Senin, 29 April 2013 0 komentar

Neo-Imperialisme dan Senyum Inlander

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Pidato Pembelaan Bung Hatta di depan Mahkamah Belanda di Den Haag, pada bulan Maret 1928 di bawah judul “Indonesie Vrij” (Indonesia Merdeka) dan Pidato Pembelaan Bung Karno di depan Pengadilan Kolonial di Bandung, bulan Agustus 1930, dengan judul “Indonesia Menggugat” terasa masih relevan dengan situasi Indonesia sekarang ini.

Relevansi itu semakin terasa bila dikaitkan dengan masalah kedaulatan kita di bidang ekonomi yang semakin didikte oleh pihak asing, terutama sejak krisis moneter di akhir abad yang lalu. Ketergantungan Indonesia pada “instruksi” IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia dalam mengatasi krisis melalui BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sebesar Rp 650 triliun telah semakin menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia, demi penalangan negara terhadap 'pengusaha hiu' yang sedang kelimpungan saat itu.

Bung Hatta dalam kritik kerasnya kepada sistem kolonialisme dan imperialisme mengutip pendirian PI (Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda melalui ungkapan ini: “Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi daripada suatu negara asing.” (Lihat hlm. 136-137).

Ungkapan sangat berani ini adalah inti pesan kemerdekaan bangsa yang paling autentik yang dialamatkan kepada Belanda yang tidak punya niat untuk mengendorkan nafsu kolonialnya atas tanah jajahannya. Bung Hatta ketika menyampaikan pidato itu baru berusia 26 tahun, tetapi api patriotisme dan nasionalismenya siap menghadapi segala risiko dari pernyataannya itu. Tidak hanya sampai di situ, Bung Hatta menantang lebih lanjut: “Jika tiba saatnya maka Nederland (Belanda, red) akan ditempatkan pada alternatif, mengundurkan diri dengan sukarela dari Indonesia atau dilemparkan ke luar dari Indonesia.” (Hlm. 139). Siapa yang tidak merinding bangga dengan sikap patriot sejati pada sosok Hatta ini.
Minggu, 28 April 2013 0 komentar

MAKNA ISLAM

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata :
Pengertian Islam secara umum adalah beribadah kepada Allah dengan syari’at-Nya sejak masa Allah mengutus para Rasul hingga tegaknya hari kiamat. Pengertian Islam inilah yang dimaksud oleh Allah dalam banyak ayat yang menunjukkan bahwa syari’at-syari’at terdahulu semuanya juga disebut berislam kepada Allah ‘azza wa jalla, seperti firman Allah yang menceritakan tentang Ibrahim (yang artinya), “Wahai Rabb kami jadikanlah kami berdua orang yang muslim kepada-Mu dan juga anak keturunan Kami sebagai umat yang muslim kepada-Mu.” (QS. Al-Baqarah : 128).

Adapun Islam dalam pengertian yang lebih khusus semenjak pengutusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hanya mencakup agama yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu disebabkan agama yang beliau ajarkan menjadi penghapus seluruh agama terdahulu. Sehingga siapa saja (orang sesudah beliau) yang mengikuti beliau menjadi orang muslim dan siapa saja yang menentang beliau maka dia bukanlah muslim. Maka para pengikut rasul terdahulu adalah orang muslim di masa rasul mereka. Orang Yahudi adalah kaum muslimin di masa Musa ‘alaihis salam. Begitu pula orang Nasrani adalah kaum muslimin di masa Isa ‘alaihis salam. Adapun ketika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus kemudian mereka mengingkari risalah beliau maka mereka bukan lagi kaum muslimin.

Agama Islam dalam pengertian inilah agama yang sekarang diterima di sisi Allah dan akan bermanfaat bagi pemeluknya. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali-’Imraan : 19). Dan Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia akan termasuk golongan yang menderita kerugian.” (QS. Ali-’Imraan : 85). Seperti inilah keislaman yang dianugerahkan Allah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta umatnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),”Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagimu agamamu dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atasmu. Dan Aku pun ridha Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maa’idah : 3). (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 20-21)
0 komentar

Birokratisasi Gerakan Islam

Oleh: Abdurrahman Wahid
Yang dimaksudkan dengan birokratisasi adalah keadaan yang berciri utama kepentingan para birokrat menjadi ukuran. Sama saja halnya dengan militerisme jika kepentingan pihak militer merupakan ukuran utama bagi perkembangan sebuah negeri. Jadi bukannya apabila kaum birokrat turut serta dalam kepemimpinan, seperti halnya jika para pemimpin militer ada dalam pemerintahan. Kata kunci dalam kedua hal ini adalah di tangan siapa kekuasaan itu.

Ada seorang pengamat militer dan ahli strategi perang dari Eropa Barat lebih dari seabad yang lalu, Carl von Clausewitz, mengatakan bahwa "perang terlalu penting untuk hanya diputuskan oleh para jenderal saja. Jadi perang adalah sebuah keputusan besar, yang secara teoretik harus diputuskan oleh seluruh rakyat dari sebuah negara". Demikian juga dengan gerakan Islam.

Gerakan Islam di negeri ini sudah ada, secara resmi dan terorganisasi lahir bersama hadirnya Muhammadiyah sejak tahun 1912. Namun sesuatu yang harus dipahami secara mendalam adalah Nahdlatul 'Ulama (NU), yang lahir pada tahun 1926, mempunyai asal-usul yang sama tuanya dengan Muhammadiyah. Yaitu ketika berabad-abad yang lalu, para ulama Islam mulai berbeda pendapat mengenai ziarah kubur dan sebangsanya.

