Sabtu, 06 April 2013

Ketika yang mengamankan harus diamankan....(TNI vs POLRI)


"The man behind the gun". siapakah yang mengendalikan senjata? yang memegang adalah bagian keamanan atau penjahat kelas kakap. Tapi justru banyak bagian keamanan yang dikendalikan oleh emosi peluru. Seperti yang sering terjadi pada kenyataan kita saat ini, TNI vs POLRI.

Bentrokan TNI AD dengan polisi itu justru terjadi pada masa reformasi atau setelah institusi Polri melepaskan diri dari TNI yang dulu bernama ABRI. TNI yang mendapat sorotan dan kritik tajam karena pada orde baru banyak terlibat dalam politik praktis dan pelanggaran HAM kemudian melakukan perbaikan diri.

TNI melakukan reformasi internal dan lebih mengedepankan profesionalisme dengan meninggalkan dunia politik yang secara ekonomi dan kekuasaan banyak menguntungkan mereka. Namun reformasi internal itu rupanya hanya terjadi pada tingkat atas, sementara di level prajurit paling bawah masih belum banyak perubahan.

Kalau pada level pimpinan kini justru menampilkan sosok TNI yang tidak lagi menakutkan karena harus dekat dengan rakyat, maka pada level bawah kemungkinan masih belum menghilangkan sikap sebagai penguasa.

Bersamaan dengan itu kekuasaan polisi yang di jaman orde baru ditempatkan sebagai "saudara muda" justru lebih besar karena lepas dari bayang-bayang militer.

Rebutan lahan "ceperan" (mencari penghasilan di luar dinas) antara anggota TNI dengan polisi menjadi fakta yang memilukan. Rebutan lahan "ceperan" yang biasanya dilakukan oknum (bukan institusi) itu seringkali memicu emosi sesama korps sehingga bentrok dengan korps lainnya.

Faktor lainnya adalah tingginya tingkat stres aparatnya di lapangan. Tingginya rotasi penugasan yang dibebankan kepada anggota Polri di lapangan telah mengakibatkan mereka stres sehingga banyak yang tanpa sadar melakukan tindakan di luar kontrol. Contoh, hasil tes tahun 1998 menunjukkan bahwa 20 persen polisi yang bertugas di komplek DPR/MPR mengalami gangguan kejiwaan (psikis).

Sementara pengamat masalah Indonesia dari Australian National University, Harold Crouch dalam Harian he Sydney Morning Herald, Senin (30/9) seperti dikutip sebuah situs internet mengatakan, bentrokan itu erat kaitannya dengan ketidakmampuan pemerintah untuk mendanai polisi dan TNI. Realitas yang ada menunjukkan hanya 30% biaya TNI yang ditanggung negara, sedangkan sisanya, TNI harus mencari sendiri.

Akibat kesulitan pembiayaan ini, TNI pun membentuk yayasan bisnis dan nampaknya hal itu belum cukup sehingga memaksa mereka juga untuk terjun memasuki bisnis seperti pelacuran, perjudian dan pengiriman TKI ilegal atau pemerasan.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan oleh pimpinan TNI/Polri maupun pemerintah adalah kasus maraknya narkoba di tanah air yang juga menyeret sejumlah oknum TNI/Polri terlibat di dalamnya. Kasus Binjai telah menjadi contoh bahwa kasus narkoba telah menyulut "perang" dua aparat keamanan.

Mantan Sekretaris DPD Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Jatim Singky Soewadji mengatakan, sangat mungkin kasus Binjai itu dimanfaatkan oleh para bandar narkoba sehingga bisa menggerakkan pasukan satu batalyon.

"Namanya TNI Polri itu kan satu komando. Setelah penyerangan ke Markas Polres Binjai, Kasad dan Pangdam telah memerintahkan semua senjata pasukan Yon Linud 100/PS dilucuti dan mereka dikarantina. Tapi kenyataannya, besoknya malah menyerbu Brimob, bahkan komandannya pun disandera," katanya.

Menurut dia, kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kekuatan narkoba dan bandarnya sangat kuat karena mampu mengalahkan perintah seorang mayor jenderal dan jenderal (pimpinan tertinggi TNI AD). Kenyataan itu sangat memprihatinkan karena dilakukan oleh tentara.

"Sejak dulu tentara itu kan satu komando, tapi sekarang tampaknya sudah tidak mempan lagi. Hirarki di TNI nampaknya sudah tidak berlaku lagi karena kalah oleh 'perintah' bandar narkoba. Saya pikir analisa seperti ini semua orang sudah tahu," katanya.

Selain itu bentrokan tersebut hendaknya dijadikan sarana introspeksi bagi seluruh jajaran TNI dengan Polri untuk memperbaiki sikap dan kinerja masing-masing di lapangan.

Agaknya, kemerosotan disiplin prajurit TNI Polri pada titik paling rendah itu harus dipandang juga sebagai kegagalan pemimpin mereka dalam mengendalikan anggotanya yang bersenjata. Ternyata bagian keamanan masyarakat masih harus diamankan, lalu, kepada siapa kita meminta keamanan yang tulus???.....

0 komentar:

 
;