Kamis, 29 November 2012 0 komentar

bid'ah?

A. Beberapa Pemabahasan Tentang Bid’ah
Dari sisi Hadits, dirasa cukup keterangan yang ada untuk mensyarahkannya. Akan tetapi terdapat aspek-aspek lain yang seharusnya diikut-sertakan ketika membahas tema bid’ah ini. Dalam pembahasannya, penulis berusaha menghadirkan data dari berbagai literatur yang pada umumnya memang terdapat dalam kitab-kitab yang membahas tentang tema Bid’ah ini. Diantaranya pembagian bid’ah dari berbaga tinjauan, hukum bid’ah, yang akan dipaparkan dalam pembahasan selanjutnya.
  1. 1. Pembagian Bid’ah
Sebelumnya telah sedikit diulas mengenai pembagian bid’ah menurut al-Syafi’i dan Ibn al-Atsir mengenai pembagian bid’ah dari sisi baik buruknya. Namun ternyata, dalam berbagai karya, pembagian bid’ah tidak hanya dibagi menjadi dua bagian tersebut, melainkan banyak sekali klasifikasi bid’ah yang terbagi atas beberapa pembagian. Berikut keterangannya.
  1. a. Pembagian berdasarkan Haqiqi dan Idlafiy
Pembagian ini berdasarkan segi Ushul dan furu’ dalam ajaran Islam. Adapun yang dimaksud dengan bid’ah haqiqiyyah: perkara baru yang tidak didapatkan dalil disyari’atkannya, baik itu dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan juga tidak terdapat pada pengambilan hukum yang dilakukan oleh mayoritas Ulama. Dan bid’ah semacam ini tergolong ke dalam bid’ah sayyi’ah seperti contoh: mengharamkan yang halal, menolak kehujjahan sunnah, membuat ibadah yang baru (menambah model shalat yang lain), dan lain sebagainya[1].
Bid’ah Idlafiyyah: yakni perkara baru dalam agama, yang dipandang dari satu sisi adalah sunnah dan dari sisi lain merupakan bid’ah. Maksudnya ialah, secara prinsip telah diajarkan oleh Rasul, namun dalam prakteknya tidak pernah dilakukan oleh Rasul.[2] Seperti contoh yang telah disebutkan sebelumnya, menuntut Ilmu telah diajarkan oleh Rasul, akan tetapi mengenai praktek yang berkembang pada masa sekarang—sekolah, kursus, kuliah, belajar via internet—tidak pernah dilakukan oleh beliau.
  1. b. Pembagian berdasarkan Diniyyah dan Dunyawiyyah
Sebelumnya juga sedikit dibahas mengenai hal ini. Yakni membagi perkara baru ke dalam dua dimensi, duniawi dan ukhrawi (diniyyah). Dunyawiyyah: perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul yang tidak berhubungan dengan praktek peribadatan secara langsung (mahdlah), dan hal ini tidaklah mungkin dapat dihindari, karena hal ini erat kaitannya dengan perkembangan zaman dan kebiasaan individual masing-masing orang, seperti: naik mobil, makan sosis dan lain sebagainya.[3]
Diniyyah: yakni perkara baru yang muncul setelah wafatnya nabi yang berorientasikan kepada tujuan mendekatkan diri kepada Allah, seperti: membuat shalat baru, menambah raka’at tiap-tiap shalat, dan beberapa permasalahan lain. Pembagian ini juga berhubungan dengan pembagian Hasanah dan sayyi’ah dan juga haqiqiyyah dan idlafiyyah.[4]
  1. c. Pembagian berdasarkan I’tiqadiyyah, Qauliyyah, dan ‘Amaliyyah
I’tiqadiyyah: keyakinan baru yang dibuat setelah wafatnya rasul, seperti berkeyakinan adanya Nabi baru, Ali sebagai Nabi, Tuhan memiliki anak, dan keyakinan lainnya yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.[5]
Qauliyyah: ucapan ataupun dzikr yang tidak pernah ada di zaman rasul, mengenai hal ini, sangatlah banyak sekali perbedaan. Jika berangakt dari hadits yang mewartakan tentang bacaan shalat yang dibuat oleh sahabat, dan Rasul membenarkannya, maka perkara ini dianggap tidak bertentangan. Namun jika memandangnya dari sudut lain, maka hal ini bisa dianggap sesat. Seperti halnya shalat menggunakan bahasa daerah.[6]
‘Amaliyyah: perkara baru yang diadakan pasca wafatnya Rasul yang sifatnya aplikatif. Seperti halnya shalat menggunakan cara sendiri (sayyi’ah), menggelengkan kepala di waktu berdzikir (idlafiyyah, hasanah aw sayyi’ah).[7]
  1. 2. Hukum Bid’ah
Tentang bagaimana memandang hukum bid’ah ini, maka tidaklah lepas dari bagaimana sudut pandang seseorang mengartikan bid’ah, bagaimana seseorang mengklasifikasikan bid’ah, dan juga asas yang dibangun dalam pengaplikasian pemahaman tersebut. Cukup rumit memang pemahaman dan juga pembagian bid’ah ini, karena antara satu pembagian dengan pembagian yang lain saling berkaitan dan juga mempertimbangkan konsistensi pembatasan bid’ah itu sendiri. Akan terjadi kerancuan apabila dalam satu sisi menggunakan batasan satu, di sisi lain menggunakan batasan yang lain. Dalam poin ini hanya akan dijelaskan gambaran umum mengenai bagaimana ulama mengklasifikasikan hukum Bid’ah.
Al-Syaikh Abu Abd Allah al-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Mantsur fi al-Qawa’id, membagi bid’ah dari sisi hukum melaksanakannya terbagi atas lima bagian,[8] sesuai dengan hukum yang terdapat dalam permasalahan keagamaan lainnya.
  • Wajib: perkara ini pada dasarnya bukanlah sesuatu yang wajib, dan tidak didapatkan nash yang mewajibkannya, namun dikarenakan terdapat perkara wajib lain yang tidak bisa sempurna tanpa melaksanakannya, maka perkara ini juga memiliki implikasi hukum wajib, berdasarkan kaidah:
مالايتم الواجب الا به فهو واجب
Beliau menghadirkan contoh, mempelajari ilmu nahwu. Karena pemahaman Islam adalah bersumber dari al-Qur’an Hadits, maka wajib hukumnya untuk mempelajari disiplin ilmu yang mengantarkan pemahaman mendalaminya.
  • Sunnah (Mandub): hal ini dianggap mandub berdasarkan kemaslahatan yang terkandung di dalamnya sekalipun tidak pernah di nash-kan kesunnahannya: seperti halnya memberikan metode pembelajaran yang baru dalam memudahkan membaca al-Qur’an (Qira’ati, Dirasaty), dan lain sebagainya.
  • Haram: keharaman ini pastinya mengarah kepada perkara baru yang bertentangan dengan prinsip ajaran Aga Islam, seperti halnya mengaku Nabi, mengurangi bilangan raka’at shalat, dan lain-lain.
  • Makruh: mempertimbangkan adanya kemadlaratan yang ditimbulkan, dengan catatan tidak sampai menyalahi Nash-nash al-Qur’an Hadits, seperti halnya menginjak-injak mushaf di depan publik, karena akan menimbulkan keresahan sekalipun tidak diharamkan secara Nash.
  • Mubah: Mubah ini, ialah perkara yang sah-sah saja dilakukan tanpa menimbulkan kemadlaratan, dan apabila dilakukan tidak terdapat manfa’at yang di dapat. Seperti halnya membawa mushaf tanpa adanya maksud apa-apa. Hal ini dianggap mubah, karena pad zaman Rasul tidak didapatkan mushaf yang telah terbukukan.


