Sabtu, 01 Juni 2013

Kupas Tuntas Tentang Isbal

 Seiring dengan arus kebangkitan Islam tanpa adanya khilafah islamiyah, banyak kita temukan aktifis–aktifis Islam yang membentuk organisasi atau golongan. Kita harus berbangga diri dengan mereka yang semangat dalam menegakkan hukum Allah dan sunnah Rasulullah, mereka berlomba–lomba dalam melaksanakan sunnah Rasulullah. Akan tetapi, selalu saja ada perbedaan pendapat dari setiap golongan. Salah satunya adalah masalah isbal atau lebih dikenal dengan menjulurkan pakaian dibawah mata kaki. Mereka sering berselisih paham dengan hukum isbal . Ada yang mengatakan haram dan ada yang mengatakan boleh apabila tidak dengan sombong. Tapi yang sangat disayangkan, ada diantara aktifis-aktifis Islam tersebut yang berlebihan dalam mengkritik sampai-sampai ada yang mencaci maki. Padahal ini hanyalah masalah fiqh semata yang dari dahulu sudah diperselisihkan oleh ulama-ulama. Biasanya hal ini dimulai dari aktifis-aktifis yang mengharamkan isbal secara mutlak. Sementara pihak yang diserang, tidak terima dan melakukan pembelaan dengan hujjah-hujjah yang mereka miliki. Penulis bingung melihat fenomena ini. Apakah mereka tidak sadar dengan masalah isbal yang sejak dahulu para ulama sudah berselisih paham? Mereka hanya melakukan siaran ulang saja.


Seharusnya tidak boleh ada sikap keras dalam masalah isbal ini. Dan seharusnya, mereka sadar bahwa masalah ini sudah sejak dahulu diperselisihkan oleh ulama-ulama muktabar. Namun, bagi mereka yang ingin menghindari isbal, semoga Allah memberi pahala atas mereka sebagai usaha menghidupkan sunnah Rasulullah. Mereka yang mengharamkan isbal biasanya berdalil dengan sebagian hadist-hadist di bawah ini:
  • Hadits 1:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: “Apa saja yang melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari No. 5787, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 9705, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Umal  No. 41158)
  • Hadits 2:
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim  No. 2085.  Ibnu Majah No.3569, 3570, An Nasa’i No. 5327, Ahmad No. 4489)
  • Hadist 3:
Dari Ibnu Umar R. A. berkata: “saya lewat di hadapan Rasulloh sedangkan sarungku terjurai, kemudian Rasululloh SAW menegurku seraya berkata: “Wahai Abdullah tinggikan sarungmu!” Aku pun meninggikannya, beliau bersada lagi: “Tinggikan lagi !” Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya: “Seberapa tingginya?” “Sampai setengan betis”. (HR. Muslim 2086, Ahmad 2/33).

Ulama-ulama yang mengharamkan isbal :
Imam Abu Bakar bin Al ‘Arabi Rahimahullah
Sebagian pengikut madzhab ada yang mengharamkan (isbal) di antaranya adalah Imam Ibnul ‘Arabi, berikut perkataannya:
Ibnul ‘Arabi berkata: “Tidak boleh bagi seorang laki-laki membiarkan pakaiannya hingga mata kakinya” lalu berkata: “Saya  menjulurkannya dengan tidak sombong.” Karena secara lafaz, sesungguhnya larangan tersebut telah  mencukupi, dan tidak  boleh juga lafaz yang telah memadai itu ada yang menyelisihinya secara hukum, lalu berkata: “Tidak ada perintahnya,” karena ‘illat (alasannya) itu  tidak ada. Sesungguhnya itu adalah klaim yang tidak benar, bahkan memanjangkan ujung pakaian justru itu menunjukkan kesombongan sendiri. Selesai.”   (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 16, Hal. 336, No hadits. 5354. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah, beliau berkata dalam fatwanya::
 Banyak hadits-hadits yang semakna dengan ini, yang menunjukkan haramnya isbal secara mutlak. Walaupun pemakainya mengira bahwa dia tidak bermaksud untuk sombong. Karena hal itu menjadi sarana menuju kepada kesombongan, selain memang hal itu merupakan israf (berlebihan), juga dapat mengantarkan pakaian kepada najis dan kotoran. Ada pun jika memakainya dengan maksud sombong perkaranya lebih berat lagi dan dosanya lebih besar. (Majalah Al Buhuts Al islamiyah, 33/113)

Bukan hanya mereka, Imam Adz Dzahabi (bermadzhab Syafi’iyyah) dan Imam Al Qarrafi (bermadzhab Malikiyah) juga mengharamkan, dan juga Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, para ulama Lajnah Da’imah, sebagian ulama Pakistan, Saudi Arabia, Yaman, dan lain-lain juga mengharamkam(Isbal).