Ulama yang memperkenankan hal itu, di kemudian hari adalah orang yang mendirikan NU. Sedangkan yang melarang kemudian mendirikan Muhammadiyah, sementara mereka yang ingin 'menjembatani' di antara kedua organisasi tersebut, pada akhirnya mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tahun-tahun tujuh-puluhan. Pembedaan yang demikian sederhana ini, dilakukan untuk mempermudah pengertian kita saja.
Kamis, 25 April 2013 0 komentar

Religion is Good For you

Oleh: Azyumardi Azra

Agama baik untuk Anda. Akan tetapi, sekali lagi, ada kalangan masyarakat yang tidak setuju dengan pernyataan ini. Alasannya macam-macam, terutama terkait dengan ekses-ekses tertentu dari tindakan orang-orang yang berbuat atas nama agama. Padahal, tindakan itu merupakan penyimpangan dan bertentangan dengan esensi dan ajaran agama-rahmat dan kasih bagi semesta alam.

Jelas jauh lebih banyak lagi orang yang yakin agama baik untuk umat manusia. Memulai perdebatan Intelligence Squared2 (IQ2) tentang “Religion is Good for You”, saya berpandangan, agama baik bagi individu dan masyarakat jika esensi dan ajarannya diimani dan diamalkan secara komprehensif. Untuk memperoleh kebaikan agama, orang atau kelompok masyarakat mesti tidak mengambil ajaran agama atau ayat-ayat dalam kitab suci secara sebagian atau sepotong-potong. Juga tidak memahami ajaran atau ayat kitab suci tertentu untuk kepentingan sendiri, apakah harta benda, pengaruh, dan kekuasaan.

Pemahaman semaunya terhadap agama, baik keseluruhan maupun sebagian, hanya berujung pada ekses yang mendistorsi agama yang jelas bertentangan dengan hakikat agama.

Pemahaman agama secara komprehensif (syumul atau kaffah) tidak bisa dengan menggunakan akal pikiran semata. Karena, agama pertama-tama bukanlah kumpulan doktrin ilmiah yang bersandar pada prinsip rasional.

Sebaliknya sejak dari awal, agama menyangkut keimanan-ranah yang hanya bisa terjangkau kalbu tidak oleh akal. Memang agama mengandung ajaran rasional, tetapi tidak berarti agama sepenuhnya dapat dipahami dengan menggunakan akal pikiran semata.
Sifat agama seperti itulah yang justru membedakan agama dengan sains dan produk akal lain. Karena itu, sejauh menyangkut agama, yang terpenting adalah mengimani (believing), mengamalkan (practicing), dan mengalami (experiencing). Melakukan ketiga hal ini dalam beragama, manusia dapat merasakan bahwa 'agama benar-benar baik bagi kita'.
Sabtu, 20 April 2013 0 komentar

TEORI KEBANGKITAN


Al Islam ya’lu wala yu’la ‘alaih, Islam Rohmatan lil ‘Alamin...kita sering mendengar kata seperti itu, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Islam semakin terpuruk, apa penyebabnya?... Beberapa faktor penyebab kemunduran umat Islam:
1.      Kebodohan, sehingga sering terjadi permusuhan di kalangan umat Islam, terlebih karena masalah furu’iyyah dan menimbulkan bermacam-macam penafsiran yang menyimpang dari esensi ajaran Islam
2.      Kerusakan budi pekerti terutama para pemimpinnya.
3.      Sikap jumud/beku yang dialamai umat Islam, dengan menyelubungi ketauhidan yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan khurafat dan faham kesufian
4.      Terlalu fokus dalam hal keagamaan atau ibadah saja, khususnya dalam dunia pendidikan generasi muda Islami. Padahal pengetahuan umum (filsafat, tekhnologi, biologi, politik, mantiq dll) adalah penting untuk dipelajari.
5.      Cinta Dunia dan Takut Mati. Nabi Muhammad SAW berkata: ”Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang yang berebut melahap isi mangkok makanan. Para sahabat bertanya, “Apakah saat itu jumlah kami sedikit, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih air bah (tidak berguna) dan kalian ditimpa penyakit wahan.” Mereka bertanya lagi, “Apa itu penyakit wahan, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kecintaan yang sangat kepada dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud)

Tapi menurut saya yang tidak kalah penting adalah politik dan ekonomi. Kita tahu bahwa banyak sekali para pejuang Islam yang berusaha mati-matian untuk bisa kembali menghidupkan dan membangkitkan Islam, tapi sayang mandek di tengah jalan. Mengapa? Karena kalah dengan kebijakan politik dan ekonomi penguasa, dan para penguasa bertekuk lutut di bawah kaki Barat.  Umat Yahudi meski berjumlah hanya 40 juta mampu menguasai dunia lewat ekonomi dan politik.
Rabu, 17 April 2013 0 komentar

Paradok Demokrasi

Empat belas tahun Orde Reformasi, perkembangan demokrasi Indonesia menampakkan wajah yang paradoks. Disatu sisi demokratisasi membawa kebebasan berekspresi dan berasosiasi. Di sisi lain, terdapat antagonisme terhadap kecenderungan ini berupa arus balik "politik identitas" (identity politics), yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif-etnis, agama, dan bahasa.

Arus balik politik identitas ini membawa arus liar di balik maslahat demokrasi. Betapa tidak, pintu masuk menuju demokratisasi ini dimulai dengan aksi kekerasan terhadap keturunan Tionghoa, disusul oleh serangkaian kekerasan negara dan masyarakat, terutama di Papua, Timor-Timur, Aceh, Kalimantan Barat, Maluku, Jawa Timur, Jawa Barat, dan wilayah lainnya.

Pemilukada secara langsung malah membawa dampak lebih jauh, berupa bentrokan keluarga, marga, dan tetangga dalam lingkungan terdekat.

Hal ini terjadi karena politik segregasi yang diperkenalkan sejak era kolonial membuat masyarakat Indonesia terkunci dalam situasi "plural monokulturalisme" yang terdiri atas banyak etnokultural yang hidup dalam kepompong budayanya masing-masing, tanpa kehendak saling berbagi.

