Kamis, 30 Mei 2013 0 komentar

small is complicated

Oleh Dr Muhammad Hariyadi, MA

Salah satu karakter yang tetap identik dengan orang-orang bodoh adalah sikapnya yang gampang meremehkan segala sesuatu termasuk penemuan ilmiah baru. Sikap tersebut sama dengan sikap orang-orang kafir, karena kebodohan dan kekafiran pada hakekatnya serupa.

Kebodohan berkaitan dengan tidak sampainya akal pikiran pada hakekat ilmu penetahuan. Kekafiran tidak sampainya akal pikiran pada hakekat keimanan.

Ketika Allah yang Maha Agung menyampaikan bahwa sesungguhnya diri-Nya tidak segan membuat perumpamaan  dengan seekor nyamuk atau bahkan yang lebih kecil dari nyamuk (QS. Al-Baqarah: 26), orang-orang kafir berkata:"Apa maksud Allah membuat perumpamaan sekecil itu?". Sementara orang-orang beriman dengan dasar keimanan dan  pemikirannya yang mendalam berkata: "Jika berasal dari Allah, maka tentu ada kebenaran dan hikmah yang terkandung di dalamnya."

Dua sikap yang bertolak belakang ini pada satu sisi menggambarkan sikap meremehkan sesuatu yang kemudian berimplikasi negatif karena didasarkan pada cara berpikir negatif yang pada akhirnya memalukan diri sendiri sebab kebenaran ilmiahnya pada waktu tertentu menjadi nyata.
0 komentar

Pergumulan Teologis dan Realitas Hidup (II)

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Apakah Tuhan memang sedang murka pada kita umat Islam yang papa ini, sehingga masih saja berada dalam keadaan tersungkur, sebagaimana terbaca pada bait terakhir dalam "protes" Iqbal di atas? Aduh, sudah papa kena murka lagi.

Tentu, jika Tuhan memang sedang murka kepada umat ini, semestinya kita melakukan kritik diri secara jujur dan tajam, mengapa berlaku demikian? Belum ada perbaikan yang mendasar sebagai syarat untuk bangkit sebagai umat yang diridai. Iman kita mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah ingkar janji, asal syarat-syarat untuk itu dipenuhi oleh hamba-Nya.

Protes Iqbal berlanjut: Di tempat-tempat pemujaan syirik, si musyrik berkata, "Umat Islam telah tamat!" Mereka girang karena penjaga Ka'bah telah pergi.
... Si kafir bersorak terbahak; apakah Engkau pekak, tak peduli? Akan halnya keesaan Engkau, seolah kehilangan makna?
(Lihat Muhammad Iqbal, Complaint and Answer. Terjemahan AJ Arberry. Kashmiri Bazar, Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1977, hlm 17).
Minggu, 26 Mei 2013 0 komentar

Konsep Aurat dan Larangan Berwudhu Telanjang Bulat

Bagi sebagian orang, wudhu merupakan salah satu laku ibadah yang telah merasuk menjadi rutinitas. Setiap kali bersentuhan dengan air, seketika itu pula ia berwudhu. Ini adalah suatu kebaikan, karena berusaha mengkondisikan diri dalam keadaan suci.

Namun demikian perlu diperhatikan bahwasannya berwudhu haruslah dalam keadaan aurat tertutup. Minimal aurat depan (qubul) dan belakang (dubur). Walaupun sebenarnya menutup aurat bukanlah termasuk syarat sah wudhu. Akan tetapi, ini berhubungan dengan tata cara dan hukum menutup aurat ketika sendirian (khalwat) yang batasannya berbeda dengan aurat ketika shalat dan ketika bersosialisasi di depan umum.

Menurut Az-Zarkasyi sebagaimana tercantum dalam Nihayatul Muhtaj, bahwa aurat yang wajib ditutup ketika sendirian (khalwat) adalah dua kemaluan saja bagi laki-laki (qubul dan dubur), dan antara pusar dan lutut bagi perempuan.

