Oleh: Arif Wibowo (Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam, Solo)
Tanggal 25 November 1896, hari di mana Soegijapranata
lahir adalah era keemasan bagi kegiatan missionarisme di Indonesia.
Keuntungan besar yang diperoleh pemerintah Belanda dari hasil merampok
kekayaan Indonesia melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel), demi kehormantan, kata Conrad Th Van Deventer, mengikat Belanda untuk melakukan politik balas budi.
Politik balas budi atau politik etis ini bisa dikatakan seperti sebutir
permen yang diberikan Belanda setelah mereka merampas kebun tebu milik
bangsa Indonesia, kata budayawan Emha Ainun Najib. Dan permen itu, bukan permen biasa, sebab ia mengandung racun “barat dan Kristen” yang tercermin dari program-program Partai Agama di Belanda dalam menyambut politik etis ini.
Pengkristenan
Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda),
yang jika ditinjau dari segi kenegaraan maupun kemasyarakatan adalah
juga sangat penting. Maka dari itu, pemerintah colonial harus memberikan
kebebasan yang seluas-luasnya dan tunjangan keuangan dalam melakukan
pendidikan dan perawatan (misi).
Selain
misionarisme langsung seperti yang diprogramkan Parta Agama di Belanda,
juga dilakukan politik Nativisasi. Politik Nativisasi ini dimotore oleh
Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) yang diotaki oleh para cendekiawan dari Netherlands Zending Genootschap (NZG).
Awalnya, lembaga yang berdiri pada tahun 1832 ini bertujuan untuk
kepentingan penerjemahan Bible ke dalam bahasa Jawa, tapi dalam
perkembangannya Lembaga ini menjadi alat politik kebudayaan untuk
melakukan de Islamisasi Kebudayaan. Para javanolog Belanda dalam Instituut voor de Javaansche Taal ini
menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama
menghilang di kalangan orang Jawa. Untuk kemudian menghidupkan kembali
tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan
Surakarta. Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan
“memberikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali
ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog
Belanda.
Kalau
Kristen mendapat kebebasan bergerak dengan dukungan finansial dari
pemerintah kolonial Belanda, dakwah Islam berada dalam posisi
sebaliknya. Aneka pembatasan dilakukan, mulai dari pembatasan gerak
dengan keharusan memiliki passport bagi santri yang ingin berguru di
pesantren luar propinsi, pembatasan jama’ah haji dan screening terhadap
kitab-kitab yang diperbolehkan masuk ke pesantren-pesantren. Pada masa
seperti itulah, seorang anak bernama Soegijapranata lahir dan bertumbuh.
Godaan Dunia dari Muntilan
Pembukaan
sekolah-sekolah rakyat oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka
politik asosioasi dan memperoleh tenaga administrasi murah dari kalangan
pribumi, dengan dalih pencerdasan, menyebabkan tingginya permintaan
tenaga pengajar pada saat itu. Peluang ini ditangkap Fransiscus Georgius
Josephus van Lith, seorang Jesuit senior yang berkarya di Jawa Tengah.
Dalam pandangan Van Lith, posisi strategis guru adalah masa depan bagi
perkembangan umat Katolik di Jawa.
Usaha
misi diantara bangsa Jawa mulai dengan metode yang salah : mewartakan
Injil kepada individu. Kita harus insaf bahwa karya kita bergantung pada
pendidikan pemimpin dan guru.
Van
Lith kemudian mendirikan Kolese Xaverius, yang merupakan sekolah untuk
para calon guru. Kesempatan untuk menjadi guru yang dalam pandangan
orang Jawa masuk ke dalam kasta priyayi, merupakan magnet tersendiri bagi kolese Xaverius. Salah seorang alumni Muntilan angkatan 1915, Michael Slamet memaparkan :
Untuk
itu, Muntilan telah menjadi ”medan magnet” yang mampu menarik banyak
orang dari berbagai daerah di Jawa, bahkan juga di luar Jawa untuk
belajar di sana. Bagi siswa dan alumni Muntilan, Kolese Xaverius dapat
dianggap sebagai ”dewa penolong” bagi suatu mobilitas sosial yang
dicita-citakan. Dalam pemahaman demikian, mereka akan dengan mudah
menyinergikan diri pada kegiatan para misionaris untuk tujuan-tujuan
yang lebih mulia. ”Harta” didapat, ”sorga” diperoleh.
