Selasa, 09 April 2013

DUNIA KERTAS


Saya lebih setuju bahwa makna sufi adalah kejernihan. Kejernihan akhlak atau akhlakul karimah adalah tingkatan tertinggi bagi seorang hamba. Biasa kita kenal dengan istilah ihsan. Semua ibadah dan macam ragam hukum (syari’at) diajarkan oleh agama kepada manusia agar hidupnya tertata dengan baik, baik secara individu maupun kepada sesamanya.  Rasulullah saw diutus untuk menyempurnakan akhlak. Salat, puasa dan aneka ragam ibadah mahdloh lainnya tujuan utamanya adalah mendekatkan diri kepada Allah swt, apa buah dari orang yang dekat Allah?...tentu saja akhlakul karimah. Faktanya adalah umat Islam sekarang ini, jangan jauh-jauh, umat Indonesia, akhlaknya semakin amburadul, mengapa demikian?...

Jawabannya simpel saja, karena Islam yang mereka jadikan naungan adalah hanya sekedar formalitas, belum menyentuh ke hati, kita tentu tahu bahwa hati adalah pusat dari perilaku manusia. Dan hati/qolbu itulah yang dalam ibadah terus disentuh dan dibersihkan. Faktor lainnya adalah Islam Indonesia kebanyakan masih abangan, faktor ajaran nenek moyang dalam asimilasi keagamaan dan budaya. Maka dengan ini menyimpulkan wajah Islam yang sesungguhnya dari realitas perilaku orang Indonesia adalah sangat naif.

Yang menjadi pembahasan kali ini adalah betapa faktor hedonisme menjadi virus utama. Kita tentu masih ingat hadits Rasulullah saw yang menyatakan bahwa dunia ini semakin tua semakin cantik, semakin jauh dari nilai agama dan makin marak sikap materialis. Sikap materialis adalah anak kandung dari sikap hedonis, dan semua sikap itu biangnya adalah kapitalisme. Kita lihat bagaimana produk-produk canggih begitu membludak saling berlomba mendapat konsumen sebanyak-banyaknya. Perdagangan bebas tidak lebih adalah penyebaran budaya asing yang less value dengan iklan-iklan yang egosentris dengan mengumbar wanita dan harta guna menggaet perhatian orang banyak. Semuanya merayu umat untuk berdzikir dengan nafsu bukan dengan qolbu. 

Bukan itu saja, dalam ranah pendidikan sekarang ini benar-benar memprihatinkan, kapitalisme pendidikan. Semuanya tergantung ijazah/secarik kertas bukan kwalitas, jual beli ijazah menjadi sah. Anak bangsa dibesarkan dengan kurikulum materialis dengan tujuan utamanya menjadi pekerja atau kasarnya adalah untuk mencari uang. Kasus kekerasan anak antar sekolah menjadi contoh betapa guru disibukkan oleh formalitas dari negara karena memaksakan status akriditas sekolahnya yang A, B atau standar internasional, maka mana sempat menemani anak didiknya?...

Selain itu paham materialis melahirkan paham empirisme, positivisme: seeing is believing, akal adalah segala-galanya, maka melemahkan jiwa dan batin. Kita tahu dalam tasawwuf, ketika orang sibuk dengan apa yang dilihat saja, termasuk hanya mementingkan jasad dan menafikan hati, maka unsur-unsur spiritual orang itu akan lenyap, jauh dari bimbingan iman. 

Inti dari semua itu adalah betapa hidup kita saat ini jauh dari hati, semuanya didominasi oleh unsur secarik kertas –uang, ijazah dan sampah, inilah dunia kertas. Di sinilah peran etika dan estetika dalam aksiologi harus dibina dan dirawat. Dan itu semua ada dalam tasawwuf, tasawwuf berperan besar bagi kehidupan modern. Kembali kepada ajaran Rasul dan para sahabatnya, setuju? 

Oleh: Rahmat Abdurrosyid







0 komentar:

 
;