  • [1]. Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm. 272-274.
    [2]. Zaky Muhammad, Risalah al-Qiyam al-Rabbaniyyah; Fi Hadam Thuruq al-Bid’ah, (Yogyakarta: Percetakan Krapyak, 2003), hlm. 7. Lihat juga Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm.274. jikalau berpaham bahwa setiap bid’ah itu semuanya sesat tanpa adanya pengklasifikasian, maka menuntut ilmu pun seharusnya hanya terbatas pada halaqah-halaqah dan juga khutbah-khutbah seperti yang terdapat pada masa Rasul. Karena menuntut ilmu masih berkaitan dengan permasalahan keagamaan.
    [3]. Zaky Muhammad, Risalah al-Qiyam al-Rabbaniyyah; Fi Hadam Thuruq al-Bid’ah, hlm. 7 lihat juga Hasby al-Shidiqiy, Criteria Antara Sunnah dan Bid’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 48. Namun dalam buku Hasby tersebut disebutkan dengan Bid’ah ‘Adiyyah.
    [4]. Zaky Muhammad, Risalah al-Qiyam al-Rabbaniyyah; Fi Hadam Thuruq al-Bid’ah, hlm. 7 lihat juga Hasby al-Shidiqiy, Criteria Antara Sunnah dan Bid’ah, hlm. 48, dan dalam redaksi Hashby disebutkan dengan Ibadiyyah.
    [5]. Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm.304. bid’ah ini mutlak termasuk ke dalam bid’ah sayyi’ah.
    [6]. Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm.304.
    [7]. Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, Al-Bid’ah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam Minha, hlm.304
    [8]. Abu ‘Abd Allah al-Zarkasyi, Al-Mantsur fi al-Qawa’id Juz I, (Kuwait: Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 1405 H), hlm.219.
0 komentar

apa itu baik dan buruk?

Akal adalah pemberian Tuhan kepada manusia untuk membedakan manusia dengan Makhluk lain ciptaan-Nya. Akal juga berpengaruh besar dalam penetapan suatu hukum Islam yang tidak terdapat dalilnya dalam Nash (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Namun dalam kadar penggunaannya, ulama banyak yang berbeda pendapat, diantaranya mengenai peran akal dalam menentukan baik dan buruk yang hubungannya dengan Wahyu.
Mengenai hal ini, secara garis besar perbedaaan ulama dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian:
Pertama, Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa baik dan buruk itu adalah dua sifat esensial yang ada pada sebagian hal, dan sebagian hal lain berada antara manfaat dan madharat serta diantara baik dan buruk. Dalam hal ini salah seorang tokoh mereka, Al-Juba’i, mengatakan : “Setiap perbuatan ma’siat yang jaiz bagi Allah untuk memerintahkannya, maka nilai keburukan perbuatan itu karena adanya larangan (qabih lin-nahyi). Dan setiap perbuatan ma’siat yang wajib bagi Allah untuk tidak memperbolehkannya,maka nilai keburukan itu terletak pada esensinya (qabih linafsihi), seperti halnya tidak mengenal Allah SWT. atau bahkan menyekutukannya. Demikian pula setiap perbuatan yang jaiz bagi Allah untuk memerintahkannya, maka nilai kebaikan perbuatan itu karena adanya perintah (hasan lil-amri bihi). Dan setiap perbuatan yang wajib bagi Allah untuk memerintahkannya, maka nilai kebaikan perbuatan itu karena esensinya (hasan li-nafsih).
Golongan Mu’tazilah juga sering disebut dengn Ahl Ar-Ra’y, karena selalu melandaskan dasar pengambilan hukum dengan nadzhari (rasio). Mu’tazilah juga berpendapat, dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.
Kedua, Pendapat golongan Maturidiyah yang dinukil dari Abu Hanifah dan dianut pula oleh Ulama Hanafiah mereka ini mengatakan bahwa sesuatu itu secara esensial (menurut dzatnya) ada yang baik dan ada yang buruk. Dan sesungguhnya Allah tidak akan melarang sesuatu yang baik menurut dzatnya. Dengan demikian, mereka ini membagi sesuatu kepada :
1. Hasan li dzatihi (baik menurut dzatnya)
2. Qabih li dzatihi (buruk menurut dzatnya)
3. Sesuatu yang ada diantara keduanya, dan ini tergantung pada perintah dan larangan Allah swt.
Menurut Al-maturidiyah, penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui akal tidak selalu mampu membedakan antara baik dan buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Ketiga, Pendapat golongan Asy’ariyah, yang dipegangi oleh jumhur ulama Ushul, yang berpendapat bahwa segala sesuatu itu menurut dzatnya (secara esensial),tidak ada yang baik maupun yang buruk. Semuanya mutlak tergantung dan ditentukan oleh kehendak Allah. Dalam aturan syara’. Tidak ada sesuatupun yang membatasi kehendak-Nya. Dia adalah pencipta sesuatu dan Dia pula yang menciptakan baik dan buruk. Oleh karena itu, segala yang Dia perintahkan itulah yang baik, dan segala sesuatu yang Dia larang itulah yang buruk. Tiada taklif (pembebanan) karena keputusan akal, tetapi taklif hanya berdasar pada perintah dan larangan Syari’ (Allah).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah, dan akal tidak dapat memberi beban hukum (taklif), meskipun ia mampu menemukan sesuatu yang hasan li dzatihi serta qabih li dzatihi.
1 komentar

