Oleh: Yudi Latif
Hari Pendidikan Nasional telah berlalu, menyisakan keprihatinan
besar. Di negeri ini, ke mana pun kita menghadap, sulit menemukan
kecerdasan pikiran sebagai fitur utama kebijakan dan tindakan.
Kemunduran terbesar negeri ini bukan pada ekonomi, tetapi pada
kemunduran dalam menghargai pikiran.
Kecerdasan para pendiri negeri ini, seperti tecermin dalam kualitas
Pembukaan UUD 1945, jauh menjulang dibanding kapasitas para politisi
masa kini. Tanpa kecerdasan visi, para praktisi politik saat ini tak
memiliki pandangan yang terang tentang orientasi negara. Rakyat di
tingkat akar rumput kehilangan kepemimpinan dan kepercayaan.
Pikiran tak lagi menjadi ukuran kehormatan di negeri ini. Suatu
perkembangan yang melenceng jauh dari trayek sejarah perjuangan bangsa.
Persis pada awal abad ke-20, saat inteligensia pribumi mulai muncul
dengan obsesi kemajuan, kata "pikiran" dijadikan tanda baru menakar
kehormatan sosial. Tanda baru yang menjadi mercusuar, ke arah mana
idaman orang ditujukan. Tanda baru yang menjadi pembatas antara tradisi
dan inovasi, masa lalu dan masa depan.
Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar "kemajuan",
Bintang Hindia, Abdul Rivai memperkenalkan istilah "bangsawan pikiran".
Dikatakan, "Tak ada gunanya lagi membicarakan 'bangsawan usul' sebab
kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek moyang kita keturunan
bangsawan, maka kita disebut bangsawan, meski pengetahuan dan capaian
kita bagai katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan
pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang
melahirkan 'bangsawan pikiran'."
Tulisan seorang lulusan sekolah dokter-Jawa ini mewakili kegetiran
anak-anak terdidik dari kalangan priyayi rendahan dan nonbangsawan.
Dalam dualisme kebijakan kolonial yang diskriminatif, administrasi
pangreh praja sebagai lambang kehormatan diperuntukkan bagi anak-anak
priyayi tinggi, yang cenderung memilih sekolah menak hoofdenschool (awal
abad ke-20 menjadi OSVIA). Sementara itu, perluasan birokrasi dan
ekspansi kapitalisme memerlukan tenaga-tenaga pertukangan. Sekolah
dokter-Jawa (awal abad ke-20 menjadi STOVIA) dan sekolah guru
(kweekschool) semula dirancang untuk itu. Karena anak-anak priyayi
jarang yang berminat masuk sekolah ini, maka anak-anak priyayi rendahan
dan orang-orang biasa diberi peluang masuk.
Namun, diskriminasi tidak lenyap dengan menyandang ijazah. Pelbagai
bentuk diskriminasi dalam skala gaji dan status sosial tetap berlaku.
Situasi-situasi diskriminatif seperti inilah yang mendorong kaum
terdidik dari keturunan priyayi rendahan dan nonbangsawan berjuang
memancangkan "pikiran" sebagai tanda baru kehormatan sosial.
Sejak itu, "pikiran" menjadi peta-jalan bagi ideal-ideal generasi
selanjutnya. Memasuki dekade kedua abad ke-20, dengan dibukanya sekolah
ala Eropa bagi penduduk bumiputra, seperti HIS, MULO, dan AMS, jumlah
orang terdidik dari kalangan rendahan kian besar.
Berpijak pada peta jalan yang telah dipancangkan generasi sebelumnya,
angkatan baru kaum terdidik bergerak lebih maju dengan mencampakkan
kata bangsawan yang mendahului kata pikiran. Maka, tanda baru segera
dicipta, tanda yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan dan
berkhidmat sepenuhnya pada pikiran. Tanda itu bernama "kaum terpelajar"
atau "pemuda-pelajar", atau sering diungkap dalam bahasa Belanda, jong.
Dalam tanda dan peta jalan seperti inilah generasi Sukarno, Hatta,
Sjahrir, dan Natsir dibesarkan. Tokoh-tokoh ini lahir pada dekade
pertama abad ke-20 dan semua tak bisa dikatakan anak-anak priyayi
tinggi. Kebetulan, generasi ini merupakan buah pertama gelombang
"pembelandaan" (Dutchification) yang intens serta politik asosiasi yang
dicanangkan Snouck Hurgronje.
Perjuangan selalu dimulai dari kerja wacana. Tanpa kata, perjuangan
kehilangan arah. Seperti itu pula generasi Sukarno. Praksis wacana lewat
kelompok studi dan kerja jurnalistik menjadi tahap awal perjuangan
mereka. Semua tokoh yang disebut di atas merupakan aktivis kelompok
studi dan penerbitan. Menulis adalah mencipta dan mencipta selalu
mensyaratkan membaca. Kian banyak mencipta, kian banyak membaca; kian
kaya bacaan, kian kaya hasil penciptaan.
Yang pertama diciptakan adalah nama, tanda pengenal diri yang memberi
kesadaran eksistensial. Jika tak suka dengan rumah kolonial, hal
pertama yang harus dirobohkan adalah tanda-tanda yang diciptakan. Tanda
kolonial pertama yang dirobohkan adalah kata "Hindia Belanda", diganti
kata Indonesische. Mencipta nama akhirnya mengisyaratkan bahasa. Jika
yang diperlukan sebuah nama yang otentik, maka bahasa yang digunakan
harus berbeda dengan bahasa kolonial. Maka nama Indonesische diubah
menjadi Indonesia. Akhir 1924, Indonesische Vereeniging berganti menjadi
Perhimpunan Indonesia. Aneka perhimpunan sosial politik di Tanah Air
mulai mengimbuhkan kata "Indonesia" di balik namanya. Indonesia pun
menjadi nama bangsa, sedangkan bahasa Indonesia menjadi identitas
kebangsaan. Monumennya dipancangkan pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Dari sini, kemerdekaan Indonesia menemukan jangkarnya.
Bermula dari tanda, sejarah pemikiran dan kemerdekaan tercipta.
Lantas, tanda apakah yang diciptakan pada awal abad ini? Ada tanda-tanda
bahwa "pikiran" tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Inteligensia dan
politisi berhenti membaca dan mencipta karena kepintaran kembali
dihinakan oleh "kebangsawanan baru" (kroni dan kemewahan). Jagat politik
dihuni orang-orang pandir. Habis terang, terbitlah gelap!
0 komentar:
Posting Komentar