قال الزركشى: والعورة التى يجب سترها فى الخلوة السوأتان فقط من الرجل ومابين السرة والركبة من المرأة
Azzarkasyi berkata bahwa aurat yang wajib ditutup ketika khalwat adalah dua kemaluan saja bagi laki-laki (qubul dan dubur), dan antara pusar dan lutut bagi perempuan.
Bahwasannya  ada dua macam aurat khusus.

Pertama aurat ketika sendirian (khalwat) dan kedua aurat ketika di hadapan orang yang boleh memandang kepadanya seperti istri dan budak perempuan (sesuai perkembangan zaman, konsep perbudakan kini sudah tidak ada lagi). Keduanya memiliki tata cara yang berbeda seperti diterangkan dalam kitab Fathul Muin bahwa:

وجاز تكشف له اى للغسل فى خلوة او بحضرة من يجوز نظره الى عورته كزوجة او أمة والستر افضل وحرم ان كان ثم من يحرم نظره اليها كماحرم فى الخلوة بلاحاجة وحل فيها لأدنى عرض كما يأتى
Boleh membuka aurat (telanjang bulat) ketika mandi karena khalwat (sendirian), atau (boleh juga membuka aurat) di depan orang yang diperbolehkan memandang auratnya seperti istri atau budak perempuannya. Namun menutup aurat lebih afdhal. Dan haram membuka aurat jika di sana ada orang yang terlarang (tidak diperbolehkan) melihatmya. Seperti halnya diharamkan membuka aurat ketika sendirian tanpa ada keperluan apa-apa.

Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa seseorang hanya diperbolehkan membuka aurat atau bertelanjang bulat ketika mandi sendirian atau ketika hanya berhadapan hadapan dengan istri. Karena mandi harus meratakan air ke seluruh tubuh, dan ini tidak bisa tercapai tanpa harus membuka semua penutupnya. Maka dibolehkan bertelanjang bulat ketika mandi.

Ini berbeda dengan kasus wudhu, karena keperluan wudhu dalam meratakan air tidak seperti mandi, maka berwudhu harus dengan menutup auratnya, minimal aurat depan (qubul) dan belakang (dubur). Dengan kata lain, jika mandi memang perlu bertalanjang, sedang wudhu tidak perlu bertelanjang. Maka dilarang berwudhu dengan bertelanjang bulat tanpa menutup aurat walaupun sendirian tanpa sesuatu keperluan apapun.

Oleh Karena itu, ketika seseorang selesai mandi dan ingin mengakhiri mandinya dengan berwudhu, sebaiknya terlebih dahulu menutup auratnya. Walaupun hanya dengan celana dalam ataupun handuk yang melingkar di badan. Wallahu a’lam.
 
sumber: www.nu.or.id
0 komentar

mengapa mengeluarkan barang yang suci harus mandi, sedangkan mengeluarkan air kencing yang najis tidak perlu mandi?

Fiqih mengharuskan siapapun yang mengeluarkan air sperma atau air mani baik karena mimpi basah atau karena bersetubuh dengan istri ataupun karena onani (istimta’) wajiblah mandi. Padahal fiqih juga menerangkan bahwa air mani adalah suci (tidak najis), berbeda halnya dengan air kencing yang najis. Pertanyaan yang sering muncul kemudian bagaimana bisa mengeluarkan seseuatu yang suci malah diwajibkan mandi, sedangkan mengeluarkan yang najis cukup dengan bersuci (istinja’ /cebok) saja, dan cukup berwudhu jika ingin menjadi suci?

Pertama dalil dari hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Abi Said berbunyi:
الماء من الماء
Bermula air (kewajiban mandi) itu dari sebab air (keluar air mani)

Demikian pula riwayat Ummi Salah ra. bahwa Ummul Sulaim berkata “Ya Rasulullah, bahwa Allah swt tidak malu menyatakan yang haq, apakah wajib seorang perempuan mandi apabila ia mimpi jimak?” Rasulullah menjawab “ya, apabila ia melihat air (mani)”.