makna tala-yatlu (tela'ah dlm ghoribil qur'an)

  1. A. Pendahuluan
Bahasa adalah suatu media untuk menyatakan kehadiran sebuah realita dan persona. Pengungkapan makna yang terkonsepsikan dalam diri manusia, tidak mungkin dapat dipahami serta ditransformasikan kepada orang lain tanpa adanya bahasa sebagai medianya. Baik bahasa itu berupa bahasa tulisan, lisan, maupun bahasa isyarat.
Al-Qur’an yang memiliki sisi kemu’jizatan dalam tata-letak (nadzm) kata-kata perkatanya, pun menggunakan bahasa sebagai penyampai pesan ketuhanan (wahyu) yang bi Lā Ṣaut wa Lā Harf. Karenanya, tidak mungkin kalam Tuhan tersebut dapat dipahami maknanya tanpa memahami bahasa yang digunakan, dalam hal ini ialah Bahasa Arab. Dan al-Qur’an yang merupakan Kitab Primer dalam Agama Islam—meliputi aspek ajaran, keilmuan, sejarah, dan lain sebagainya—tentunya mendapatkan respon yang sangat beragam dari pembacanya guna menangkap makna agung yang terkandung di dalamnya. Beberapa diskursus keilmuan pun bermunculan dari kitab tersebut, mulai dari Kalam, Fiqh, Tafsir, hingga beberapa keilmuan kebahasaan yang tidak mengandung doktrin keagamaan. Dalam artian, kajian kebahasaan yang muncul dari Al-Qur’an—semisal Nahwu, Balaghah, Sharaf, dan lain sebagainya—dapat digunakan dalam menganilisis teks-teks bahasa Arab lainnya yang tidak ada korelasinya dengan Ajaran Islam.
Salah satu diantaranya ialah Ilm Gharīb al-Qur’ān, yakni ilmu yang membahas tentang makna kata perkata dari susunan ayat al-Qur’an. Dan dalam catatan singkat ini akan diuraikan makna dari kata Talā-Yatlū, baik dari sisi tinjauan makna asal, ataupun makna-makna bentukan darinya (isytiqāq / derivasi).
  1. B. Pembahasan
    1. 1. Makna Asal
Kata Talā-Yatlū memiliki makna asal “mengikuti” (Tabi’a), akar katanya tuluwwun atau tilwun, baik mengikuti gerakan, maupun mengikuti petunjuk yang diberikan.[1] Selanjutnya kata ini dipakaikan untuk makna membaca dan juga tadabbur al-ma’na (meresapi makna) dari sebuah bacaan, dan akar kata—dari lafadz Talā-Yatlū—yang bermakna demikian ini (makna kedua) ialah al-Tilāwah.[2]
Adapun dalam Lisān al-‘Arab, kata ini memiliki beberapa makna dasar, diantaranya meninggalkan, membelakangi, menelantarkan, mengikuti dan mendahului.[3] Atlaitu Fulān bermakna Taqaddamtuhu (mendahuluinya) dan menjadikannya di belakangku.
  1. 2. Makna Derivasi
    1. استتلي, bermakna menunggu
استَتْلَيْت فلاناً أَي انتظرته[4]
Lafadz ini mengikuti wazan Istaf’ala yang berfaedah li al-Thalāb (mengharap). Kemudian jika dikaitkan dengan makna asal, yaitu mengikuti, maka terdapat relasi makna, yakni mengharap untuk diikuti. Karena pada dasarnya, ketika kita menunggu seseorang berarti kita berharap agar ia mengikuti kita, atau dengan kata lain berharap agar ia mengikuti jejak kita pada suatu tempat tertentu. Adapun jika dihubungkan dengan makna asal “meningalkan atau menelantarkan”, maka keterkaitan makna antara menunggu dengan makna asal ialah: suatu proses penantian disebabkan seseorang telah mendahuluinya, atau sampai pada suatu tempat lebih awal daripada yang ditunggu. Sehingga ada kesamaan “mendahului” antara meninggalkan dan menunggu.
  1. المتْلية والمتْلي
Kata ini bermakna sesuatu yang dilahirkan terakhir kalinya, atau “anak bungsu”. Bermakna demikian karena anak terakhir tersebut mengikuti jejak anak pertama (al-Mubakkirah). Dalam artian anak tersebut lahir setelah proses kelahiran anak sebelumnya. Ada juga pendapat yang mengatakan, kata ini merujuk pada makna sesuatu yang memberatkan, atau kepala yang tertutup karena dosa dan rasa malu. Dan disebutkan dalam Lisān al-‘Arab, inilah makna derivasi yang sama sekali tidak ada kesesuaiannya dengan makna asalnya.[5]
  1. c. المتالي
Makna kata ini ialah Para ibu (Ummahāt jamak dari Umm). Jika ditelisik relasi makna antara makna kata ini (ibu) dengan makna asal lafadz Talā-Yatlū yang berarti mengikuti, maka dapat ditarik satu kesamaan. Karena pada hakikatnya, Ibu ialah orang yang diikuti oleh anaknya, baik secara genetis maupun secara tingkah laku. Namun menurut al-Bahiliy, kata ini juga bermakna unta yang dilahirkan sebagian, dan sebagian yang lainnya tidak. Hemat penulis yang dimaksudkan dari kalimat ini ialah unta yang lahir mendahului saudaranya yang masih terdapat dalam kandungan ibunya[6]
  1. تَلَّى
Lafadz ini bermakna melaksanakan pekerjaan setelah melakukan pekerjaan lain, berturut-turut. Seperti dalam contoh:
تَلَّى فلان صلاته المكتوبة بالتطوع[7]
  1. التلاوة
Kata ini dikhususkan pada Ittibā terhadap Kitāb Allāh, baik itu dengan membaca, maupun dengan mengamalkan—dengan menjalankan perintah-perintah yang, dan menjauhi larangan-larangan terkandung di dalamnya.[8] Karena membaca pun juga memiliki keterkaitan makna dengan makna asal—mengikuti—, maksudnya membaca pada dasarnya mengikuti (dan juga merangkaikan kata-perkata) dari apa yang dibaca.[9]
}وإذا تتلى عليهم آياتنا{ [الأنفال/31][10]
}وإذا تليت عليهم آياته زادته إيمانا{ [الأنفال/2][11]
0 komentar

