Wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan atau negara kita padahal diperintah
orang-orang non-muslim? wajib hukumnya secara agama, karena adanya dua
sebab. Sebab pertama, karena kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan
ajaran Islam, di samping sebab kedua, karena dahulu di kawasan tersebut
telah ada Kerajaan Islam.
Jawabaan di atas memperkuat pandangan Ibn Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir ini, Hukum Agama Islam (fiqh) memperkenankan adanya "pimpinan berbilang" (ta'addud al-a'immah),
yang berarti pengakuan akan kenyataan bahwa kawasan dunia Islam
sangatlah lebar di muka bumi ini, hingga tidak dapat dihindarkan untuk
dapat menjadi efektif (syaukah). Konsep ini, yaitu adanya
pimpinan umat yang hanya khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan,
telah diperkirakan oleh kitab suci Al-qur'an dengan Firman Allah;
"Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan
perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal" (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja'alnakum syu'uban wa qaba'ila li ta'arafu).
Firman Allah inilah yang menjadi dasar adanya perbedaan pendapat di
kalangan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan diantara
mereka, seperti kata firman Allah juga: "Berpeganglah kalian (erat-erat)
kepada tali Allah secara keseluruhan, dan janganlah
terbelah-belah/saling bertentangan" (wa'tashimu bi habli Allahi jami'an wa la tafarraqu).
Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, dapat kita terima kenyataan tentang kedudukan negara dalam pandangan Islam, maka dalam hal ini diperlukan sebuah klarifikasi
yang jelas tentang perlu tidaknya didirikan sebuah NI. Di sini ada dua
pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, seperti pendapat kaum elit
politik di Saudi Arabia, Iran, Pakistan dan Mauritania. Pendapat kedua,
seperti dianut oleh banyak organisasi Islam, tidak perlu
ada NI. Ini disebabkan oleh heteroginitas sangat tinggi di antara para
warga negara, di samping kenyataan ajaran Islam menjadi tanggungjawab
masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan ini bertolak dari
kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran formal yang baku tentang
negara, yang jelas ada adalah mengenai tanggungjawab masyarakat untuk
melaksanakan Syari'ah Islam.
Memang, ada argumentasi dalam bentuk firman Allah;
"Hari ini telah Ku-sempurnakan agama kalian, Ku-sempurnakan bagi kalian
(pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan Islam "sebagai" agama (Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radlitu lakum al-Islama diinan).
Jelaslah dengan demikian, Islam tidak harus mendirikan negara agama,
melainkan ia berbicara tentang kemanusiaan secara umum, yang sama
sekali tidak memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap
konsep tentang negara. Demikian pula, Firman Allah; "Masuklah kalian ke
dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan" (Udkhulu fi al-silmi kaffah).
Ini berarti kewajiban bagi kita untuk menegakkan ajaran-ajaran
kehidupan yang tidak terhingga, sedangkan yang disempurnakan adalah
prinsip-prinsip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat
dan waktu manapun juga, asalkan tidak melangar prinsip-prinsip tersebut.
Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk segenap waktu dan tempat (Al-Islam yasluhu likulli zamanin wa makanin).
Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan Kitab Suci;
"Orang yang tidak "mengeluarkan" fatwa hukum (sesuai dengan) apa yang
diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk) orang yang kafir -atau dalam
variasi lain dinyatakan orang yang dzalim atau orang yang munafiq-" (Wa man lam yahkum bima anzala Allahu wa hua kaafirun). Tapi tidak ada alasan untuk melihat keharusan mendirikan
NI, karena Hukum Islam tidak bergantung pada adanya negara, melainkan
masyarakat pun dapat memberlakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat
Jum'at, juga tidak karena undang-undang negara, melainkan karena itu
diperintahkan oleh Syari'at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral
berpegang dan dengan sendirinya melaksanakan Syari'ah Islam, tidak lagi
memerlukan kehadiran sebuah Negara Agama, seperti yang dibuktikan para
sahabat di Madinah setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Kemajemukan
(heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, membuat kita
hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan negara, yang tidak
berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang sering dikacaukan oleh
orang yang tidak mau mengerti bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib
bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada
ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama
secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup dilahirkan
dalam bentuk masyarakat saja? Orang "berakal sehat" tentu akan
berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau memang hal itu tidak
memperoleh tentangan, dan tidak melanggar prinsip persamaan hak bagi
semua warga negara untuk mengatur kehidupan mereka.
Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak mau mengalah itu
membuat gagasan membentuk NI di negara kita (menjadi NII), sebagai
sebuah utopia yang terdengar sangat indah, namun sangat meragukan dalam
kenyataan. Ini belum kalau pihak non-muslim ataupun pihak kaum Muslimin
nominal (kaum abangan), tidak berkeberatan atas gagasan mewujudkan
negara Islam itu. Jadi gagasan yanag semula tampak indah itu, pada
akhirnya akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga
negara, yang hanya sepakat dalam mendirikan negara bukan agama. Inilah
yang harus dipikirkan sebagai kenyataan sejarah. Kalaupun toh
dipaksakan -sekali lagi- untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita,
maka yang akan terjadi hanyalah serangkaian pemberontakan bersenjata
seperti yang terjadi di negara kita tahun-tahun 50-an. Apakah deretan
pemberontakan bersenjata seperti itu, yang ingin kita saksikan kembali
dalam sejarah modern bangsa kita ? Ini prinsip yang jelas, tapi sulit
dilaksanakan, bukan?
0 komentar:
Posting Komentar