Kedua hadits di atas merupakan dasar yang telah disepakati oleh para Imam Fiqih, bahwa mengeluarkan mani mewajibkan seseorang mandi. Adapun mengenai kesucian air mani adalah pernyataan Rasulullah saw dalam haditsnya ketika ditanya seseorang mengenai mani yang terkena pakaian, beliaupun menjawab:
إنما هو بمنزلة المخاط والبصاق وإنمايكفيك أن تمسحه بخرقة أو إذخرة
Bahwasannya mani itu setingkat dengan ingus dan ludah, cukuplah bagimu menyapunya dengan percikan air atau idzkhirah (sebangsa rumput wangi).

Jika dalil-dalil tersebut dengan jelas menerangkan kesucian mani dan kewajiban mandi karena keluar mani, tetapi dalil-dalil itu belum menggambarkan adanya hubungan sebab-akibat (keluar mani yang suci mengakibatkan wajib mandi).

Sebagian ulama seperti yang ditulis oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, menjelaskan bahwasannya alasan (illat) diwajibkannya mandi ketika keluar mani adalah adanya rasa nikmat dan lezat yang mengiringi keluarnya mani itu. Maka mereka yang berpendapat demikian tidak mewajibkan mandi bagi orang yang keluar mani tanpa rasa nikmat seperti mereka yang teramat pulas dalam tidur, maka ia tidak diwajibkan mandi.

Hal ini mungkin dapat dijadikan alasan mengenai proses diwajibkannya mandi, tetapi belum bisa menjawab asal masalah “mengapa mengeluarkan barang yang suci harus mandi, sedangkan mengeluarkan air kencing yang najis tidak perlu mandi?”

Bahwasannya dalam catatan ilmu kedokteran ‘ilmut thibb’ diteragkan dalam sekali tumpahan mani terdapat 2 000 000 000 (dua milyar) benih kehidupan spermatozoid. Maka siapapun yang keluar mani akan kehilangan energy sebanyak itu. Sebagai dampaknya orang yang keluar mani akan segera lemas dan berkurang tenaganya. Hal ini tidak bisa dipulihkan hanya dengan membasuh dzakar ataupun alat kelamin  saja. Tetapi harus dengan cara membasahi badan secara merata terutama dengan air hangat.

Oleh karena itu sebaiknya setelah keluar mani segeralah mandi, agar tubuh kuat kembali. Ini sangat berbeda dengan mengeluarkan air kencing yang hanya mengandung kotoran dari dalam tubuh manusia. Dan cukup dengan membersihkan alat keluarnya. Meskipun keduanya (air mani dan air kencing) keluar dari lubang alat yang sama tetapi keduanya adalah materi yang bebeda. Wallahu a’lam.
 
sumber: www.nu.or.id
Sabtu, 25 Mei 2013 0 komentar

nilai sebuah subyektifitas

Oleh Dr Muhammad Hariyadi MA

Manusia dilahirkan ke dunia dengan nilai subyektivitas yang dibawa oleh alam pikirannya. Subyektivitas tersebut muncul dari cara berpikir manusia yang diproses oleh akalnya.

Mereka yang menggeluti dunia hukum memiliki kerangka berpikir dan pola subyektivitas yang berbeda dengan yang mendalami bidang agama. Maka wajarlah jika subyektivitas ternyata bertingkat, yang dibuktikan dengan subyektifitas anak memiliki nilai yang berbeda dengan subyektifitas orang dewasa dan subyektifitas dalam filsafat tidak sama dengan subyektifitas dalam ilmu pengetahuan.

Perbedaan kadar dan tingkat subyektivitas tersebut mengisyaratkan kepada kita agar memberikan penyadaran sepenuhnya bahwa kebenaran akal adalah kebenaran nisbi. Namun demikian bukan berarti kebenaran akal tersebut tidak bernilai, melainkan menjadi sebuah terminal kebenaran yang mengantarkan kepada terminal kebenaran lain yang sama-sama nisbi.