makna Ittiba

Dalam kitab Nazhah al-A’yun al-Nawāẓir fi ‘Ilm al-Wujūh wa al-Naẓāir diuraikan bahwa asal makna dari lafadz Ittibā’ ialah: Melakukannya Muttabi’ (orang yang mengikuti) terhadap jejak langkah Muttaba’ (orang yang diikuti) dalam perjalanannya.[1] Akan tetapi kata ini juga dipakaikan dalam makna: mengikuti agama, pola fikir, dan perbuatan. Lebih jauh lagi dalam kitab tersebut diterangkan bahwasannya para mufassir memberikan pembagian, lafadz ini memiliki dua wajh, namun tidak dicantumkan (di dalam kitab tersebut) ragam makna mengenai hal ini, beliau hanya menghadirkan contoh-contoh mengenai dua wajh, yakni:
Wajh pertama, terdapat dalam dua contoh ayat:
فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُودِهِ فَغَشِيَهُمْ مِنَ الْيَمِّ مَا غَشِيَهُمْ ]طه/78[
فَأَتْبَعُوهُمْ مُشْرِقِينَ [الشعراء/60]
Wajh kedua, terdapat dalam empat contoh ayat:
إذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ (166) وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ [البقرة/166، 167]
Kemudian setelah dihadirkan contoh-contoh dua wajh dalam kitab tersebut, Muallif memberikan pendapatnya, beliau berkata: Dalam perbedaan wajh antara Ittibā’ dan Itbā’ (baik di-takhfīf maupun di-tasydīd) tidak memiliki perbedaan makna, kedua lafadz tersebut bermakna satu.[2]
Sehingga jelaslah, yang dimaksudkan perbedaan wajh oleh Muallif dalam kitab ini ialah perbedaan redaksi antara takhfīf dan tasydīd, atau dengan kata lain antara lafadz Ittibā’ dan Itbā’. Dan dari perbedaan wajh disini tidak berimplikasi terhadap perbedaan makna. Hampir sama dengan kitab tersebut, dalam kitab al-Wujūh wa al-Naāir fi al-Qur’ān al-Karīm karya Harūn ibn Mūsa, ditegaskan bahwasannya lafadz Ittibā’ memiliki dua wajh. Namun yang dimaksudkan dengan wajh dalam kitab kedua ini sedikit berbeda dengan kitab yang pertama. Jika sebelumnya perbedaan wajh penekanannya terhadap perbedaan bentuk lafadz, sedangkan dalam kitab yang kedua ini lebih menekankan aspek makna.
Dalam kitab kedua tersebut, dua wajh diperinci sebagai berikut:
Wajh pertama:
Ittibā’ bermakna seseorang yang mengikuti seseorang (lain) yang merupakan bagian dari agamanya.[3] Seperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah dan QS. Ibrahim:
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ [البقرة/166[ يعني اتبعوا دينهم.
بَرَزُوا لِلَّهِ جَمِيعًا فَقَالَ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا .....[إبراهيم/21] على دينكم.
Wajh kedua:
Ittibā’ bermakna seseorang yang mengikuti jejak perjalanan temannya (orang lain).[4] Seperti pada contoh QS. Al-Ṡu’arā’:
فَأَتْبَعُوهُمْ مُشْرِقِينَ [الشعراء/60[ يعني اتبعوا موسي, صلي الله عليه وسلم, وقومه مشرقين, فساروا على آثارهم حتى اشترقت الشمس.
Sedangkan dalam kitab lain, Qāmūs al-Qur’ān: Ilah al-Wujūh wa al-Naāir fi al-Qur’ān, pembahasan di dalamnya menggunakan akar kata, yakni ta’ ba’ dan ‘ain (taba’a). Dan lafadz ini disebutkan memiliki tujuh wajh.[5] Dan yang dimaksudkan tujuh wajh disini ialah memiliki tujuh variasi makna.
Pertama: Ittibā’ bermakna al-uhbah (menemani), yaitu dalam contoh QS. Kahfi:
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا  [الكهف/66[ أي هل أصحبك
قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا  [الكهف/70] أي صحبتني
Kedua, Ittibā’ bermakna iqtidā’ (mengikuti), contoh QS. Yasin:
اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ  [يس/21[ أي اقتدوا به
Ketiga, Ittibā’ bermakna Istiqāmah, dalam contoh QS. Al-Nahl:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ [النحل/123[
Keempat, Ittibā’ bermakna Ikhtiyār (pilihan), dalam contoh QS. Al-Nisā’:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا [النساء/115[ أي و يختر غير دين الإسلام
Kelima, Ittaba’ū bermakna ‘Amilū (kerjakanlah), contoh QS. Al-Baqarah:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ.....[البقرة/102[  أي وعملوا — يعني اليهود — بما تتلو الشياطين .
Keenam, Ittibā’ bermakna al-alat ilā al-Qiblah (shalar menghadap Kiblat), contoh QS. Al-Baqarah:
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آَيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ [البقرة/145[ أي ماصلوا الى قبلتك .  أي بمصل الى قبلتهم. أي صليت الى قبلتهم.
Ketujuh, Ittibā’ bermakna ā’ah (ketaatan), contoh QS. Al-Nisā’:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا [النساء/83[ يعني أطعتم الشيطان.