Mereka yang membolehkan isbal, jika tidak dengan sombong berdalil dengan sebagian hadist-hadist dibawah ini:
  • Hadist 1:
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.(HR. Muslim  No. 2085.  Ibnu Majah No.3569, 3570, An Nasa’i No. 5327, Ahmad No. 4489)
  • Hadist 2:
Dari Salim, dari Ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku salah seorang yang celaka, kainku turun, sehingga aku selalu memeganginya.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena kesombongan.” (HR. Bukhari No. 3665,  An Nasa’i No. 5335,  Ahmad No. 5351)
  •  Hadist 3:
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Alloh tidak menyukai kesombongan”. (HR. Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishohihkanoleh Al-Albani dalam As-Shohihah 770) Jumhur (mayoritas) Ulama dari kalangan empat madzhab tidak mengharamkannya.

Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu, dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih berkata:
“Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah,  dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al Islam)

Dalam Kasysyaf Al Qina’ disebutkan:
“Berkata Imam Ahmad dalam riwayat Hambal: “Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan selendang (sorban) di dalam shalat, jika tidak ada maksud sombong, maka tidak mengapa (selama tidak menyerupai wanita), jika demikian maka itu berbuatan keji.” (Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina’,  2/ 304.  Mawqi’ Al Islam. Juga Imam Ar Rahibani, Mathalib Ulin Nuha, 2/363. Mawqi’ Al Islam Lihat juga Imam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361. Cet. 1, 1998M-1428H. Darul ‘Ashimah, Riyadh. KSA. )

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
“Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah) memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya.” Beliau berkata dalam kitab Syarhul ‘Umdah:
Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi dan selainnya. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361)

Tidak hanya sebatas halal dan haram saja dimasalah isbal ini, ternyata mayoritas ulama justru memakruhkannya, mereka menggunakan kaidah yang sama dengan kelompok yang membolehkan, yakni larangan isbal harus dibatasi dengan khuyala’ (sombong). Hanya saja, kelompok ini tidak mengatakan boleh jika tanpa sombong. Mereka menilainya sebagai makruh tanzih, tapi tidak pula sampai mengharamkan.

Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
وَاخْتَلَفُوا فِي إِطَالَتِهَا إِلَى أَسْفَل مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنْ غَيْرِ كِبْرٍ وَلاَ اخْتِيَالٍ وَلاَ حَاجَةٍ : فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ
Mereka berbeda pendapat dalam hal memanjangkannya sampai melewati dua mata kaki dengan tanpa sombong dan tanpa kebutuhan: madzhab jumhur (mayoritas) adalah menyatakan sebagai makruh tanzih. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/170)

Para fuqaha Islam menyebutkan bahwa hukum  makruh ada dua macam, yakni Makruh Tanzih dan Makruh Tahrim. Makruh Tanzih adalah makruh ynag mendekati mubah (boleh). Makruh Tahrim adalah makruh yang medekati haram.

Imam Asy Syafi’i dan Imam An Nawawi Rahimahumallah, dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An Nawawi berkata:
“Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika sombong, jika tidak sombong maka makruh (dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid) jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus bagi yang sombong.” (Al Minhaj Syarh  Shahih Muslim,  Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …, Juz. 7, Hal. 168, No hadits. 3887. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dalam kitab lainnya: Berkata An Nawawi, “Isbal dibawah mata kaki dengan sombong (haram hukumnya,), jika tidak sombong maka makruh. Demikian itu merupakan pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong,  jika tidak sombong maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum), maka wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang dimaksud jika  disertai khuyala (sombong). Selesai.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikri. Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’, Juz. 4, Hal. 158. Cet. 4, 1960M-1379H. Maktabah Mushtafa Al Baabi Al Halabi. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah )

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi juga membuat bab khusus (yakni Bab ke 119)  tentang masalah ini berjudul:
“Bab Sifat Panjangnya Gamis, Kain Sarung, dan Ujung Sorban, dan haramnya isbal (memanjangkan) hal tersebut karena sombong, dan makruh jika tidak sombong.” (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 257. Cet. 3, 1998H-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth  Muasasah Ar Risalah, Beirut)

Imam Az Zarqani menyebutkan:
Disebutkan dalam Al Mawahib: apa saja dalam hal ini yang termasuk dilakukan dengan cara  sombong maka tak ragu lagi haramnya, dan apa saja yang dilakukan karena itu adalah hal yang telah menjadi adat maka tidak haram, selama tidak sampai menjulurkan ujung yang dilarang. Al Qadhi ‘Iyadh menukil dari para ulama bahwa dimakruhkan setiap tambahan yang melebihi kebiasaan dalam pakaian, semisal pakaian yang melebihi dalam panjang dan lebarnya. (Imam Az Zarqani, Syarh ‘Ala Al Muwaththa, 1/273)

Jadi, makruhnya itu adalah jika ‘lebih’ dan ‘tambahan’ itu diluar kebiasaan yang terjadi lazimnya di masyarakat. Nah, zaman ini dan dibanyak negeri muslim, umat Islam  terbiasa dengan isbal sebatas mata kaki lebih sedikit. Bisa jadi ini juga telah menjadi bagian dari kebiasan yang dimaksud dan makruh jika melewati kebiasaan itu.

Syaikh Al Qaradhawy tidak mengharamkan isbal kecuali dengan sombong, begitu pula umumnya para ulama Mesir, Pakistan, India, dan lain-lain.
Dan penulis lebih cendrung ke pemahaman ulama-ulama yang memakruhkan. Jika ada yang berkata bahwa rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya, maka penulis berkata bahwa isbal pangkal sombong. Islam tidaklah memberatkan pengikutnya. Apakah mungkin hanya karena  pakaian yang terjulur dibawah mata kaki, si pelaku bisa diklaim masuk neraka dan tidak dipandang Allah di hari kiamat nanti? Sungguh kejam ajaran Islam jika seperti ini. Adapun dengan pendapat golongan yang mengharamkan isbal baik dengan sombong maupun tidak sombong, justru pemahaman ini malah bertentangan dengan hadist niat.

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.(riwayat bukhori muslim) .

Jika memanjangkan pakaian di bawah mata kaki adalah haram baik dengan sombong maupun tidak, bagaimana dengan orang-orang yang memakai pakaian setengah betis akan tetapi ada sifat sombong dihatinya akibat merasa benar dan merasa hebat karena sudah mengikuti sunnah rasulullah? Hal ini sepadan dengan perkataan syeikh ibnu hajar :

 ان البطر والكبر مذموم ولو ممن شمر ثوبه
Sesungguhnya sifat sombong sangatlah tercela walaupun dalam keadaan menyingsingkan pakaian.
Jadi inti terpenting dari masalah isbal ini adalah memerangi sifat sombong,
لان الكبر بطر الحق وغمط الناس
karena sombong itu menolak kebenaran dan menghina manusia (orang lain.-ed).

DEMIKIANLAH MASALAH INI.
Silahkan kita menjalankan apa yang menjadi keyakinan bagi kita. Tanpa ada sikap pengingkaran terhadap yang lain. Semoga Allah Ta’ala memberikan pahala bagi siapa saja yang menaikkan pakaiannya di atas mata kaki atau setengah betis, tanpa harus diiringi sikap merasa paling benar, keras dalam mengkritik dan justru sombong karena merasa sudah menjalankan sunah.
Ada akhlak para salafus shalih dan para imam yang harus kita renungi bersama, sebagai berikut:
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan ats Tsauri Rahimahullah, sebagai berikut:.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133. )

Imam As Suyuthi  Rahimahullah berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair.
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair,   1/285 )

Berkata Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil:
“Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 32.  )
Beliau juga berkata:
Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istinbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (orang yang ikut-ikutan) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ al Islam. )

0 komentar:

 
;