Hubungan Islam dengan Barat pada hari ini senantiasa identik dengan hubungan benturan ('alâqah ash-shirâ') dan permusuhan. Barat senantiasa membangun dan menyebarkan opini negatif terhadap Islam dan pemeluknya. Menurut mereka, Islam merupakan ancaman terhadap peradaban umat manusia. Di sisi lain, Barat sering kali membanggakan kemajuan peradaban mereka dan mengklaim bahwa hal itu merupakan warisan dari kemajuan peradaban Yunani-Romawi semata. Mereka mengingkari adanya pengaruh dan kontribusi Islam beserta peradabannya dalam membangkitkan Eropa modern.
Kebangkitan Peradaban Islam
Awal mula kebangkitan peradaban Islam dapat ditelusuri dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan intelektual di Baghdad dan Cordova. Pada masa pemerintahan Al-Ma'mun (813-833 M), ia mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad yang menjadi pusat kegiatan ilmiah (Abdul Karim, 2007: 154). Pendirian sekolah yang terkenal ini melibatkan sarjana Kristen, Yahudi, dan Arab, mengambil tempat sendiri terutama dengan "pelajaran asing", ilmu pengetahuan dan filosofi Yunani, hasil karya Galen, Hippocrates, Plato, Arsitoteles (Bammate, 2000: 36). Dalam masa itu, banyak karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Gerakan penerjemahan itu banyak dibantu oleh orang-orang Kristen, Majusi, dan Shabi'ah.
Awal mula kebangkitan peradaban Islam dapat ditelusuri dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan intelektual di Baghdad dan Cordova. Pada masa pemerintahan Al-Ma'mun (813-833 M), ia mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad yang menjadi pusat kegiatan ilmiah (Abdul Karim, 2007: 154). Pendirian sekolah yang terkenal ini melibatkan sarjana Kristen, Yahudi, dan Arab, mengambil tempat sendiri terutama dengan "pelajaran asing", ilmu pengetahuan dan filosofi Yunani, hasil karya Galen, Hippocrates, Plato, Arsitoteles (Bammate, 2000: 36). Dalam masa itu, banyak karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Gerakan penerjemahan itu banyak dibantu oleh orang-orang Kristen, Majusi, dan Shabi'ah.
Sementara
itu di Cordova, aktivitas ilmiah mulai berkembang pesat sejak masa pemerintahan
Abdurrahman II (822-852 M). Ia mendirikan universitas, memperluas dan
memperindah masjid (Abdul Karim, 2007: 239). Cordova kemudian menjadi sangat
maju dan tampil sebagai pusat peradaban yang menyinari Eropa. Pada waktu itu,
Eropa masih tenggelam pada keterbelakangan dan kegelapan Abad Pertengahan. Dr.
Muhammad Sayyid Al-Wakil (1998: 321) menukil perkataan seorang penulis Amerika
yang menggambarkan keadaan Eropa pada masa itu, "Jika matahari telah
terbenam, seluruh kota besar Eropa terlihat gelap gulita. Di sisi lain, Cordova
terang benderang disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat kumuh, sementara di
kota Cordova telah dibangun seribu WC umum. Eropa tenggelam dalam lumpur,
sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap istana-istana Eropa sudah pada
bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah.
Para tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya sendiri, sementara anak-anak
Cordova sudah mulai masuk sekolah."[1] Sejarah Eropa sendiri pada Abad
Pertengahan penuh dengan perjuangan sengit antara kaum intelek dan penguasa
gereja. Kaum intelek Eropa berontak lebih dari satu kali, tetapi berulang-ulang
pemberontakan mereka berhasil dipatahkan oleh gereja (Asad, 1989: 36). Penguasa
gereja itu mendirikan berbagai mahkamah pemeriksaan (Dewan Inquisisi) untuk
menghukum kaum intelek serta orang-orang yang dituduh kafir dan atheis. Operasi
pembantaian digerakkan secara besar-besaran agar di Dunia Kristen tidak
tertinggal seorang pun yang dapat menjadi akar perlawanan terhadap gereja.
Diperkirakan antara tahun 1481 hingga 1901, korban pembantaian Dewan Inquisisi
mencapai 300 ribu jiwa termasuk 30 ribu jiwa dibakar hidup-hidup, di antaranya
adalah sarjana fisika terkemuka Bruno. Ia dihukum mati dengan cara dibakar
hidup-hidup. Selain Bruno, Galileo Galilei juga harus menjalani hukuman sampai
mati di penjara karena pendapatnya yang menyatakan bahwa bumi beredar mengitari
matahari (An-Nadawi, 1988: 250).
0 komentar:
Posting Komentar