[1] Jamāl al-Dīn Abi al-Faraj ‘Abd al-Rahmān ibn al-Jauziy, Nazhah al-A’yun al-Nawāir fi ‘Ilm al-Wujūh wa al-Naāir, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), hlm. 85.
[2] Jamāl al-Dīn Abi al-Faraj ‘Abd al-Rahmān ibn al-Jauziy, Nazhah al-A’yun al-Nawāir …, hlm. 86.
[3] Harūn ibn Mūsa, al-Wujūh wa al-Naāir fi al-Qur’ān al-Karīm, (Baghdad: Wizārah al-Tsaqāfah wa al-A’lām, 1988), hlm. 368.
[4] Harūn ibn Mūsa, al-Wujūh wa al-Naāir fi . . ., hlm. 368.
[5] Husain ibn Muhammad al-Dam’āni, Qāmūs al-Qur’ān: Ilah al-Wujūh wa al-Naāir fi al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-‘Ilm Li al-Malayīn, 1980), hlm. 85.
0 komentar

paham-paham kekuatan dunia

A . Paham Machiavelli (Abad XVII)
Dalam bukunya tentang politik yang diterjemahkan kedalam bahasa dengan judul “The Prince”, Machiavelli memberikan pesan tentang cara membentuk kekuatan politik yang besar agar sebuah negara dapat berdiri dengan kokoh. Didalamnya terkandung beberapa postulat dan cara pandang tentang bagaimana memelihara kekuasaan politik. Menurut Machiavelli, sebuah negara akan bertahan apabila menerapkan dalil-dalil berikut: pertama, segala cara dihalalkan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan; kedua, untuk menjaga kekuasaan rezim, politik adu domba (divide et impera) adalah sah; dan ketiga, dalam dunia politik (yang disamakan dengan kehidupan binatang buas ), yang kuat pasti dapat bertahan dan menang. Semasa Machiavelli hidup, buku “The Prince” dilarang beredar oleh Sri Paus karena dianggap amoral. Tetapi setelah Machiavelli meninggal, buku tersebut menjadi sangat dan banyak dipelajari oleh orang-orang serta dijadikan pedoman oleh banyak kalangan politisi dan para kalangan elite politik.
B . Paham Kaisar Napoleon Bonaparte (abad XVIII)
Kaisar Napoleon merupakan tokoh revolusioner di bidang cara pandang, selain penganut baik dari Machiavelli. Napoleon berpendapat bahwa perang di masa depan akan merupakan perang total yang mengerahkan segala upaya dan kekuatan nasional. Kekuatan ini juga perlu didukung oleh kondisi sosial budaya berupa ilmu pengetahuan teknologi demi terbentuknya kekuatan hankam untuk menduduki dan menjajah negara-negara disekitar Prancis. Ketiga postulat Machiavelli telah diimplementasikan dengan sempurna oleh Napoleon, namun menjadi bumerang bagi dirinya sendiri sehingg akhir kariernya dibuang ke Pulau Elba.
C . Paham Jendral Clausewitz (XVIII)
Pada era Napoleon, Jenderal Clausewitz sempat terusir oleh tentara Napoleon dari negaranya sampai ke Rusia. Clausewitz akhirnya bergabung dan menjadi penasihat militer Staf Umum Tentara Kekaisaran Rusia. Sebagaimana kita ketahui, invasi tentara Napoleon pada akhirnya terhenti di Moskow dan diusir kembali ke Perancis. Clausewitz, setelah Rusia bebas kembali, di angkat menjadi kepala staf komando Rusia. Di sana dia menulis sebuah buku mengenai perang berjudul Vom Kriege (Tentara Perang). Menurut Clausewitz, perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain. Baginya, peperangan adalah sah-sah saja untuk mencapai tujuan nasional suatu bangsa. Pemikiran inilah yang membenarkan Rusia berekspansi sehingga menimbulkan perang Dunia I dengan kekalahan di pihak Rusia atau Kekaisaran Jerman.
D . Paham Feuerbach dan Hegel
Paham materialisme Feuerbach dan teori sintesis Hegel menimbulkan dua aliran besar Barat yang berkembang didunia, yaitu kapitalisme di satu pihak dan komunisme di pihak yang lain. Pada abad XVII paham perdagangan bebas yang merupakan nenek moyang liberalisme sedang marak. Saat itu orang-orang berpendapat bahwa ukuran keberhasilan ekonomi suatu negara adalah seberapa besar surplus ekonominya, terutama diukur dengan emas. Paham ini memicu nafsu kolonialisme negara Eropa Barat dalam mencari emas ke tempat yang lain. Inilah
yang memotivasi Columbus untuk mencari daerah baru, kemudian Magellan, dan lain-lainnya. Paham ini juga yang mendorong Belanda untuk melakukan perdagangan (VOC) dan pada akhirnya menjajah Nusantara selama 3,5 abad.
E . Paham Lenin (XIX)
Lenin telah memodifikasi paham Clausewitz. Menurutnya, perang adalah kelanjutan politik dengan cara kekerasan. Bagi Leninisme/komunisme, perang atau pertumpahan darah atau revolusi di seluruh dunia adalah sah dalam kerangka mengkomuniskan seluruh bangsa di dunia. Karena itu, selama perang dingin, baik Uni Soviet maupun RRC berlomba-lomba untuk mengekspor paham komunis ke seluruh dunia. G.30.S/PKI adalah salah satu komoditi ekspor RRC pada tahun 1965. Sejarah selanjutnya menunjukkan bahwa paham komunisme ternyata berakhir secara tragis seperti runtuhnya Uni Soviet.
F . Paham Lucian W.Pye dan Sidney
Dalam buku Political Culture and Political Development (Princeton University Press, 1972 ), mereka mengatakan :”The political culture of society consist of the system of empirical believe expressive symbol and values which devidens the situation in political action can take place, it provides the subjective orientation to politics.....The political culture of society is highly significant aspec of the political system”. Para ahli tersebut menjelaskan adanya unsur-unsur sebyektivitas dan psikologis dalam tatanan dinamika kehidupan politik suatu bangsa, kemantapan suatu sistem politik dapat dicapai apabila sistem tersebut berakar pada kebudayaan politik bangsa yang bersangkutan.samudera Hindia).
Senin, 12 November 2012 0 komentar