Di masa Orde Baru, situasi demikian diperkuat, ketika asimilasi dipaksakan dan perbedaan ditekan lewat tabu SARA. Maka, ketika angin kebebasan berembus, arus desentralisasi menjadi katalis bagi perayaan perbedaan.
Selasa, 09 April 2013 0 komentar

DUNIA KERTAS


Saya lebih setuju bahwa makna sufi adalah kejernihan. Kejernihan akhlak atau akhlakul karimah adalah tingkatan tertinggi bagi seorang hamba. Biasa kita kenal dengan istilah ihsan. Semua ibadah dan macam ragam hukum (syari’at) diajarkan oleh agama kepada manusia agar hidupnya tertata dengan baik, baik secara individu maupun kepada sesamanya.  Rasulullah saw diutus untuk menyempurnakan akhlak. Salat, puasa dan aneka ragam ibadah mahdloh lainnya tujuan utamanya adalah mendekatkan diri kepada Allah swt, apa buah dari orang yang dekat Allah?...tentu saja akhlakul karimah. Faktanya adalah umat Islam sekarang ini, jangan jauh-jauh, umat Indonesia, akhlaknya semakin amburadul, mengapa demikian?...

Jawabannya simpel saja, karena Islam yang mereka jadikan naungan adalah hanya sekedar formalitas, belum menyentuh ke hati, kita tentu tahu bahwa hati adalah pusat dari perilaku manusia. Dan hati/qolbu itulah yang dalam ibadah terus disentuh dan dibersihkan. Faktor lainnya adalah Islam Indonesia kebanyakan masih abangan, faktor ajaran nenek moyang dalam asimilasi keagamaan dan budaya. Maka dengan ini menyimpulkan wajah Islam yang sesungguhnya dari realitas perilaku orang Indonesia adalah sangat naif.

Yang menjadi pembahasan kali ini adalah betapa faktor hedonisme menjadi virus utama. Kita tentu masih ingat hadits Rasulullah saw yang menyatakan bahwa dunia ini semakin tua semakin cantik, semakin jauh dari nilai agama dan makin marak sikap materialis. Sikap materialis adalah anak kandung dari sikap hedonis, dan semua sikap itu biangnya adalah kapitalisme. Kita lihat bagaimana produk-produk canggih begitu membludak saling berlomba mendapat konsumen sebanyak-banyaknya. Perdagangan bebas tidak lebih adalah penyebaran budaya asing yang less value dengan iklan-iklan yang egosentris dengan mengumbar wanita dan harta guna menggaet perhatian orang banyak. Semuanya merayu umat untuk berdzikir dengan nafsu bukan dengan qolbu. 

Bukan itu saja, dalam ranah pendidikan sekarang ini benar-benar memprihatinkan, kapitalisme pendidikan. Semuanya tergantung ijazah/secarik kertas bukan kwalitas, jual beli ijazah menjadi sah. Anak bangsa dibesarkan dengan kurikulum materialis dengan tujuan utamanya menjadi pekerja atau kasarnya adalah untuk mencari uang. Kasus kekerasan anak antar sekolah menjadi contoh betapa guru disibukkan oleh formalitas dari negara karena memaksakan status akriditas sekolahnya yang A, B atau standar internasional, maka mana sempat menemani anak didiknya?...

Selain itu paham materialis melahirkan paham empirisme, positivisme: seeing is believing, akal adalah segala-galanya, maka melemahkan jiwa dan batin. Kita tahu dalam tasawwuf, ketika orang sibuk dengan apa yang dilihat saja, termasuk hanya mementingkan jasad dan menafikan hati, maka unsur-unsur spiritual orang itu akan lenyap, jauh dari bimbingan iman. 

Inti dari semua itu adalah betapa hidup kita saat ini jauh dari hati, semuanya didominasi oleh unsur secarik kertas –uang, ijazah dan sampah, inilah dunia kertas. Di sinilah peran etika dan estetika dalam aksiologi harus dibina dan dirawat. Dan itu semua ada dalam tasawwuf, tasawwuf berperan besar bagi kehidupan modern. Kembali kepada ajaran Rasul dan para sahabatnya, setuju? 

Oleh: Rahmat Abdurrosyid







Senin, 08 April 2013 0 komentar

Mengapa Aceh Begitu Istimewa?

Kita tahu dan ingat sejak dari dulu Aceh adalah salah satu daerah yg sangat ditakuti penjajah. Belandapun tak bisa menaklukkan Aceh dengan perang, dan Aceh ditaklukkan dikarenakan pengkhianatan.

Cut Nyak Dien, Teuku Umar dan Cut Meutia adalah beberapa tokoh perjuangan rakyat Aceh yg sangat terkenal dengan kegigihannya berjuang melawan penjajah. Dan ada sebuah cerita yg menjadi salah satu alasan penting mengapa Aceh mendapatkan gelar Daerah Istimewa selain Yogyakarta.

Jasa rakyat Aceh terhadap negeri ini sungguh amat besar. Ketika pemerintah pusat di Yogya ditangkap Belanda dalam perang mempertahankan kemerdekaan, dibentuklah PDRI (Pemerintahan Darurat RI) yang berpusat di Bukittingi, Sumatera Barat. Yang tidak diketahui khalayak banyak, semua pengeluaran dan dana operasionil PDRI ini dibiayai oleh rakyat Aceh.

Dari dana operasionil Staf Angkatan Laut, dan Staf Angkatan Udara, misi diplomasi Dr. Soedarsono ke India dan L. N. Palar di markas besar PBB di New York, AS, dana operasional perwakilan RI di Penang dan Singapura, ongkos pengeluaran duta keliling RI Haji Agus Salim dan biaya konferensi Asia di New Delhi, India, seluruhnya juga ditanggung oleh rakyat Aceh.

