Kamis, 29 November 2012

bid'ah?

A. Beberapa Pemabahasan Tentang Bid’ah
Dari sisi Hadits, dirasa cukup keterangan yang ada untuk mensyarahkannya. Akan tetapi terdapat aspek-aspek lain yang seharusnya diikut-sertakan ketika membahas tema bid’ah ini. Dalam pembahasannya, penulis berusaha menghadirkan data dari berbagai literatur yang pada umumnya memang terdapat dalam kitab-kitab yang membahas tentang tema Bid’ah ini. Diantaranya pembagian bid’ah dari berbaga tinjauan, hukum bid’ah, yang akan dipaparkan dalam pembahasan selanjutnya.
  1. 1. Pembagian Bid’ah
Sebelumnya telah sedikit diulas mengenai pembagian bid’ah menurut al-Syafi’i dan Ibn al-Atsir mengenai pembagian bid’ah dari sisi baik buruknya. Namun ternyata, dalam berbagai karya, pembagian bid’ah tidak hanya dibagi menjadi dua bagian tersebut, melainkan banyak sekali klasifikasi bid’ah yang terbagi atas beberapa pembagian. Berikut keterangannya.
  1. a. Pembagian berdasarkan Haqiqi dan Idlafiy
Pembagian ini berdasarkan segi Ushul dan furu’ dalam ajaran Islam. Adapun yang dimaksud dengan bid’ah haqiqiyyah: perkara baru yang tidak didapatkan dalil disyari’atkannya, baik itu dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan juga tidak terdapat pada pengambilan hukum yang dilakukan oleh mayoritas Ulama. Dan bid’ah semacam ini tergolong ke dalam bid’ah sayyi’ah seperti contoh: mengharamkan yang halal, menolak kehujjahan sunnah, membuat ibadah yang baru (menambah model shalat yang lain), dan lain sebagainya[1].
Bid’ah Idlafiyyah: yakni perkara baru dalam agama, yang dipandang dari satu sisi adalah sunnah dan dari sisi lain merupakan bid’ah. Maksudnya ialah, secara prinsip telah diajarkan oleh Rasul, namun dalam prakteknya tidak pernah dilakukan oleh Rasul.[2] Seperti contoh yang telah disebutkan sebelumnya, menuntut Ilmu telah diajarkan oleh Rasul, akan tetapi mengenai praktek yang berkembang pada masa sekarang—sekolah, kursus, kuliah, belajar via internet—tidak pernah dilakukan oleh beliau.
  1. b. Pembagian berdasarkan Diniyyah dan Dunyawiyyah
Sebelumnya juga sedikit dibahas mengenai hal ini. Yakni membagi perkara baru ke dalam dua dimensi, duniawi dan ukhrawi (diniyyah). Dunyawiyyah: perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul yang tidak berhubungan dengan praktek peribadatan secara langsung (mahdlah), dan hal ini tidaklah mungkin dapat dihindari, karena hal ini erat kaitannya dengan perkembangan zaman dan kebiasaan individual masing-masing orang, seperti: naik mobil, makan sosis dan lain sebagainya.[3]
Diniyyah: yakni perkara baru yang muncul setelah wafatnya nabi yang berorientasikan kepada tujuan mendekatkan diri kepada Allah, seperti: membuat shalat baru, menambah raka’at tiap-tiap shalat, dan beberapa permasalahan lain. Pembagian ini juga berhubungan dengan pembagian Hasanah dan sayyi’ah dan juga haqiqiyyah dan idlafiyyah.[4]
  1. c. Pembagian berdasarkan I’tiqadiyyah, Qauliyyah, dan ‘Amaliyyah
I’tiqadiyyah: keyakinan baru yang dibuat setelah wafatnya rasul, seperti berkeyakinan adanya Nabi baru, Ali sebagai Nabi, Tuhan memiliki anak, dan keyakinan lainnya yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.[5]
Qauliyyah: ucapan ataupun dzikr yang tidak pernah ada di zaman rasul, mengenai hal ini, sangatlah banyak sekali perbedaan. Jika berangakt dari hadits yang mewartakan tentang bacaan shalat yang dibuat oleh sahabat, dan Rasul membenarkannya, maka perkara ini dianggap tidak bertentangan. Namun jika memandangnya dari sudut lain, maka hal ini bisa dianggap sesat. Seperti halnya shalat menggunakan bahasa daerah.[6]
‘Amaliyyah: perkara baru yang diadakan pasca wafatnya Rasul yang sifatnya aplikatif. Seperti halnya shalat menggunakan cara sendiri (sayyi’ah), menggelengkan kepala di waktu berdzikir (idlafiyyah, hasanah aw sayyi’ah).[7]
  1. 2. Hukum Bid’ah
Tentang bagaimana memandang hukum bid’ah ini, maka tidaklah lepas dari bagaimana sudut pandang seseorang mengartikan bid’ah, bagaimana seseorang mengklasifikasikan bid’ah, dan juga asas yang dibangun dalam pengaplikasian pemahaman tersebut. Cukup rumit memang pemahaman dan juga pembagian bid’ah ini, karena antara satu pembagian dengan pembagian yang lain saling berkaitan dan juga mempertimbangkan konsistensi pembatasan bid’ah itu sendiri. Akan terjadi kerancuan apabila dalam satu sisi menggunakan batasan satu, di sisi lain menggunakan batasan yang lain. Dalam poin ini hanya akan dijelaskan gambaran umum mengenai bagaimana ulama mengklasifikasikan hukum Bid’ah.
Al-Syaikh Abu Abd Allah al-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Mantsur fi al-Qawa’id, membagi bid’ah dari sisi hukum melaksanakannya terbagi atas lima bagian,[8] sesuai dengan hukum yang terdapat dalam permasalahan keagamaan lainnya.
  • Wajib: perkara ini pada dasarnya bukanlah sesuatu yang wajib, dan tidak didapatkan nash yang mewajibkannya, namun dikarenakan terdapat perkara wajib lain yang tidak bisa sempurna tanpa melaksanakannya, maka perkara ini juga memiliki implikasi hukum wajib, berdasarkan kaidah:
مالايتم الواجب الا به فهو واجب
Beliau menghadirkan contoh, mempelajari ilmu nahwu. Karena pemahaman Islam adalah bersumber dari al-Qur’an Hadits, maka wajib hukumnya untuk mempelajari disiplin ilmu yang mengantarkan pemahaman mendalaminya.
  • Sunnah (Mandub): hal ini dianggap mandub berdasarkan kemaslahatan yang terkandung di dalamnya sekalipun tidak pernah di nash-kan kesunnahannya: seperti halnya memberikan metode pembelajaran yang baru dalam memudahkan membaca al-Qur’an (Qira’ati, Dirasaty), dan lain sebagainya.
  • Haram: keharaman ini pastinya mengarah kepada perkara baru yang bertentangan dengan prinsip ajaran Aga Islam, seperti halnya mengaku Nabi, mengurangi bilangan raka’at shalat, dan lain-lain.
  • Makruh: mempertimbangkan adanya kemadlaratan yang ditimbulkan, dengan catatan tidak sampai menyalahi Nash-nash al-Qur’an Hadits, seperti halnya menginjak-injak mushaf di depan publik, karena akan menimbulkan keresahan sekalipun tidak diharamkan secara Nash.
  • Mubah: Mubah ini, ialah perkara yang sah-sah saja dilakukan tanpa menimbulkan kemadlaratan, dan apabila dilakukan tidak terdapat manfa’at yang di dapat. Seperti halnya membawa mushaf tanpa adanya maksud apa-apa. Hal ini dianggap mubah, karena pad zaman Rasul tidak didapatkan mushaf yang telah terbukukan.