Ihsan: Tingkatan Tertinggi Seorang Hamba


Islam, Iman, dan Ihsan
Suatu ketika Malaikat Jibril ‘alaihis sallam datang di majelis Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam rupa manusia, kemudian menanyakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beberapa pertanyaan. Di antara pertanyaannya adalah tentang makna islam, iman, dan ihsan. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dan dibenarkan oleh Jibril.
Tingkatan agama yang paling tinggi adalah ihsan, kemudian iman, dan paling rendah adalah islam. Kaum muhsinin (orang-orang yang memiliki sifat ihsan) merupakan hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh sebab itu, sebagian ulama menjelaskan jika ihsan sudah terwujud berarti iman dan islam juga sudah terwujud pada diri seorang hamba. Jadi, setiap muhsin pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Namun tidak berlaku sebaliknya. Pelaku ihsan adalah hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh karena itu, di dalam al Quran disebutkan hak-hak mereka secara khusus tanpa menyebutkan hak yang lainnya.
Makna Ihsan
Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaa-ah (berbuat buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menahan diri dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada hamba Allah yang lainnya baik melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya, maupun raganya.
Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :
قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »
“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102).
Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan mencakup dua macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam menunaikan hak sesama makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya. Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan menunaikan hak-hak mereka. Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu yang wajib dan sunnah. Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya.
Tingkatan Ihsan
Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzahullah menmberikan penjelasan bahwa inti yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan di dalam beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas yaitu semata-mata mengharap pahala-Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang akan membuat keislamannya menjadi sah. Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :
Sabtu, 10 November 2012 0 komentar

Islam Itu Eksklusif, Toleran dan Membahagiakan (part 1)



Hubungan Islam dengan Barat pada hari ini senantiasa identik dengan hubungan benturan ('alâqah ash-shirâ') dan permusuhan. Barat senantiasa membangun dan menyebarkan opini negatif terhadap Islam dan pemeluknya. Menurut mereka, Islam merupakan ancaman terhadap peradaban umat manusia. Di sisi lain, Barat sering kali membanggakan kemajuan peradaban mereka dan mengklaim bahwa hal itu merupakan warisan dari kemajuan peradaban Yunani-Romawi semata. Mereka mengingkari adanya pengaruh dan kontribusi Islam beserta peradabannya dalam membangkitkan Eropa modern.
Kebangkitan Peradaban Islam 
Awal mula kebangkitan peradaban Islam dapat ditelusuri dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan intelektual di Baghdad dan Cordova. Pada masa pemerintahan   Al-Ma'mun (813-833 M), ia mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad yang menjadi pusat kegiatan ilmiah (Abdul Karim, 2007: 154). Pendirian sekolah yang terkenal ini melibatkan sarjana Kristen, Yahudi, dan Arab, mengambil tempat sendiri terutama dengan "pelajaran asing", ilmu pengetahuan dan filosofi Yunani, hasil karya Galen, Hippocrates, Plato, Arsitoteles (Bammate, 2000: 36). Dalam masa itu, banyak karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Gerakan penerjemahan itu banyak dibantu oleh orang-orang Kristen, Majusi, dan Shabi'ah.                              
Sementara itu di Cordova, aktivitas ilmiah mulai berkembang pesat sejak masa pemerintahan Abdurrahman II (822-852 M). Ia mendirikan universitas, memperluas dan memperindah masjid (Abdul Karim, 2007: 239). Cordova kemudian menjadi sangat maju dan tampil sebagai pusat peradaban yang menyinari Eropa. Pada waktu itu, Eropa masih tenggelam pada keterbelakangan dan kegelapan Abad Pertengahan. Dr. Muhammad Sayyid Al-Wakil (1998: 321) menukil perkataan seorang penulis Amerika yang menggambarkan keadaan Eropa pada masa itu,  "Jika matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa terlihat gelap gulita. Di sisi lain, Cordova terang benderang disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC umum. Eropa tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap istana-istana Eropa sudah pada bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah. Para tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai masuk sekolah."[1] Sejarah Eropa sendiri pada Abad Pertengahan penuh dengan perjuangan sengit antara kaum intelek dan penguasa gereja. Kaum intelek Eropa berontak lebih dari satu kali, tetapi berulang-ulang pemberontakan mereka berhasil dipatahkan oleh gereja (Asad, 1989: 36). Penguasa gereja itu mendirikan berbagai mahkamah pemeriksaan (Dewan Inquisisi) untuk menghukum kaum intelek serta orang-orang yang dituduh kafir dan atheis. Operasi pembantaian digerakkan secara besar-besaran agar di Dunia Kristen tidak tertinggal seorang pun yang dapat menjadi akar perlawanan terhadap gereja. Diperkirakan antara tahun 1481 hingga 1901, korban pembantaian Dewan Inquisisi mencapai 300 ribu jiwa termasuk 30 ribu jiwa dibakar hidup-hidup, di antaranya adalah sarjana fisika terkemuka Bruno. Ia dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Selain Bruno, Galileo Galilei juga harus menjalani hukuman sampai mati di penjara karena pendapatnya yang menyatakan bahwa bumi beredar mengitari matahari (An-Nadawi, 1988: 250).
Selasa, 06 November 2012 0 komentar

