Minggu, 16 Juni 2013

Konsepsi Taufiq Kiemas

Oleh: Yudi Latif
Taufiq Kiemas, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), berpulang ke haribaan Ilahi, meninggalkan jejak penting bagi perikehidupan kebangsaan, konsepsi “Empat Pilar”. Secara semantik, bisa jadi banyak orang yang tidak setuju dengan penggunaan istilah “pilar”, terutama dalam kaitannya dengan Pancasila. Namun secara substantif, mestinya ada “kalimatun sawa” tentang pentingnya menjaga komitmen terhadap beberapa konsensus dasar kebangsaan.

Setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi dan konsensus bersama menyangkut hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan, dan kejayaan bangsa bersangkutan. Dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 30 September 1960 yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Sukarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi suatu bangsa: “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya.” (Sukarno, 1989: 64).

Setiap bangsa memiliki konsepsi dan cita-citanya sesuai dengan kondisi, tantangan, dan karakteristik bangsa yang bersangkutan. Dalam pandangan Sukarno, “Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mampunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya.” (Sukarno, 1958, I: 3).


Salah satu karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa adalah kebesaran, keluasan, dan kemajemukannya. Sebuah negara-bangsa yang mengikat lebih dari 500 suku bangsa dan bahasa, ragam agama, dan budaya di sepanjang sekitar 17.508 pulau, yang membentang dari 6' 08'' LU hingga 11' 15'' LS, dan dari 94' 45'' BT hingga 141' 05'' BT. Untuk itu, diperlukan suatu konsepsi, kemauan, dan kemampuan yang kuat dan adekuat, yang dapat menopang kebesaran, keluasan, dan kemajemukan keindonesiaan.

Para pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan itu dengan melahirkan sejumlah konsepsi kebangsaan dan kenegaraan, antara lain, yang berkaitan dengan dasar (falsafah) negara, konstitusi negara, bentuk negara, dan wawasan kebangsaan yang dirasa sesuai dengan karakter keindonesiaan. Konsepsi pokok para pendiri bangsa ini tidak mengalami perubahan, tapi sebagian yang bersifat teknis-instrumental mengalami penyesuaian oleh generasi penerus bangsa ini.

Jika diringkas, nilai inti dari keempat konsensus dasar itu adalah semangat kekeluargaan, tolong-menolong, dan saling mengasihi. Bahwa Indonesia bukanlah suatu negara untuk satu orang atau satu golongan saja, walaupun golongan mayoritas atau minoritas kaya, tetapi negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasarkan semangat persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bisa dipahami mengapa Bung Karno menyatakan, jika kelima sila diperas menjadi satu, nilai dasarnya adalah “gotong royong”. Sejalan dengan semangat gotong royong Pancasila, konsepsi Indonesia tentang konstitusinya pun disusun dengan sistematik negara kekeluargaan, yang menerjemahkan prinsip-prinsip Pancasila, sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD, ke dalam pasal-pasal konstitusi. Meskipun Undang-Undang Dasar kita sejak Proklamasi telah mengalami beberapa kali perubahan, ia selalu menegaskan di dalam Mukadimahnya bahwa kemerdekaan kita harus disusun berdasarkan Pancasila, yang mengandung lima sila yang saling mengait.

Sebagai turunannya, konsepsi tentang bentuk negaranya menganut bentuk negara kesatuan yang berwatak federal. Bentuk negara yang oleh sebagian besar pendiri bangsa dipercaya bisa menjamin persatuan yang kuat bagi negara kepulauan Indonesia adalah negara kesatuan (unitary). Politik devide et impera yang dikembangkan oleh kolonial memperkuat keyakinan bahwa hanya dalam persatuan yang bulat-mutlak, yang mengesampingkan perbedaan untuk sementara waktu, yang membuat Indonesia bisa merdeka.

Semangat persatuan yang bulat-mutlak itu dirasa lebih cocok diwadahi dalam bentuk negara kesatuan. Pengalaman traumatis pembentukan negara federal sebagai warisan kolonial, disertai kesulitan secara teknis untuk menentukan batas-batas negara bagian bagi desain negara federal Indonesia, kian memperkuat dukungan pada bentuk negara kesatuan.

Meskipun memilih bentuk negara kesatuan, para pendiri bangsa sepakat untuk mengelola negara sebesar, seluas, dan semajemuk Indonesia tidak bisa tersentralisasi dengan mengandalkan inisiatif sebagian kecil elite di Jakarta. Negara sebesar, seluas, dan semajemuk Indonesia sepatutnya dikelola secara bergotong-royong dengan melibatkan peran serta daerah dalam pemberdayaan ekonomi, politik, dan sosial-budaya sesuai keragaman potensi daerah masing-masing. Itulah makna dari negara kesatuan yang betwatak federal.

Seturut dengan itu, konsepsi tentang wawasan kebangsaannya dirumuskan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, meskipun berbeda-beda, tapi satu jua (unity in diversity; diversity in unity). Di satu sisi, ada wawasan “keikaan” yang berusaha mencari titik temu dari segala kebinekaan yang terkristalisasikan dalam dasar negara (Pancasila), UUD, dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada wawasan kebinekaan yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya.

Empat konsensus dasar dari konsepsi kenegaraan Indonesia itu merupakan prasyarat minimal bagi bangsa ini untuk bisa berdiri kokoh dan meraih kemajuan berlandaskan karakter kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Setiap warga Indonesia harus memiliki keyakinan bahwa itulah prinsip-prinsip moral keindonesian yang memandu tercapainya perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Taufiq Kiemas telah berhasil mengarusutamakan keempat konsensus dasar itu dalam wacana publik. Adalah tugas penerusnya untuk mendaratkan idealitas nilai-nilai dasar itu ke bumi realitas. Itulah tantangan kita ke depan.

0 komentar:

 
;