Atas dasar kebenaran yang nisbi tersebut, maka Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita agar tidak menghakimi seseorang hanya didasarkan pada subyektifitas diri, melainkan perlu mempertimbangkan pengakuan, subyektivitas pihak lain dan saksi-saksi karena hakekat kebenaran yang sebenarnya berada di sisi Allah SWT.
0 komentar

Indonesia yg tumbuh tapi tak berkembang

Oleh Nasihin Masha

Darmin Nasution ingin membangun tradisi baru. Ia merintis adanya pidato pertanggungjawaban (farewell address) bagi setiap gubernur Bank Indonesia yang mengakhiri masa tugasnya. Pekan ini ia harus menyerahkan singgasana penguasa moneter itu kepada penggantinya, Agus Martowardoyo. Pidato itu dilakukan di hadapan publik. Ia memaparkan apa saja yang telah dilakukannya dan apa tujuannya. Ia mengaku, apa yang dilakukannya ibarat membangun gorong-gorong dan drainase. Musuh utama jalan di Indonesia adalah air. Namun pembangunan infrastruktur jalan itu tak selalu diiringi pembangunan gorong-gorong dan drainase. Akibatnya jalan selalu rusak dan biaya menjadi mahal. Sehingga kita terjebak melakukan hal yang sama setiap saat dan tak beranjak ke mana-mana.

Membangun sistem, kelembagaan, dan tata nilai bukanlah pekerjaan menarik. Ia sunyi dari pujian dan jauh dari hasil instan. Kita cenderung untuk melakukan sesuatu yang cepat terlihat ujung akhirnya. Pekerjaan semacam itu bersifat instan, manipulatif, dan pasti tak berkesinambungan. Tentu itu jalan yang buruk. Karena itu, Darmin memilih jalan yang sunyi. Latar belakangnya sebagai peneliti selama 22 tahun serta pengalamannya di pemerintahan yang panjang dan di berbagai jabatan menjadi faktor kunci pilihan tak populer itu. Ia mendapati masalah yang dihadapi Indonesia dari dulu hingga kini tetap sama. Padahal kita sudah bangga bahwa telah banyak kemajuan yang telah diraih Indonesia. Itulah kebanggaan semu. Karena itu ia berkesimpulan, kita memang growth but without change (tumbuh tapi tak ada perubahan).
Rabu, 22 Mei 2013 0 komentar

memudakan indonesia

Oleh Yudi Latif

Indonesia tanpa daya muda adalah Indonesia yang menyangkal jati dirinya. Nyaris tak terbayangkan bagaimana Indonesia bisa merdeka tanpa dipelopori pergerakan kaum muda. Menulis di majalah Bintang Hindia No 14 (1905: 159), Abdul Rivai memperkenalkan istilah ”kaum muda” yang didefinisikan sebagai seluruh rakyat Hindia (muda atau tua) yang tidak lagi bersedia mengikuti aturan kuno. Sebaliknya, mereka berkehendak untuk memuliakan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu.

Sejak itu, istilah kaum muda digunakan secara luas dalam liputan media dan wacana publik. Secara umum, istilah itu dirujuk sebagai kode eksistensial sebuah entitas kolektif yang berbagi titik kebersamaan dalam ambisi untuk memperbarui masyarakat Hindia melalui jalur pengetahuan dan kemajuan.

Lebih dari sekadar kriteria usia, kaum muda merefleksikan sikap-kejiwaan. Suatu kebaruan cara pandang yang memutus hubungan dengan tradisi jahiliah masa lalu melalui keberanian memperjuangkan visi perubahan yang menjanjikan pencerahan masa depan. Tapi, tak terhindarkan, mereka yang berani mengemban visi perubahan lebih mungkin tumbuh dari mereka yang tidak terlalu digayuti beban masa lalu. Meminjam pandangan Hatta, generasi baru kaum terdidik dengan kemampuannya untuk membebaskan diri dari hipnosis kolonial, lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoretis bagi aksi-aksi kolektif.
Senin, 20 Mei 2013 0 komentar

islam dan politik

Sejumlah survei dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa Masyarakat Indonesia saat ini jauh lebih "religius" (taat beribadah) dibanding pada dekade 1950-an. Survei Nasional Reform Institute belum lama ini menemukan, rata-rata 73 persen dari total pendukung 10 partai terbesar menyatakan selalu menjalankan ibadah. 