gelar pahlawan untuk AR baswadean

 
AR Baswedan lahir di Surabaya, Jawa Timur, 9 September 1908 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 1986 pada umur 77 tahun. Abdurrahman Baswedan adalah seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat dan juga sastrawan Indonesia.
AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen dan Anggota Dewan Konstituante. 
AR Baswedan juga yang menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Dia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya untuk menganut asas kewarganegaraan ius soli, di mana saya lahir, di situlah tanah airku.
AR Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia yaitu dari Mesir.
so...mari qt dukung beliau untuk mendapatkan kebanggaan gelar pahlawan nasional..kebanggaan untuk mengenangnya...dr bangsa untuk semua...gelar yg mngkin tidak prnah beliau mimpikan walau sedetik....
 
Senin, 05 November 2012 0 komentar

ikhtisar tentang filsafat



Pengertian Filsafat
Filsafat adalah berfikir dan merasa sedalam-dalamnya terhadap segala sesuatu sampai kepada inti persoalan. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata, yaitu Fhilos dan Sophia. Filos berarti senang, gemar atau cinta, sedangkan Sophia dapat diartikan sebagai kebijaksanaan. Kata lain dari flsafat adalah Hakikat dan Hikmah jadi kalau ada orang yang mengatakan, “Apa Hikmah dari semua ini”, berarti mencari latar belakang dalam kejadian sesuatu dengan kejadian secara filsafat, yaitu apa, bagaimana, dan mengapa sesuatu itu terjadi, yang dalam filsafat disebut dengan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.   Filsapat tentang air bukan sekedar mengetahui bahwa air adalah untuk minum, atau air harus diletakan dalam bejana karena air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, tetapi juga menguraikan air itu sampai pada komponen substansinya, dengan begitu filsafat air adalah mempelajari sedalam-dalamnya tentang air, apakah air dalam keadaan padat (Es), dalam keadaan menguap (Gas), atau dalam keadaan mencair serta dengan segala ketentuan hukum yang berlaku pada setiap keadaan bagi air.          
      Seorang pembantu rumah tangga yang diperintah oleh majikannya menyiram bunga pada jam 4 sore, tetap saja menyiram bunga dengan memakai paying karena hari sedang hujan lebat. Hal ini adalah karena pembantu rumah tangga yang patuh ini tidak mengetahui filsafat menyiram bunga, apabila yang bersangkutan mengetahui bahwa hakikat terdalam dalam dari menyiram bunga adalah agar tanaman itu segar berkat air yang disiramkan, maka tidak perlu dilakukan penyiraman bila telah kena hujan, kecuali kalau tanaman tersebut tidak kena hujan karena tertutup oleh atap. Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu.
Sabtu, 03 November 2012 0 komentar

Oleh: Arif Wibowo (Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam, Solo)
Tanggal 25 November 1896, hari di mana Soegijapranata lahir adalah era keemasan bagi kegiatan missionarisme di Indonesia. Keuntungan besar yang diperoleh pemerintah Belanda dari hasil merampok kekayaan Indonesia melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel), demi kehormantan, kata Conrad Th Van Deventer, mengikat Belanda untuk melakukan politik balas budi. Politik balas budi atau politik etis ini bisa dikatakan seperti sebutir permen yang diberikan Belanda setelah mereka merampas kebun tebu milik bangsa Indonesia, kata budayawan Emha Ainun Najib. Dan permen itu, bukan permen biasa, sebab ia mengandung racun “barat dan Kristen” yang tercermin dari program-program Partai Agama di Belanda dalam menyambut politik etis ini.
Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda), yang jika ditinjau dari segi kenegaraan maupun kemasyarakatan adalah juga sangat penting. Maka dari itu, pemerintah colonial harus memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dan tunjangan keuangan dalam melakukan pendidikan dan perawatan (misi).
Selain misionarisme langsung seperti yang diprogramkan Parta Agama di Belanda, juga dilakukan politik Nativisasi. Politik Nativisasi ini dimotore oleh Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) yang diotaki oleh para cendekiawan dari Netherlands Zending Genootschap (NZG). Awalnya, lembaga yang berdiri pada tahun 1832 ini bertujuan untuk kepentingan penerjemahan Bible ke dalam bahasa Jawa, tapi dalam perkembangannya Lembaga ini menjadi alat politik kebudayaan untuk melakukan de Islamisasi Kebudayaan. Para javanolog Belanda dalam Instituut voor de Javaansche Taal ini menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Untuk kemudian menghidupkan kembali tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta.  Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda.
Kalau Kristen mendapat kebebasan bergerak dengan dukungan finansial dari pemerintah kolonial Belanda, dakwah Islam berada dalam posisi sebaliknya. Aneka pembatasan dilakukan, mulai dari pembatasan gerak dengan keharusan memiliki passport bagi santri yang ingin berguru di pesantren luar propinsi, pembatasan jama’ah haji dan screening terhadap kitab-kitab yang diperbolehkan masuk ke pesantren-pesantren. Pada masa seperti itulah, seorang anak bernama Soegijapranata lahir dan bertumbuh.
Jumat, 02 November 2012 0 komentar

