Sejumlah survei dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa
Masyarakat Indonesia saat ini jauh lebih "religius" (taat beribadah)
dibanding pada dekade 1950-an. Survei Nasional Reform Institute belum
lama ini menemukan, rata-rata 73 persen dari total pendukung 10 partai
terbesar menyatakan selalu menjalankan ibadah.
Dengan gambaran tersebut, sulit melakukan kategorisasi aliran
kepartaian berdasarkan ketaatan keagamaannya, seperti dalam tipologi
Clifford Geertz. Dengan alasan, baik pengikut partai-partai Islam maupun
partai nasionalis, memiliki tingkat ketaatan beribadah yang relatif
sama.
Meskipun, masyarakat Indonesia berkembang ke arah yang lebih
religius, tidaklah otomatis mengarah pada meningkatnya dukungan terhadap
partai-partai Muslim (berasas Islam maupun Pancasila). Pada Pemilihan
Umum 1998, jumlah suara yang diperoleh oleh semua partai Muslim,
termasuk partai-partai yang menjadikan Pancasila sebagai asasnya, hanya
sebesar 36,38 persen. Pada Pemilu 2004, total persentase suara yang
diperoleh seluruh partai-partai Muslim sedikit naik dari pemilu
sebelumnya, yakni 38,1 persen. Pada Pemilu 2009, total persentasenya
lebih merosot, tapi mungkin tidak bisa dijadikan ukuran karena Pemilu
2009 ini penuh dengan “skandal”. Gambaran itu menunjukan bahwa
capaian-capaian partai Muslim tidak pernah melampaui hasil Pemilu 1955,
yakni sekitar 42 persen.
Kendati partai-partai Muslim tidak mencapai kemajuan, terdapat
perkembangan lain yang tak kalah menarik. Fenomena kepartaian pada era
reformasi ini ditandai oleh kesediaan yang lebih genuine dari
para aktivis Islam untuk memasuki partai-partai nasionalis; bukan saja
partai Golkar yang sejak Orde Baru telah dimasuki banyak alumni HMI,
melainkan juga partai-partai nasionalis lainnya, seperti Partai
Demokrat, Gerindra, dan Hanura; bahkan PDIP sebagai representasi
sesungguhnya dari Partai Nasional Indonesia di masa lampau merasa perlu
untuk menampung secara khusus para aktivis dan aspirasi Islam ini lewat
pembentukan Baitul Muslimin Indonesia.
Dengan perkembangan seperti itu, kecenderungan Islamofobia dalam
politik Indonesia mulai terkikis, seiring dengan melemahnya kekuatan
politik Islam formalis. Hal ini memberi titik keseimbangan yang membawa
moderasi dalam ekspresi politik keislaman di Indonesia. Perkembangan ini
menjadi landasan yang baik bagi perkembangan demokrasi dan pertumbuhan
Muslim demokrat di Indonesia.
Islam akan lebih dimaknai dalam kerangka substansinya sebagai pemasok
nilai-nilai etik yang bersifat universal dalam kehidupan politik dan
bernegara. Dengan mengurangi obsesinya pada Islam simbolik yang selalu
menarik garis perbedaan dengan yang lain, ekspresi Islam substantif akan
memberi iklim yang kondusif bagi pengembangan inclusive citizenship yang mengakui hak kewargaan para pemeluk agama lainnya.
Secara historis, Islam di Indonesia dibangun di atas landasan
kedamaian dan toleransi. Meskipun doktrin serta mazhab radikal selalu
ada, pengaruh mereka relatif terbatas dan dilunakkan oleh dinamika
kekuatan sentripetal dan sentrifugal wacana internal Islam. Sepanjang
sejarah dan dalam beragam bentuknya, pasang surut pemikiran Islam di
negeri ini relatif telah membentuk elemen radikal yang cukup moderat
yang secara pragmatis mengakui keberadaan sistem pluralistik yang
menjadi dasar berdirinya negara Indonesia.
Keragaman internal dalam Islam menyulitkan terbentuknya representasi
Islam yang monolitik serta memberi mekanisme bawaan bagi moderasi Islam.
Dengan kondisi seperti itu, terbuka lebar kemungkinan untuk
mentransendensikan perbedaan-perbedaan religiokultural, memperlunak
perbedaan-perbedaan itu dan menjadikannya berada pada batas toleransi
tatanan yang beradab.
Diskursus tentang Islam dan demokrasi telah berakar panjang dalam
sejarah Indonesia. Setidaknya, sejak 1920-an, bersamaan dengan arus
masuk dan pertarungan ragam ideologis dalam ruang publik inteligensia
baru Indonesia, upaya untuk mengaitkan perjuangan Islam dan demokrasi
mulai bersemi.
Tjokroaminoto bersama para sejawat modernisnya di SI/PSII-sebagai
orang-orang berpendidikan modern yang terbuka terhadap pemikiran politik
Barat kontemporer, percaya bahwa demokrasi dan prinsip-prinsip
demokrasi haruslah menjadi dasar bagi perjuangan Islam. "Jika kita, kaum
Muslim, benar-benar memahami dan secara sungguh-sungguh melaksanakan
ajaran-ajaran Islam, kita pastilah akan menjadi para demokrat dan
sosialis sejati," ungkapnya (Tjokroaminoto 1952: 155). Bahkan, Mohammad
Natsir, yang sering dinisbatkan sebagai intelektual Islamis yang
memperjuangkan negara Islam tak pernah mendikotomikan Islam dan
demokrasi.
Dia percaya bahwa konsep negara Islam tidak bisa dicapai melalui
kekuatan bersenjata, melainkan harus diperjuangkan melalui tata politik
yang demokratis. “Sejauh berkait dengan (pilihan) kaum Muslim,
demokrasilah yang diutamakan karena Islam hanya bisa berkembang dalam
sistem yang demokratis” (Kahin 1993: 161).
Dengan demikian, agama dan politik tidak harus dipisahkan sejauh
negara bersifat netral dan sanggup melindungi ekspresi tiap-tiap pemeluk
agama. Harus dibedakan antara negara yang melindungi agama dan agama
yang merepresentasikan agama. Yang harus dihindari adalah kemungkinan
negara merepresentasikan ekspresi tunggal keagamaan, terlebih jika
berlangsung dalam konteks negara bangsa yang plural.
Alih-alih dipisahkan, krisis politik sebagai manifestasi dari
kebangkrutan moralitas dan spiritualitas ruang publik menghendaki
dipulihkannya kembali hubungan (etika) agama dan politik. Ketika agama
tersudut dari ruang publik ke ruang privat, yang muncul adalah ekspresi
spiritualitas personal yang terputus dari kehidupan publik. Sebaliknya,
politik sekular memandang rendah nilai-nilai agama dan mengabaikan
signifikansi kesalehan spiritual. Yang muncul adalah spiritualitas tanpa
pertanggungjawaban sosial dan politik tanpa jiwa.
Alhasil, Islam dan agama-agama lainnya bisa memberi kontribusi besar
bagi penciptaan budaya demokrasi, tapi juga bisa menghancurkannya.
Bergantung pada dimensi keagamaan yang ditumbuhkan. Untuk membuat agama
bermanfaat bagi kehidupan publik demokratis yang harus dihidupkan adalah
dimensi etis dan misi profetik agama yang bersifat universal yang
diarahkan bagi perwujudkan kemaslahatan bersama; kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial\
oleh: yudi latief
0 komentar:
Posting Komentar