  • [1]. Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm. 272-274.
    [2]. Zaky Muhammad, Risalah al-Qiyam al-Rabbaniyyah; Fi Hadam Thuruq al-Bid’ah, (Yogyakarta: Percetakan Krapyak, 2003), hlm. 7. Lihat juga Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm.274. jikalau berpaham bahwa setiap bid’ah itu semuanya sesat tanpa adanya pengklasifikasian, maka menuntut ilmu pun seharusnya hanya terbatas pada halaqah-halaqah dan juga khutbah-khutbah seperti yang terdapat pada masa Rasul. Karena menuntut ilmu masih berkaitan dengan permasalahan keagamaan.
    [3]. Zaky Muhammad, Risalah al-Qiyam al-Rabbaniyyah; Fi Hadam Thuruq al-Bid’ah, hlm. 7 lihat juga Hasby al-Shidiqiy, Criteria Antara Sunnah dan Bid’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 48. Namun dalam buku Hasby tersebut disebutkan dengan Bid’ah ‘Adiyyah.
    [4]. Zaky Muhammad, Risalah al-Qiyam al-Rabbaniyyah; Fi Hadam Thuruq al-Bid’ah, hlm. 7 lihat juga Hasby al-Shidiqiy, Criteria Antara Sunnah dan Bid’ah, hlm. 48, dan dalam redaksi Hashby disebutkan dengan Ibadiyyah.
    [5]. Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm.304. bid’ah ini mutlak termasuk ke dalam bid’ah sayyi’ah.
    [6]. Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm.304.
    [7]. Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm.304
    [8]. Abu ‘Abd Allah al-Zarkasyi, Al-Mantsur fi al-Qawa’id Juz I, (Kuwait: Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 1405 H), hlm.219.

0 komentar:

 
;