Belum cukup dengan segala pengorbanan itu semua, rakyat Aceh juga dengan ikhlas membeli dua buah pesawat terbang untuk dihibahkan kepada pemerintah pusat. Pembelian pesawat ini memakai mata uang dollar yang diperoleh dari hasil sumbangan rakyat Aceh.
0 komentar

Melek Politik, Gerakan dan Perubahan

Politik adalah sarana pararel bagi aspirasi masyarakat yang paling bawah untuk dihubungkan dan disampaikan kepada para pemimpin. Namun, keserakahan para penguasa membuat wajah politik berubah menjadi suram. Politik ibarat kubangan lumpur, ketika seseorang terjatuh ke dalamnya, maka dia pasti akan langsung "burem", orang yang baikpun secara drastis bisa berubah menjadi sebaliknya. Pragmatisme adalah pilihan satu-satunya, bukan idealisme, itulah kenyataannya saat ini.

Betapa banyak korban berjatuhan karena "black politic", dan berapa lama Islam kelam karena kelakuan para politikus yang hanya mencari untung dari label Islam. Hingga saat ini, wajah Islam yang buram adalah produk dari politik yang salah dan egosentris. Maka bagaimana solusinya?.......

Pertama:  Mari kita berpikir politis, berpikir cerdas agar dapat memahami dan memahamkan orang lain mana yang gerakan politik bertopengkan Islam dan mana yang gerakan Islam murni.

Kedua: Mari berpolitik dan jangan takut berpolitik untuk menegakkan kebenaran. Tanpa berperan dalam politik praktis maka buat apa kita membangun pondasi dari bawah?....tanpa generasi politikus yang bijak, gerakan bawah kita akan percuma karena akan dihancurkan oleh kaum politik elit lainnya.

Ketiga: Mari kita sosialisasikan kepada generasi masa depan, bahwa Islam bukan hanya ibadah mahdloh (sholat dll). Islam harus real dan berpijak di atas bumi dengan sikap dan aksi, bukan hanya di masjid, tapi di seluruh aspek kehidupan ini. Khususnya bagi para da'i dan ulama, tidak boleh buta akan nilai-nilai keIndonesiaan.

Keempat: Mari kita lebih berfikir logis dan empiris serta bersikap moderat tidak kolot.

Kelima: Islam harus idealis tapi juga kompromis. Sehingga peran agama sebagai rohmatan lil 'alamin dengan kontekstualitasnya yang "hangat" bisa terlihat jelas. Indonesia bisa menjadi contoh yang hebat dengan keadaan alamnya yang sangat plural. 

Keenam: Menolak segala macam bentuk kekerasan dan menang sendiri dengan label Islam. Islam adalah kelembutan, dan Islam tidak pernah memaksakan kebenaran kepada orang lain.

Intinya, melek politik, melek gerakan dan melek perubahan. Jangan hanya membatasi generasi kepada ilmu-ilmu agama saja tetapi juga ilmu-ilmu umum lainnya, bukan hanya pemikiran Timur tapi juga menelan pemikiran Barat.
Kita harus saling mengingatkan, bahwa kita memiliki kewajiban agar apapun perbedaan pendirian kita, kita harus hidup bersama dalam satu ikatan. Islam merupakan agama besar, tanpa mengecilkan agama-agama lain. 
Kaum muslimin tidak hidup sendirian di dunia ini, melainkan ditakdirkan oleh Allah untuk hidup bersama-sama dengan orang-orang beragama lain. Bahkan kaum muslimin harus hidup dengan mereka yang tidak ber-Tuhan, atau mereka yang memiliki kerangka etis yang lain, seperti kerangka dari ‘masa lampau'. Untuk apakah semua itu?...untuk menjadikan kita bijaksana bahwa kita memang benar-benar berbeda, dan jangan memaksa untuk sama....jika tidak, maka darah akan terus mengalir deras....!!! so, tahan emosi....karena emosi adalah sifat syaitan yang akhirnya adalah penyesalan....

Oleh: Rahmat Abdurrosyid
0 komentar

Negara Islam Indonesia....sangat indah dalam angan...tapi garang dalam kenyataan...

Wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan atau negara kita padahal diperintah orang-orang non-muslim? wajib hukumnya secara agama, karena adanya dua sebab. Sebab pertama, karena kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam, di samping sebab kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah ada Kerajaan Islam. 

Jawabaan di atas memperkuat pandangan Ibn Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir ini, Hukum Agama Islam (fiqh) memperkenankan adanya "pimpinan berbilang" (ta'addud al-a'immah), yang berarti pengakuan akan kenyataan bahwa kawasan dunia Islam sangatlah lebar di muka bumi ini, hingga tidak dapat dihindarkan untuk dapat menjadi efektif (syaukah). Konsep ini, yaitu adanya pimpinan umat yang hanya khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan, telah diperkirakan oleh kitab suci Al-qur'an dengan Firman Allah; "Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal" (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja'alnakum syu'uban wa qaba'ila li ta'arafu). Firman Allah inilah yang menjadi dasar adanya perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan diantara mereka, seperti kata firman Allah juga: "Berpeganglah kalian (erat-erat) kepada tali Allah secara keseluruhan, dan janganlah terbelah-belah/saling bertentangan" (wa'tashimu bi habli Allahi jami'an wa la tafarraqu).

Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, dapat kita terima kenyataan tentang kedudukan negara dalam pandangan Islam, maka dalam hal ini diperlukan sebuah klarifikasi yang jelas tentang perlu tidaknya didirikan sebuah NI. Di sini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, seperti pendapat kaum elit politik di Saudi Arabia, Iran, Pakistan dan Mauritania. Pendapat kedua, seperti dianut oleh banyak organisasi Islam, tidak perlu ada NI. Ini disebabkan oleh heteroginitas sangat tinggi di antara para warga negara, di samping kenyataan ajaran Islam menjadi tanggungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan ini bertolak dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran formal yang baku tentang negara, yang jelas ada adalah mengenai tanggungjawab masyarakat untuk melaksanakan Syari'ah Islam.