Godaan untuk menjadi priyayi
inilah yang akhirnya mengantarkan Sogijapranata kecil untuk memutuskan
memilih Kolese Xaverius menjadi tempat bagi pendidikan dan pengembangan
dirinya.
Sogijapranata, Korban Kristenisasi
Berbeda
dengan anak-anak lain yang mudah menyerah dan mengkonversi ke
Islamannya menjadi Katolik, Soegija kecil termasuk ”fanatik” dengan ke
Islamannya. Hal ini dikarenakan dalam diri Soegija masih mengalir darah
kyai dari kakeknya yang bernama Kyai Soepa, seorang kyai yang cukup
terkenal di Yogyakarta. Selain itu Soegija kecil, sebelum sekolah di
Kolese Xaverius mempunyai sahabat karib yang alim. Sahabatnya itu sering
mengajarkan bahasa Arab dan menceritakan kisah para nabi kepada Soegija
kecil. Hal ini ditunjang dengan keberadaan rumahnya yang dekat dengan
masjid.
Oleh
karena itu, meskipun memutuskan untuk melanjutkan sekolah guru di
Kolese Xaverius, Soegija kecil berulangkali menjelaskan bahwa
kesediaannya sekolah di Muntilan adalah untuk menjadi guru, bukan
menjadi Katolik. Pada saat awak di Muntilan, Soegija mengambil jarak
dalam pergaulan. Bahkan untuk mempertahankan prinsipnya tersebut Soegija
sering bertengkar dengan para seniornya yang membujuknya untuk menjadi
Katolik. Akan tetapi intensitas pergaulan dan pengajaran di Muntilan
kemudian mengubah pandangan Soegijapranata.
Namun,
pendekatan yang lembut dan santun dari Van Lith dan para Romo yang
menjadi membimbing selama di Kolese Xaverius, pelan tapi pasti
menggoyahkan keimanan Soegija. Kesan akan kedekatan ini diceritakan oleh
Soegija
Kehidupan
asrama diselenggarakan dalam suasana keluarga. Di sana disediakan
beraneka ragam permainan dan seperangkat gamelan. Romo van Lith sering
mengisahkan kisah sejarah yang terjadi di Eropa atau bercerita hal-hal
yang lucu. Ini membuka wawasan pengetahuan anak yang disampaikan secara
segar dan dan diselingi dengan gelak tawa. Romo van Lith mengusahakan
terciptanya hubungan yang dekat antara guru dan murid. Sebagaimana
diceritakan mantan muridnya bahwa di dalam kelas, Romo van Lith tidak
segan-segan membagikan makanan sambil berucap ”Iki tanda tresna, bocah” (Anak-anak, ini adalah tanda cinta kasih).
Akhirnya
Soegija pun luluh, bahkan kemudiannn njustru Soegijan kecil yang
meminta kepada Van Lith untuk mendapatkan pengajaran agama Katolik
bahkan akhirnya minta untuk dibaptis. Sebuah pertarungan iman yang tentu
saja tidak seimbang. Seorang Soegija kecil yang ingin derajatnya naik
menjadi priyayi, guru yang merupakan kelas terhormat di kalangan bangsa
terjajah, yang waktu itu masih berumur 13 tahun ketika memasuki Kolese
Xaverius di tahun 1909 bertarung iman Van Lith dan para Romo Jesuit
senior. Hal ini dikuatkan fakta bahwa Soegija bukanlah satu-satunya
korban, sebab pada akhirnya semua anak muslim yang sekolah di Kolese
Xaverius berhasil di Katolik kan seperti yang diuraiakan Kareel
Steenbrink, dimana anak-anak lelaki yang masuk sekolah ini semuanya
muslim dan semuanya tamat sebagai orang Katolik.
Kasihan Soegija dan teman-temannya, keinginannya untuk menaikkan
derajat keduniaan telah menyebabkan tergantikannya harta yang paling
berharga bagi seorang muslim yakni keimanan dan ke Islaman. Dan bagi
umat Islam, Soegija adalah potret buram sejarah yang tidak boleh lagi
terulan di masa kini maupun masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar