Sudah menjadi sunnatullah jika manusia diciptakan Allah Swt. dalam
keadaan selalu berbeda. Perbedaan tersebut tidak hanya mencakup urusan
dunia, melainkan masuk dalam ranah hukum syareat agama yang mulia.
Allah Swt berfirman :
ﻭَﻟَﻮْ ﺷَﺎﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻟَﺠَﻌَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺃُﻣَّﺔً ﻭَﺍﺣِﺪَﺓً ۖ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺰَﺍﻟُﻮﻥَ ﻣُﺨْﺘَﻠِﻔِﻴﻦ O اِﻻَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia umat yg satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang yang Dia beri rahmat. (QS. Hud 118-119.)
Dewasa
ini banyak sekali terjadi perbedaan panjang tak berkesudaan yang
menjadi konsumsi orang awam. Tak ayal, jika terjadi berbagai macam
hujatan, cacian, atau penghinaan di dalamnya. Hal itu dikarenakan
perbedaan tersebut hanya boleh di hadapi oleh para ulama yang paham
serta mengerti agama dan adab ketika berbeda. Bukan sebagai bahan yang
boleh di sikapi oleh setiap orang.
Perbedaan yang saya maksud di
sini adalah perbedaan yang berkaitan dengan urusan agama. Adapun
perbedaan yang berkaitan dalam urusan dunia maka kita kembalikan kepada
yang bersangkutan.
Sejak masa keemasan sahabat radhiyallahu anhum,
sudah terjadi perbedaan. Sampai akhirnya perbedaan tersebut meluas dan
akhirnya sampai di ‘tangan kita’.
Salah satu faktor penyebab
perbedaan dalam syariat adalah munculnya cara pemahaman melalui “Kaedah
Ushuliyyah” (ushul fiqh). Maka, kita tidak akan mendapati satu
permasalahan cabang dalam agama kecuali para ulama berbeda di dalamnya.
Syariat
tidak melarang semua hal baru selama tidak menyalahi Alquran dan As
sunnah. Salah satu praktek hal tersebut tertuang dalam sebuah Kaedah Ushuliyah, “Al aadatu/al urfu muhakkamun” (adat-istiadat dapat ditolerir oleh syariat).
Jangan
heran, jika kita mendapati berbagai adat yang berbeda di setiap negara.
Dengan syarat adat tersebut harus tetap kembali atau bersumber dari
Al-quran dan As-sunnah. Meskipun adat-adat tersebut tidak ada di zaman
Nabi Saw, akan tetapi syariat tetap mengkokohkan dan mentolerirnya lewat
“Kaedah Ushuliyyah” yang di rumuskan oleh para ulama syariat sejak
munculnya kitab “Ar risalah” pertama karangan Imam As syafi’i
radhiyallahu anhu.
Merupakan sebuah kecerobohan yang sangat
tergesa-gesa, jika tolok ukur hukum syariat hanya berdasarkan sahabat
radhiyallahu anhum melakukan atau tidak. Atau karena tidak dilakukan
Nabi Saw.
Sebagai contoh :
Ibn Qayyim menyebutkan bahwa
membaca al-quran dan mengirimkannya ke mayyit dapat sampai berdasarkan
qiyas ranting yang ditanam Rasulullah Saw di kuburan seorang yang
disiksa dalam kuburnya. Kalo kita patok dengan kaedah diatas, tentunya
tidak akan kita dapati Nabi Saw melakukannya. Tapi beliau (ibn qayyim)
tetap mengkokohkannya dengan alasan-alasan yang beliau sampaikan.
Kembali
ke topic, dalam praktik adat-istiadat tersebut, kita dapat menemuinya
terjadi di masa para ulama-ulama kita sebagai berikut :
1. Shalat Qabliyyah magrib.
Sudah
sangat dimaklumi bahwa di dalam hadis sahih bahwa Nabi Saw
mempersilahkan atau memperbolehkan umatnya melakukan atau meninggalkan
shalat Qabliyyah magrib. Namun riwayat lain yang menjelaskan, bahwa
ketika Imam Ahmad bin hambal -radhiyallahu anhu- datang pada sebuah kaum
yang tidak terbiasa melakukan shalat Qabliyyah magrib beliau pun ikut
meninggalkannya tanpa ada pengingkaran. Dengan asumsi bahwa syariat
tidak pernah mengkhususkan agar meninggalkannya.
