depan Mahkamah Belanda di Den Haag, pada bulan Maret 1928 di bawah judul “Indonesie Vrij” (Indonesia Merdeka) dan Pidato Pembelaan Bung Karno di depan Pengadilan Kolonial di Bandung, bulan Agustus 1930, dengan judul “Indonesia Menggugat” terasa masih relevan dengan situasi Indonesia sekarang ini.

Relevansi itu semakin terasa bila dikaitkan dengan masalah kedaulatan kita di bidang ekonomi yang semakin didikte oleh pihak asing, terutama sejak krisis moneter di akhir abad yang lalu. Ketergantungan Indonesia pada “instruksi” IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia dalam mengatasi krisis melalui BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sebesar Rp 650 triliun telah semakin menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia, demi penalangan negara terhadap 'pengusaha hiu' yang sedang kelimpungan saat itu.

Bung Hatta dalam kritik kerasnya kepada sistem kolonialisme dan imperialisme mengutip pendirian PI (Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda melalui ungkapan ini: “Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi daripada suatu negara asing.” (Lihat hlm. 136-137).

Ungkapan sangat berani ini adalah inti pesan kemerdekaan bangsa yang paling autentik yang dialamatkan kepada Belanda yang tidak punya niat untuk mengendorkan nafsu kolonialnya atas tanah jajahannya. Bung Hatta ketika menyampaikan pidato itu baru berusia 26 tahun, tetapi api patriotisme dan nasionalismenya siap menghadapi segala risiko dari pernyataannya itu. Tidak hanya sampai di situ, Bung Hatta menantang lebih lanjut: “Jika tiba saatnya maka Nederland (Belanda, red) akan ditempatkan pada alternatif, mengundurkan diri dengan sukarela dari Indonesia atau dilemparkan ke luar dari Indonesia.” (Hlm. 139). Siapa yang tidak merinding bangga dengan sikap patriot sejati pada sosok Hatta ini.
 
;