Dengan gambaran tersebut, sulit melakukan kategorisasi aliran kepartaian berdasarkan ketaatan keagamaannya, seperti dalam tipologi Clifford Geertz. Dengan alasan, baik pengikut partai-partai Islam maupun partai nasionalis, memiliki tingkat ketaatan beribadah yang relatif sama.

Meskipun, masyarakat Indonesia berkembang ke arah yang lebih religius, tidaklah otomatis mengarah pada meningkatnya dukungan terhadap partai-partai Muslim (berasas Islam maupun Pancasila). Pada Pemilihan Umum 1998, jumlah suara yang diperoleh oleh semua partai Muslim, termasuk partai-partai yang menjadikan Pancasila sebagai asasnya, hanya sebesar 36,38 persen. Pada Pemilu 2004, total persentase suara yang diperoleh seluruh partai-partai Muslim sedikit naik dari pemilu sebelumnya, yakni 38,1 persen. Pada Pemilu 2009, total persentasenya lebih merosot, tapi mungkin tidak bisa dijadikan ukuran karena Pemilu 2009 ini penuh dengan “skandal”. Gambaran itu menunjukan bahwa capaian-capaian partai Muslim tidak pernah melampaui hasil Pemilu 1955, yakni sekitar 42 persen.
0 komentar

hidup dan kualitas hidup

Konon makna seseorang dalam hidup baru kita ketahui saat kehilangan mereka. Seorang istri yang sering mengabaikan suami, tidak begitu peduli dengan segala kebutuhannya karena sibuk dengan urusan sendiri, tiba-tiba menangis dan berjanji akan merawat suami sebaik mungkin ketika lelaki yang dicintai terbaring koma di rumah sakit.

Seorang suami yang mengabaikan peran istri dan merasa hanya dirinya yang paling penting sebab menafkahi keluarga, baru sadar betapa berat dan ruwetnya tugas istri saat sang pendamping sudah tak ada lagi di sisi. Orang tua yang selalu tidak punya waktu untuk anak-anaknya, tiba tiba diliputi penyesalan mengapa tidak memberikan semua waktunya untuk anak ketika si buah hati telah terbaring kaku di pusara.

Ya, kisah-kisah penyesalan serupa dapat ditemukan jejaknya da lam masyarakat kita. Dan beberapa pekan terakhir, membaca berbagai berita kehilangan, saya seakan diantar pada satu perenungan tentang seberapa berartinya kehidupan kita.

Indonesia begitu tersentak ketika mendengar berita Uje (Ustaz Jefri Al Buchori) berpulang ke haribaan Allah di usia yang relatif muda. Ribuan orang menshalati jenazahnya. Tidak puas hanya sekadar menshalati, mereka berbondong-bondong mengantar jenazah ke peristirahatan terakhir. Lebih dari sepekan berbagai media di Tanah Air tetap memberitakan kepergian ustaz tersebut.
Kamis, 16 Mei 2013 0 komentar

Marwah Pemikiran

Oleh: Yudi Latif 
Hari Pendidikan Nasional telah berlalu, menyisakan keprihatinan besar. Di negeri ini, ke mana pun kita menghadap, sulit menemukan kecerdasan pikiran sebagai fitur utama kebijakan dan tindakan. Kemunduran terbesar negeri ini bukan pada ekonomi, tetapi pada kemunduran dalam menghargai pikiran.