Memang, ada argumentasi dalam bentuk firman Allah; "Hari ini telah Ku-sempurnakan agama kalian, Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan Islam "sebagai" agama (Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radlitu lakum al-Islama diinan). Jelaslah dengan demikian, Islam tidak harus mendirikan negara agama, melainkan ia berbicara  tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep tentang negara. Demikian pula, Firman Allah; "Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan" (Udkhulu fi al-silmi kaffah). Ini berarti kewajiban bagi kita untuk menegakkan ajaran-ajaran kehidupan yang tidak terhingga, sedangkan yang disempurnakan adalah prinsip-prinsip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan waktu manapun juga, asalkan tidak melangar prinsip-prinsip tersebut. Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk segenap waktu dan tempat (Al-Islam yasluhu likulli zamanin wa makanin).

Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan Kitab Suci; "Orang yang tidak "mengeluarkan" fatwa hukum (sesuai dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk) orang yang kafir -atau dalam variasi lain dinyatakan orang yang dzalim atau orang yang munafiq-" (Wa man lam yahkum bima anzala Allahu wa hua kaafirun). Tapi tidak ada alasan untuk melihat keharusan mendirikan NI, karena Hukum Islam tidak bergantung pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat memberlakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum'at, juga tidak karena undang-undang negara, melainkan karena itu diperintahkan oleh Syari'at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral berpegang dan dengan sendirinya melaksanakan Syari'ah Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah Negara Agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

Kemajemukan (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, membuat kita hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup dilahirkan dalam bentuk masyarakat saja? Orang "berakal sehat" tentu akan berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau memang hal itu tidak memperoleh tentangan, dan tidak melanggar prinsip persamaan hak bagi semua warga negara untuk mengatur kehidupan mereka.

Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak mau mengalah itu membuat gagasan membentuk NI di negara kita (menjadi NII), sebagai sebuah utopia yang terdengar sangat indah, namun sangat meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pihak non-muslim ataupun pihak kaum Muslimin nominal (kaum abangan), tidak berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam itu. Jadi gagasan yanag semula tampak indah itu, pada akhirnya akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga negara, yang hanya sepakat dalam mendirikan negara bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan sejarah.  Kalaupun toh dipaksakan -sekali lagi- untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi hanyalah serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di negara kita tahun-tahun 50-an. Apakah deretan pemberontakan bersenjata seperti itu,  yang ingin kita saksikan kembali dalam sejarah modern bangsa kita ? Ini prinsip yang jelas, tapi sulit dilaksanakan, bukan? 
 
 
Sabtu, 06 April 2013 1 komentar

FPI (Front Pencemar Islam) Transformasi Pam Swakarsa

Front Pembela Islam atau FPI adalah ormas yg paling fenomenal dan kontroversial di Indonesia..dicaci maki rakyat tapi dibutuhkan penguasa, FPI itu bukan ormas agama. Bukan ormas islam. FPI itu ormas biasa yang dibentuk oleh pemerintah. TNI dan Polri pasca reformasi, Cikal bakal FPI adalah Pam Swakarsa yg dirikan pangab Jend Wiranto berserta pucuk pimpinan polri. Tujuannya : mencegah konflik Vertikal.
Konflik vertikal itu adalah konflik antara massa dengan pemerintah/Aparat keamanan : Polri dan TNI. Konflik vertikal ini merugikan. Konflik vertikal merugikan citra polisi dan TNI karena cenderung menimbulkan citra bhw Polri dan TNI itu musuh rakyat. Ini berbahaya. Sebab itu Wiranto cs membuat Pam Swakarsa. Massa demo mahasiswa/aktivis dihadapi oleh massa sipil juga. Pamswakarsa ini komandani aktivis mahasiswa. Tapi Pamswakarsa pny kelemahan mendasar. Mudah ditebak sbg antek pemerintah dan dibayar. Maka harus ditransformasi ke ormas yg lbh tepat, Maka lahirlah Front Pembela Islam. Semula mau dinamakan Front Pembela Indonesia. Kata “Islam” dipakai karena lebih “startegis”.
Tujuan utama pendirian FPI : garda terdepan pasukan polisi, pembuat isu, maintain isu, kelola konflik, pengumpul informasi dst, Peran FPI ini persis konsep Banpol (pembantu polisi) dan Babinsa (bintara pembina desa). Jadi “pasukan marinirnya” polisi.
FPI bergerak berdasarkan sistem komando. Atas dasar intruksi dari petinggi Polri dan TNI. Agendanya jelas dan terarah. Diawal2 berdirinya FPI sempat  ada ”kesalahapahaman” antara anggota FPI dgn aparat polisi yg belum tahu bhw FPI itu “adik kandung” polisi.
Publik pernah baca laporan CIA, bhw BIN bantu milyaran rupiah setiap tahun ke FPI. FPI itu asset pemerintah utk “berhadapan” dgn rakyat, Utk menipu publik, pimpinan FPI dipasang sosok “ulama & tokoh agama”, kata “Islam” dipakai sbg perisai FPI dari serangan/ktritik publik. Tidak ada satu kata atau satu kalimatpun dlm tujuan pendirian FPI utk : Dakwah, syiar islam, amar maruf dst…tidak ada. FPI hanya alat.
Pemerintah tahu persis risikonya jika aparat polisi/TNI yg menyerang atau menangkap aktivitas2 elemen rakyat yg dinilai “membahayakan”, Pemerintah khawatir dgn citra Polri/TNI dan pemerintah di mata internasional. Terkait isu HAM, demokrasi dst. FPI yg “dimajukan” kedepan. Sesekali FPI mmg offiside atau abused of power. Serang2 warung maksiat atau judi2 “tak berizin”. Sengaja dibiarkan agar ada legitimasi. Anggota2 FPI yg off side itu kadang ditangkap dan ditahan jika byk sorotan publik, tp langsung dilepas lagi jika sorotan publik sdh reda, Pemerintah dan FPI butuh “legitimasi” agar FPI benar2 dipercaya publik sbg ormas agama. Bukan sbg ormas bentukan polisi/TNI.
Pdhl FPI ditujukan utk agenda& tujuan politik praktis pemerintah. Itu sebabnya setiap aksi pesanan, polisi selalu hadir dibelakang FPI, Aggota/kader2 rendahan FPI tdk tahu bhw FPI itu bentukan, ditunggangi dan jalankan agenda polisi/ pemerintah. Sentimen mereka dimainkan. Sekarang ini biaya ops FPI itu rutin dari pemerintah, dari setoran bandar2 narkoba/prostitusi yg sdh “dicuci” dan dari hasil pemerasan. Sesekali FPI dibolehkan jalankan “aksi sendiri” utk maintain eksistensi FPI. Tapi aksi utama FPI tetap sbg kepanjangan tangan polri.
Siapa yg rugi? Umat islam. Kata “Islam” yg melekat pada FPI perburuk citra islam di dalam negeri& luar negeri. pemerintah aman. Bersih, Tuntutan pembubaran FPI kepada pemerintah, sampai kiamat tdk akan dipenuhi pemerintah. Karena FPI itu mmg bagian dr startegi pemerintah, FPI ttp dibutuhkan pemerintah dlm “penyelesaian kasus2 tertentu” yg sensitif, abu2, rawan dan potensial timbulkan konflik horizontal, Satu2nya cara adalah : ajukan gugatan class action ke MA utk robah nama FPI dgn cabut kata Islam di FPI atau batalkan SK pendiriannya.
Sudah lama nama islam dirusak, dicemarkan, dimanfaatkan dan ditunggani FPI/Pemerintah. Sdh saatnya diluruskan. Umat islam rugi besar, Yg untung ya polri dan pemerintah, nama mereka bersih, rakyat diadudomba, nama islam tercemar.
0 komentar