Kriteria Pemimpin


“…….. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan baik.” Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.  
Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan di atas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Pemimpin yang pekerja keras seperti digambarkan oleh al-Qur’an harulah orang yang kuat dan tepercaya. “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qashash : 26)
Kuat pada ayat di atas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. 
al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Di situ dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
0 komentar

ktika cinta menggelayut di hati....cinta itu masih smpat menatapku...menepukku...mengajak brcengkrama..mengingatkanku pd sosok paduka..oh iyyaa!!!...aq trsntak..tp jg trsedak..tp dia curang..stelah itu lngsung dia brkta:..."ya sudahlah aq cm bisik2 aj kan..lau 67 kali nama sy (cinta) itu trcantum dlm al-qur'an..kitabmu itu lo..kitab yg paling obyektif yg prnah sy temui..sampai2 sy gk tega buat mlupakannya dan hrs memblas keobjektivannya itu...tp sbnrnya sy tu sebell banget..trnyta cinta yg dia mksut itu bkn cinta manisnya gula dunia...gula yg bnyak mmbuat manusia tu pd kena diabetes, obesitas..atau komplikasi laennya...y pkknya bkn gaya gue banget lah, gua kan gaul men" Aq pun menimpali: "tyus aq pun hrs bilang kacian deh lo gt??..y dah deh skrng gini aj...sy mau dukung cinta yg kyk km aj..pi ad syaratnya brooww.."..si cinta palsu itu lngsung sigap: ap tu syratnya coy??.." kt sy: "sy mau jaminan special lau jd fans km.." sy mau jaminan surga..."  sambil plonga-plongo dia mncoba mnjwab: "bntar2 brow...surga tu ap y??...yg sy knal tu cm inisial N...NERAKA...!!!...aq bkn prgi smbil memalingkan muka, dan brkata: ke laut aj deh lu...hihihi..
Kamis, 01 November 2012 0 komentar

Ar Razi dan Konsep Manusia Mulia

“Manusia mulia adalah manusia yang mengutamakan wahyu Allah dan akalnya dibanding mengikuti hawa nafsunya,” demikian ungkap Fakhruddin ar-Razi dalam karyanya Kitab an-Nafs wa ar-Ruh wa as-Syarh Quwahuma (Buku Mengenai Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap Kedua Potensinya).
Fakhruddin ar-Razi adalah seorang ulama-intelek yang berwibawa (m. 606 H/ 1210 M). Ia menulis ratusan kitab dalam bidang Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Kalam, Logika, Fisika, Filsafat, Kedokteran, Matematika, Astronomi, dan sebagainya. Menurut ar-Razi,  manusia memiliki hawa nafsu dan tabiat yang selalu berusaha menggiringnya untuk memiliki sifat-sifat buruk. Tapi, jika manusia lebih mengutamakan bimbingan wahyu Allah dan akal dibanding hawa nafsunya, maka ia akan jadi mulia. Bahkan, manusia bisa lebih mulia dari malaikat.  Mengapa? Malaikat selalu bertasbih karena tidak memiliki hawa nafsu, sementara manusia harus berjuang melawan hawa nafsunya. Demikian pendapat Fakhruddin ar-Razi.
Bagi Fakhruddin ar-Razi, kebahagiaan jiwa atau kenikmatan ruhani lebih tinggi martabatnya dibanding kebahagiaan fisik atau kenikmatan jasmani, semisal kuliner, seks dan hasrat memiliki materi.  Argumentasinya sebagai berikut.  Pertama, jika  kebahagiaan manusia terkait dengan hawa nafsu dan mengikuti amarah, maka hewan-hewan tertentu  -- yang amarah dan nafsunya lebih hebat --  akan lebih tinggi martabatnya dibanding manusia.  Singa lebih kuat nafsu amarahnya dibanding manusia; burung lebih kuat daya seksualnya ketimbang manusia. Tapi, faktanya, singa dan burung tidak lebih mulia dari manusia.
Kedua, jika makanan atau seksualitas menjadi sebab diraihnya kebahagiaan dan kesempurnaan, maka seseorang yang makan terus menerus akan menjadi manusia paling sempurna atau paling bahagia.  Tapi, seorang yang  makan terus menerus dalam jumlah  berlebihan, justru akan membahayakan dirinya.  Jadi, sebenarnya makan adalah sekadar untuk memenuhi kebutuhan jasmani, bukan menjadi penyebab pada kebahagiaan atau pun kesempurnaan manusia.
Ketiga, manusia sebagaimana hewan merasakan kenikmatan saat makan dan minum. Jika makan menjadi sebab pada kebahagiaan, maka manusia tidak akan menjadi lebih tinggi derajatnya dibanding hewan. Bahkan manusia bisa lebih rendah dari hewan jika kebahagiaan manusia diidentikkan dengan kenikmatan jasmani. Sebab, manusia -- dengan akalnya – menyadari,  kenikmatan jasmani tidaklah sempurna. Sedangkan hewan, tidak bisa menyadarinya karena hewan tidak bisa berfikir tatkala sedang dalam kenikmatan jasmani.
Keempat, kenikmatan jasmani sejatinya bukanlah kenikmatan yang sebenarnya. Seseorang yang sangat lapar, akan segera merasakan nikmat yang tinggi jika ia segera makan. Sebaliknya, seseorang yang sedikit laparnya, sedikit pula rasa nikmatnya ketika ia makan. Seseorang merasakan kenikmatan berpakaian saat ia merasa terlindung dari rasa dingin dan panas.   Ini menunjukkan,  nikmat jasmani bukanlah kenikmatan yang sesungguhnya. Jiwanyalah yang merasakan kebahagiaan; dan kebahagiaan jiwa bukanlah kenikmatan jasmani.
 
;