Kecerdasan para pendiri negeri ini, seperti tecermin dalam kualitas Pembukaan UUD 1945, jauh menjulang dibanding kapasitas para politisi masa kini. Tanpa kecerdasan visi, para praktisi politik saat ini tak memiliki pandangan yang terang tentang orientasi negara. Rakyat di tingkat akar rumput kehilangan kepemimpinan dan kepercayaan.

Pikiran tak lagi menjadi ukuran kehormatan di negeri ini. Suatu perkembangan yang melenceng jauh dari trayek sejarah perjuangan bangsa. Persis pada awal abad ke-20, saat inteligensia pribumi mulai muncul dengan obsesi kemajuan, kata "pikiran" dijadikan tanda baru menakar kehormatan sosial. Tanda baru yang menjadi mercusuar, ke arah mana idaman orang ditujukan. Tanda baru yang menjadi pembatas antara tradisi dan inovasi, masa lalu dan masa depan.
0 komentar

Pergumulan Teologis dan Realitas Hidup (I)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif 
Yang saya maksudkan dengan teologi dalam tulisan ini adalah sistem kepercayaan kepada Tuhan yang selalu berpihak pada kebenaran, keadilan, kesabaran, kejujuran, dan ketakwaan. Dalam Alquran banyak ayat yang menegaskan tentang keberpihakan ini. Artinya, Tuhan tidaklah netral dalam sejarah.

Tetapi, dengan kekalahan beruntun umat Islam dalam perlombaan peradaban selama rentang waktu yang panjang, apakah pemihakan itu sudah tidak berlaku lagi? Mengapa? Di sinilah pergumulan teologis dan realitas hidup itu semakin menegangkan dan sulit dipahami.

Dari sisi pihak lain, keterangan Karen Armstrong patut juga didengar. Menurut penulis perempuan Inggris ini, banyak orang Inggris tidak percaya lagi kepada Tuhan, dengan alasan Tuhan tidak berbuat sesuatu untuk menyetop Perang Dunia (PD) II yang telah membawa malapetaka dahsyat bagi Eropa itu.

Berbeda dengan orang Inggris, sepanjang pengetahuan saya, betapapun umat Islam telah mengalami kekalahan demi kekalahan, mereka tidaklah sampai meninggalkan iman mereka kepada Allah. Paling-paling sebagian mereka salah tingkah dalam menjawab tantangan yang tidak mampu dihadapi.
Mereka bahkan masih terus berdoa agar umat ini bangkit kembali dari segala macam keterpurukan dan kehinaan yang datang silih berganti. Tengoklah apa yang sedang berlaku di Suriah, Irak, Afghanistan, Pakistan, dan di kawasan lain, umat Islam hidup dalam kegelisahan, ketidakamanan, dan penderitaan yang mengenaskan. Bom bunuh diri meledak di berbagai tempat. Pengungsi bertebaran di mana-mana, akibat hidup sudah tidak aman lagi.
0 komentar

Negara dan Filantropi Islam

Filantropi Islam Indonesia dalam bentuk ziswaf (zakat, infaq, sedekah, wakaf) memiliki potensi sangat besar. Belakangan ini berbagai kalangan memperkirakan, potensi ziswaf Indonesia mencapai sekitar Rp 217 triliun setiap tahun.

Meski realisasinya masih jauh daripada potensi itu, ziswaf yang terus bertumbuh kian menjadi ‘rebutan’ di antara berbagai lembaga. Sejak dari amir masjid di masjid lingkungan pertetanggaan, ormas Islam, LSM kolektor-distributor, sampai pada pemerintah.