Ketika yang mengamankan harus diamankan....(TNI vs POLRI)


"The man behind the gun". siapakah yang mengendalikan senjata? yang memegang adalah bagian keamanan atau penjahat kelas kakap. Tapi justru banyak bagian keamanan yang dikendalikan oleh emosi peluru. Seperti yang sering terjadi pada kenyataan kita saat ini, TNI vs POLRI.

Bentrokan TNI AD dengan polisi itu justru terjadi pada masa reformasi atau setelah institusi Polri melepaskan diri dari TNI yang dulu bernama ABRI. TNI yang mendapat sorotan dan kritik tajam karena pada orde baru banyak terlibat dalam politik praktis dan pelanggaran HAM kemudian melakukan perbaikan diri.

TNI melakukan reformasi internal dan lebih mengedepankan profesionalisme dengan meninggalkan dunia politik yang secara ekonomi dan kekuasaan banyak menguntungkan mereka. Namun reformasi internal itu rupanya hanya terjadi pada tingkat atas, sementara di level prajurit paling bawah masih belum banyak perubahan.

Kalau pada level pimpinan kini justru menampilkan sosok TNI yang tidak lagi menakutkan karena harus dekat dengan rakyat, maka pada level bawah kemungkinan masih belum menghilangkan sikap sebagai penguasa.

Bersamaan dengan itu kekuasaan polisi yang di jaman orde baru ditempatkan sebagai "saudara muda" justru lebih besar karena lepas dari bayang-bayang militer.

Rebutan lahan "ceperan" (mencari penghasilan di luar dinas) antara anggota TNI dengan polisi menjadi fakta yang memilukan. Rebutan lahan "ceperan" yang biasanya dilakukan oknum (bukan institusi) itu seringkali memicu emosi sesama korps sehingga bentrok dengan korps lainnya.

Faktor lainnya adalah tingginya tingkat stres aparatnya di lapangan. Tingginya rotasi penugasan yang dibebankan kepada anggota Polri di lapangan telah mengakibatkan mereka stres sehingga banyak yang tanpa sadar melakukan tindakan di luar kontrol. Contoh, hasil tes tahun 1998 menunjukkan bahwa 20 persen polisi yang bertugas di komplek DPR/MPR mengalami gangguan kejiwaan (psikis).

Sementara pengamat masalah Indonesia dari Australian National University, Harold Crouch dalam Harian he Sydney Morning Herald, Senin (30/9) seperti dikutip sebuah situs internet mengatakan, bentrokan itu erat kaitannya dengan ketidakmampuan pemerintah untuk mendanai polisi dan TNI. Realitas yang ada menunjukkan hanya 30% biaya TNI yang ditanggung negara, sedangkan sisanya, TNI harus mencari sendiri.

Akibat kesulitan pembiayaan ini, TNI pun membentuk yayasan bisnis dan nampaknya hal itu belum cukup sehingga memaksa mereka juga untuk terjun memasuki bisnis seperti pelacuran, perjudian dan pengiriman TKI ilegal atau pemerasan.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan oleh pimpinan TNI/Polri maupun pemerintah adalah kasus maraknya narkoba di tanah air yang juga menyeret sejumlah oknum TNI/Polri terlibat di dalamnya. Kasus Binjai telah menjadi contoh bahwa kasus narkoba telah menyulut "perang" dua aparat keamanan.

Mantan Sekretaris DPD Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Jatim Singky Soewadji mengatakan, sangat mungkin kasus Binjai itu dimanfaatkan oleh para bandar narkoba sehingga bisa menggerakkan pasukan satu batalyon.

"Namanya TNI Polri itu kan satu komando. Setelah penyerangan ke Markas Polres Binjai, Kasad dan Pangdam telah memerintahkan semua senjata pasukan Yon Linud 100/PS dilucuti dan mereka dikarantina. Tapi kenyataannya, besoknya malah menyerbu Brimob, bahkan komandannya pun disandera," katanya.

Menurut dia, kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kekuatan narkoba dan bandarnya sangat kuat karena mampu mengalahkan perintah seorang mayor jenderal dan jenderal (pimpinan tertinggi TNI AD). Kenyataan itu sangat memprihatinkan karena dilakukan oleh tentara.

"Sejak dulu tentara itu kan satu komando, tapi sekarang tampaknya sudah tidak mempan lagi. Hirarki di TNI nampaknya sudah tidak berlaku lagi karena kalah oleh 'perintah' bandar narkoba. Saya pikir analisa seperti ini semua orang sudah tahu," katanya.

Selain itu bentrokan tersebut hendaknya dijadikan sarana introspeksi bagi seluruh jajaran TNI dengan Polri untuk memperbaiki sikap dan kinerja masing-masing di lapangan.

Agaknya, kemerosotan disiplin prajurit TNI Polri pada titik paling rendah itu harus dipandang juga sebagai kegagalan pemimpin mereka dalam mengendalikan anggotanya yang bersenjata. Ternyata bagian keamanan masyarakat masih harus diamankan, lalu, kepada siapa kita meminta keamanan yang tulus???.....
0 komentar

Berpikir Logis dan Argumentatif

Pendahuluan
Dalam tradisi intelektual Islam manusia didefinisikan sebagai hewan yang berfikir (hayawan natiq). Berfikir logis dan argumentatif merupakan prasyarat dalam pencarian ilmu pengetahuan. Artinya dalam mencari ilmu pengetahuan sesorang harus mengikuti aturan befikir atau hukum-hukum berfikir yang terrangkum dalam ilmu yang disebut logika (mantiq) atau qiyas.
Secara etymologis logika berasal dari kata logos yang mempunyai dua arti 1) pemikiran 2) kata-kata. Jadi logika adalah ilmu yang mengkaji pemikiran. Karena pemikiran selalu diekspresikan dalam kata-kata, maka logika juga berkaitan dengan “kata sebagai ekspresi dari pemikiran”. Sementara itu qiyas berarti ukuran. Jika dikatikan dengan pemikiran maka qiyas berarti ukuran kebenaran berfikir. Namun secara definitif logika berarti “ilmu tentang hukum yang menentukan validitas berfikir”. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hukum befikir yang valid, akan dijelaskan  difinisi logika tersebut.

