"The man behind the gun". siapakah yang mengendalikan senjata? yang memegang adalah bagian keamanan atau penjahat kelas kakap. Tapi justru banyak bagian keamanan yang dikendalikan oleh emosi peluru. Seperti yang sering terjadi pada kenyataan kita saat ini, TNI vs POLRI.
Bentrokan TNI AD dengan polisi itu justru terjadi pada masa reformasi
atau setelah institusi Polri melepaskan diri dari TNI yang dulu bernama
ABRI. TNI yang mendapat sorotan dan kritik tajam karena pada orde baru
banyak terlibat dalam politik praktis dan pelanggaran HAM kemudian
melakukan perbaikan diri.
TNI melakukan reformasi internal dan lebih mengedepankan
profesionalisme dengan meninggalkan dunia politik yang secara ekonomi
dan kekuasaan banyak menguntungkan mereka. Namun reformasi internal itu
rupanya hanya terjadi pada tingkat atas, sementara di level prajurit
paling bawah masih belum banyak perubahan.
Kalau pada level pimpinan kini justru menampilkan sosok
TNI yang tidak lagi menakutkan karena harus dekat dengan rakyat, maka
pada level bawah kemungkinan masih belum menghilangkan sikap sebagai
penguasa.
Bersamaan dengan itu kekuasaan polisi yang di jaman orde
baru ditempatkan sebagai "saudara muda" justru lebih besar karena lepas
dari bayang-bayang militer.
Rebutan lahan "ceperan"
(mencari penghasilan di luar dinas) antara anggota TNI dengan polisi menjadi fakta yang memilukan.
Rebutan lahan "ceperan" yang biasanya dilakukan oknum (bukan institusi)
itu seringkali memicu emosi sesama korps sehingga bentrok dengan korps
lainnya.
Faktor lainnya adalah tingginya tingkat
stres aparatnya di lapangan. Tingginya rotasi penugasan yang dibebankan
kepada anggota Polri di lapangan telah mengakibatkan mereka stres
sehingga banyak yang tanpa sadar melakukan tindakan di luar kontrol. Contoh, hasil tes tahun 1998
menunjukkan bahwa 20 persen polisi yang bertugas di komplek DPR/MPR
mengalami gangguan kejiwaan (psikis).
Sementara pengamat masalah Indonesia dari Australian National University, Harold Crouch dalam Harian he Sydney Morning Herald,
Senin (30/9) seperti dikutip sebuah situs internet mengatakan,
bentrokan itu erat kaitannya dengan ketidakmampuan pemerintah untuk
mendanai polisi dan TNI. Realitas yang ada menunjukkan hanya 30% biaya
TNI yang ditanggung negara, sedangkan sisanya, TNI harus mencari
sendiri.
Akibat kesulitan pembiayaan ini, TNI pun membentuk
yayasan bisnis dan nampaknya hal itu belum cukup sehingga memaksa mereka
juga untuk terjun memasuki bisnis seperti pelacuran, perjudian dan
pengiriman TKI ilegal atau pemerasan.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya untuk
diperhatikan oleh pimpinan TNI/Polri maupun pemerintah adalah kasus
maraknya narkoba di tanah air yang juga menyeret sejumlah oknum
TNI/Polri terlibat di dalamnya. Kasus Binjai telah menjadi contoh bahwa
kasus narkoba telah menyulut "perang" dua aparat keamanan.
Mantan Sekretaris DPD Gerakan Nasional Anti Narkotika
(Granat) Jatim Singky Soewadji mengatakan, sangat mungkin kasus Binjai
itu dimanfaatkan oleh para bandar narkoba sehingga bisa menggerakkan
pasukan satu batalyon.
"Namanya TNI Polri itu kan satu komando. Setelah
penyerangan ke Markas Polres Binjai, Kasad dan Pangdam telah
memerintahkan semua senjata pasukan Yon Linud 100/PS dilucuti dan mereka
dikarantina. Tapi kenyataannya, besoknya malah menyerbu Brimob, bahkan
komandannya pun disandera," katanya.
Menurut dia, kenyataan tersebut menunjukkan bahwa
kekuatan narkoba dan bandarnya sangat kuat karena mampu mengalahkan
perintah seorang mayor jenderal dan jenderal (pimpinan tertinggi TNI
AD). Kenyataan itu sangat memprihatinkan karena dilakukan oleh tentara.
"Sejak dulu tentara itu kan satu komando, tapi sekarang
tampaknya sudah tidak mempan lagi. Hirarki di TNI nampaknya sudah tidak
berlaku lagi karena kalah oleh 'perintah' bandar narkoba. Saya pikir
analisa seperti ini semua orang sudah tahu," katanya.
Selain itu bentrokan tersebut hendaknya dijadikan sarana
introspeksi bagi seluruh jajaran TNI dengan Polri untuk memperbaiki
sikap dan kinerja masing-masing di lapangan.
Agaknya, kemerosotan disiplin prajurit TNI Polri pada titik paling
rendah itu harus dipandang juga sebagai kegagalan pemimpin mereka dalam
mengendalikan anggotanya yang bersenjata. Ternyata bagian keamanan masyarakat masih harus diamankan, lalu, kepada siapa kita meminta keamanan yang tulus???.....
0 komentar:
Posting Komentar