2. Mengangkat tangan setelah salam.
Sunnah
yang dilakukan setelah salam yaitu membaca zikir yang diajarkan oleh
Nabi Saw. Disamping itu dalam hadis yang lain beliau menyatakan kalau
doa setelah shalat fardhu itu mustajab.
Diriwayatkan bahwa Syekh
Ibnu Taimiyyah ketika singgah di sebuah kaum di bumi Syam yang
membiasakan berdoa mengangkat tangan lepas salam, beliau pun ikut
mengangkat tangan. Padahal, ajaran yang diajarkan oleh Nabi Saw adalah
membaca dzikir setelah shalat.
Dari kedua contoh diatas dapat
difahami, bahwa seorang ulama harus mempunyai sikap kasih sayang dalam
berdakwah. Tidak menakut-nakuti mereka dengan neraka, dan tidak
serampangan melarang sebuah amalan selagi tidak menjurus ke perbuatan
haram. Syariat mentolerir hal-hal baru selama ia dapat disandarkan atau
dikembalikan ke Alquran dan As sunnah.
Tentunya tidak semua orang
diperkenankan untuk menghukumi adat-istiadat baru. Ini adalah tugas para
ulama yang mereka benar-benar telah menyelami lautan syariat, dengan
mempunyai “Ruh As-Syariiah” dan menggeluti berbagai disiplin ilmu alat/istinbath dalil.
Diantaranya ilmu-ilmu tersebut :
a. Hafal dan mampu memahami Al-quran dan hadis secara menyeluruh dengan baik.
b. Pakar dalam bahasa arab serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya seperti, : balaghah, nahwu, sharaf dll.
c. Menyelami ilmu istinbath hukum dari al-quran maupun hadis melalui ilmu ushul fiqh yang di tetapkan para ulama.
d. Dan lain sebagainya.
Adapun
point penting yang ingin saya sampaikan adalah ketika kita bertanya
sebuah hukum suatu adat-istiadat di suatu kaum/negara, kita harus
bertanya pada ulama atau mufti yang memimpin di negara tersebut.
Merupakan
tindakan yang kurang tepat dan ceroboh, jika muncul permasalahan di
Mesir, lalu anda klarifikasi dari ulama/mufti Saudi. Begitu juga yang
lainnya.
Hal tersebut dikarenakan banyak faktor. Di antaranya
adalah perbedaan adat (yang ditolerir syariat) yang ada di setiap
kaum/negara. Memberi fatwa tidak bisa dengan hanya mendengar soal lalu
dijawab dengan Alquran atau Hadis.
Pemberian fatwa itu hanya boleh
dilakukan seorang mufti yang mengetahui seluk beluk, adat istiadat,
atau cara bergaul masyarakat setempat. Maka jangan kaget, ketika kita
mendapati sebuah fatwa yang berbeda-beda dari seorang mufti. Dan hal ini
sangat diperlukan sebuah klarifikasi pada mufti yang bersangkutan
sebelum menuduhnya dengan “plin-plan” dalam berfatwa.
Tidak semua
orang diperkenankan memberi fatwa. Oleh karena itu, sebagai seorang awam
hendaknya kita bertanya kepada seorang alim atau mufti yang ada di
daerah setempat.
Tidak boleh bagi orang awam beristinbath hukum
dalam syariat. Jikalau dia benar, maka dia berdosa karena tidak
mengikuti prosedur syariat yang benar. Jikalau dia salah, maka itulah
kesesatan yang dia tidak mengerti.
Point-point di atas adalah
rangkuman hasil pengajian ushul fiqh bab “Al ‘urfu muhakkamah
(adat-istiadat itu dapat dijadikan hukum)” yang saya ikuti tadi pagi.
Semoga
bermanfaat bagi diri saya sendiri untuk mematangkan secuil ilmu yang
diberikan Allah Swt. Begitu juga bermanfaat bagi pembaca sebagai salah
satu wacana istinbath hukum islam.
Jika ada kekurangan-dan kesalahannya mohon koreksi.
Wallahu a’lam.
oleh: Mochamad Ihsan Ufiq
0 komentar:
Posting Komentar