Logika sebagai Ilmu Normatif
Ilmu atau sains adalah pengetahuan; tapi perlu dipahami bahwa semua sains adalah pengertahuan, dan semua pengetahuan tidak berarti sains. Seseorang bisa tahu nama-nama berbagai anggota tubuh manusia, tapi pengetahuannya itu tidak mesti ilmiyah (saintifik). Anda mungkin tahu tentang tumbuh-tumbuhan dan benda-benda di angkasa, tapi pengetahuan anda mungkin tidak saintifik. Sains, oleh karena itu tidak semata-mata pengetahuan, tapi pengetahuan yang sistimatis, akurat dan lengkap tentang sesuatu subyek. Pengetahuan yang tidak sistimatis tidak dapat disebut sains, seperti juga batu-bata yang terhampar dan tidak tersusun tidak dapat disebut bangunan. Jadi sains atau ilmu adalah pengetahuan tentang suatu subyek yang bersifat metodologis, eksak dan lengkap.
Dalam kaitannya dengan metodologi, Ilmu dibagi sedikitnya menjadi dua  1) ilmu Alam (natural sciences) dan 2) ilmu normatif (normative sciences). Yang pertama membahas tentang sesuatu sebagaimana adanya (things as thay are), sedangkan yang kedua membahas tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu (things they should be). Logika termasuk kedalam kategori yang kedua, yaitu ilmu atau sains normatif, karena ia mengkaji pemikiran, tidak sebagaimana adanya, tapi bagaimana seharusnya.
Selain logika, terdapat ilmu normatif lainnya seperti estetika dan etika. Dalam hal ini Islam sebagai din dan pandangan hidup memiliki asas bagi berkembangnya ilmu alam, ilmu normatif, estetika dan etika.
Kaidah berfikir dan validitasnya
Karena logika merupakan ilmu normatif, maka ia memiliki kaidah befikir yang bersifat normatif, artinya logika meletakkan kaidah-kaidah atau standar bagaimana seharusnya kita berfikir. Ia tidak menjelaskan tentang bagaimana kita berfikir (karena ini menjadi topic pembahasan ilmu psikologi), tapi bagaimana seharusnya kita berfikir. Kaidah-kaidah berfikir menyerupai kaidah etika dan estetika karena semuanya bersifat normatif.
Kaidah-kaidah berfikir dalam logika diamksudkan untuk menentukan apakah suatu pemikiran itu disebut valid atau tidak, artinya benar atau tidak menurut kaidah logika. Valid atau benar menurut kaidah logika terdapat dua makna:
Pertama  tidak kontradiktif (self-contradictory) atau bebas dari sifat kontradiktif. Ini dalam logika disebut validitas formal (formal validity). Seperti misalnya mengatakan segitiga berbentuk empat persegi panjang. Segi empat berbentuk bulat. Contoh befikir yang kontradiktif adalah sbb:
Manusia adalah makhluk yang akan mati
Mahasiswa adalah manusia
Maka mahasiswa tidak akan mati
Argumentasi diatas salah karena kesimpulannya bertentangan (kontradiktif) dengan pernyataan (premis) sebelumnya. Seharusnya kesimpulannya maka mahasiswa akan mati.
Kedua,  sesuai dengan ralitas yang sebenarnya (agree with actual reality). Ini disebut validitas material (material validity).  Seperti misalnya:
Manusia adalah meja
Buku adalah manusia
Maka manusia adalah meja
Argumentasi diatas tidak kontradiktif, karena kesimpulannya merupakan hasil dari dua pernyataan (premis) sebelumnya, tapi argument ini tidak valid. Mengapa? Karena apa yang dinyatakan dalam argumentasi tersebut tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.
Dari kedua macam validitas diatas maka logika dibagi menjadi dua macam 1) Logika Deduktif 2) Logika Induktif. Logika Deduktif hanya melihat validitas formal suatu pemikiran atau argumentasi, maka dari itu seringkali disebut dengan Logika Formal (formal logic). Logika Induktif menekankan pada validitas material suatu pemikiran, maka dari itu disebut juga sebagai Logika Material.
Dalam logika deduktif masalah yang diangkat adalah apakah suatu pemikiran konsisten? Sedangkan dalam Logika Induktif pertanyaan yang dimunculkan adalah apakah suatu pemikiran itu konsisten dengan realitas yang ada? Yang pertama melihat bentuk (form) pemikirannya, sedangkan yang kedua meninjau substansi pemikirannya. Maka dari itu agar suatu argumentasi dihukumi sebagai valid maka ia harus memiliki validitas formal dan juga material, artinya tidak kontradiktif dan harus konsisten dengan realitas aktual.
Maka dari itu jika kita mendengar suatu pernyataan atau argumentasi, kita harus menguji argumentasi tersebut dari dua sisi, pertama apakah argumentasi itu secara logis tidak kontradiktif dan kedua apakah argumentasi itu secara substantif sesuai dengan realitas.
Elemen Pemikiran
Jika kita cermati secara seksama, maka suatu pemikiran terdiri dari dari 3 elemen penting, yaitu 1) konsep (concept, tasawwur), 2) penyimpulan (judgment, tasdiq), dan 3) penalaran (reasoning, nazar).
1)      Konsep (concept) artinya ide yang umum. Ketika kita menyatakan bahwa “manusia akan mati”, kita berbicara tentang konsep “manusia” dan konsep “mati” secara umum, bukan manusia tertentu atau kematian tertentu. Seperti juga kalau kita menyebut kata “pesantren”, “sekolah”, “adil”, “aqidah dsb. Jadi, perkataan manusia, negara, pesantren, pendidikan, universitas, buku, kuda, dsb, adalah konsep-konsep sejauh mereka itu merujuk kepada makna suatu obyek secara umum. Konsep ini dalam ilmu logika disebut terma (term)
2)      Penyimpulan (judgment) adalah kombinasi dari dua konsep. Ketika kita membandingkan atau menggabungkan dua konsep, sehingga kemudian menunjukkan makna baru, maka kita telah memperoleh apa yang disebut penyimpulan. Seperti misalnya “pesantren itu bukan sekolah”, adalah penyimpulan dari perbandingan konsep “pesantren” dengan konsep “sekolah”, atau “manusia adalah makhluk sosial” adalah penyimpulan dari kombinasi konsep manusia dan konsep makhluk sosial. Jadi penyimpulan (judgment) terdiri dari dua konsep dan dalam logika penympulan disebut proposisi atau premis.
3)      Penalaran (reasoning) adalah suatu proses deduksi yang ditarik dari dua penyimpulan atau lebih. Jika kita mengatakan “Semua orang Jawa adalah orang Indonesia, maka tidak ada orang Jawa yang bukan orang Indonesia”, maka kita telah melakukan penalaran (reasoning). Karena hanya terdiri dari dua proposisi maka ini disebut deduksi langsung (immediate inference). Akan tetapi jika penalaran itu kita lakukan dengan meletakkan dua proposisi, maka disebut deduksi tidak langsung ( a mediate inference atau syllogism). Seperti misalnya
Manusia akan hewan berfikir
Mahasiswa adalah manusia
Maka, mahasiswa adalah hewan berfikir
Jadi dalam penalaran kita menggabungkan satu atau lebih proposisi atau premis dengan proposisi yang lain untuk mencapai kesimpulan (conclusion). Ini dalam logika disebut dengan argumentasi.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa yang disebut pemikiran itu berasal dari konsep yang digabungkan dengan konsep-konsep lain sehingga membentuk proposisi dan dari gabungan proposisi itulah kita memperoleh pengetahuan baru.
Menguji suatu argumentasi
Jika kita menemukan suatu pemikiran maka yang pertama-tama kita uji adalah konsepnya. Apakah konsep dalam suatu argumentasi itu jelas dan dapat kita terima atau masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Jika pun konsep itu jelas yang tidak lagi diperdebatkan, kita harus juga menguji apakah dalam perspektif lain (secara sosiologis, secara politis, secara Islam dsb) konsep itu dapat diterima.
Jika konsep-konsep yang kita temukan itu tidak ada masalah, maka selanjutnya kita harus mengujinya apakah gabungan konsep dengan konsep yang lain dalam argumentasi itu dapat diterima dan tidak menimbulkan kerancuan. Konsep Islam, misalnya sudah jelas, tapi ketika digabungkan dengan konsep liberal dan menjadi “Islam liberal”, maka terjadi kerancuan. Sebab Islam berarti berserah diri, sementara liberal artinya bebas, maknanya kontradiktif. Seperti juga gabungan konsep kafir dan saleh, menjadi “seorang kafir yang saleh”, juga “kolonialis yang humanis”, “perampok yang  moralis” dsb.
Jika gabungan konsep-konsep suatu argumentasi tidak perlu dipermasalahkan, maka kita perlu mengujinya apakah kesimpulannya sesuai dengan premis-premis yang diberikan sebelumnya. Disini pengetahuan kita tentang logika formal sangat diperlukan.
Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas, maka jelaslah bahwa befikir logis artinya berfikir sesuai dengan kaidah-laidah ilmu logika. Dan berfikir argumentatif adalah berfikir dengan menggunakan argumentasi yang valid seperti yang diatur dalam ilmu logika tersebut.
 
;