Adanya tarik tambang antara pihak-pihak tersebut terlihat dari judicial review UU No 23 Tahun 2011 tentang Zakat ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan LSM kolektor-distributor ziswaf pada 2011. Koalisi LSM yang bergerak dalam pengelolaan dana ziswaf —yang dapat dikatakan sebagai representasi civil society— menggugat UU yang memberikan otoritas dan wewenang terlalu besar kepada Baznas. Mereka memandang hal itu dapat mengancam eksistensi lembaga pengumpul dan distribusi ziswaf yang telah relatif sukses dalam menggali dan meningkatkan realisasi dana ziswaf sejak 1990-an.
Jumat, 03 Mei 2013 0 komentar

Resume Buku al-Attas "Prolegomena To The Metaphysics Of Islam"

Profil Buku dan Pengarang
             Prolegomena To The Metaphysics Of Islam, merupakan sebuah buku yang ditulis oleh seorang filsuf Islam yang bernama Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Buku ini, sebagaimana dikatakan pada bagian pengantar cetakan pertama pada tahun 1995, merupakan Bab-bab yang pada aslinya diterbitkan sebagai monografi terpisah dalam jumlah terbatas atas permintaan staf akademik ISTAC dan pihak lain. Mereka meminta saya untuk mengelaborasi komentar tiap monografi, dalam bentuk sebuah kuliah di ISTAC yang kemudian dikenal sebagai Kuliah Sabtu Malam[1].  
            Dengan pengecualian akan bab I, yang telah ditulis dua puluh tahun lalu pada bulan Ramadan, keenam bab lain telah ditulis dan dilengkapi selama bulan pada tahun 1989 (III; 1990
            (IV, V dan VI); 1993 (II); dan 1994 (VII). Bab II, merupakan komentar atas penjelasan teori Al-Attas tentang makna dan asal tragedi. Keseluruhan buku ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian Penutup, akhirnya menunjuk kepada interpretasi makna yang tersembunyi dari bagian Qur’an tentang Penciptaan dalam Enam Hari.
            Sekilas tentang Al-Attas, dia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, tahun 1931, dan menjalani pendidikan dasar di Sukabumi dan Johor Baru. Lalu, menempuh pendidikan di The Royal Military Academy, Sandhurst, England, lalu ke University of Malaya, Singapura. Gelar master diraihnya di McGill University, Montreal, Canada, dan PhD di University of London, London, Inggris, dengan konsentrasi bidang ‘ Islamic philosophy’, ‘theology’ dan ‘metaphysics’. Di McGill inilah kemudian ia berkenalan dengan beberapa orang sarjana yang terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Seyyed Hossein Nasr (Iran).
Kamis, 02 Mei 2013 0 komentar

Democracy: What Went Wrong?

oleh: Azyumardi Azra

Mengamati perjalanan demokrasi di Indonesia dalam 15 tahun yang masih semrawut (messy), sebagian kalangan masyarakat dan pengamat sering bertanya: apa yang salah dengan demokrasi? Mengapa demokrasi belum juga mampu membawa warga pada kesejahteraan?

Pertanyaan yang sama juga relevan dalam konteks transisi demokrasi di dunia Arab, seperti di Tunisia, Mesir, Yaman, dan bahkan Bahrain-untuk tidak menyebut Suriah- yang terus berdarah-darah.

Apa yang salah dengan demokrasi? Tema ini sering pula menjadi pembicaraan hangat dalam lembaga-lembaga internasional penguatan demokrasi. Sebagai contoh saja, lembaga International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) yang berpusat di Stockholm-di mana saya menjadi salah satu anggota Dewan Penasihat-dalam tiga tahun terakhir menjadikan subjek ini sebagai topik utama; Democracy: What Went Wrong?

Ada kekhawatiran, jika demokrasi gagal mewujudkan janji untuk peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan, kian banyak warga berpaling pada sistem politik lain. Demokrasi memiliki batas dan kelemahan tertentu; ia bukan sistem yang seratus persen tanpa kelemahan.

Pada satu sisi, demokrasi memberikan ruang amat luas bagi kebebasan politik dan partisipasi politik warga, misalnya. Akan tetapi, pada saat yang sama, kebebasan politik demokrasi yang berlangsung cenderung kebablasan beriringan dengan lambatnya pengambilan keputusan, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Akibatnya, program pembangunan tidak dapat berjalan baik dan peningkatan kesejahteraan warga kian jauh.
 
;