Jumat, 23 Agustus 2013 0 komentar

MARI BERFIKIR POSITIF

Oleh : Muchlis M. Hanafi
Berfikir adalah sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang terambil dari bahasa Arab al fikr, yang berarti “kekuatan yang menembus suatu obyek sehingga menghasilkan pengetahuari”. Manakala pengetahuan atau pandangan yang dihasilkannya didukung oleh bukti-bukti kuat yang meyakinkan maka dinamakan “ilmu”. Sementara jika bukti-bukti tersebut belum meyakinkan, tetapi kebenarannya lebih dominan, maka disebut zhann (dugaan). Dan jika kemungkinan benar dan salahnya seimbang disebut syakk (keraguan). Sementara jika tidak didukung bukti, atau bukti tersebut lemah, sehingga kemungkinan salahnya lebih besar disebut wahm.

Akar kata fa, ka, ra, sampai pun ia berubah susunan (fa, ra, ka), memiliki makna seperti disebut di muka. Sebab al fark dalam bahasa Arab berarti “menyisiri sesuatu untuk mencapai hakikat yang sebenarnya”. Bedanya, menurut beberapa pakar bahasa, al-farak/ al-firk untuk sesuatu yang bersifat materil, sementara al-fikr untuk yang bersifat maknawi (Al-Mufradat Fi Gharib AI­Qur’aan 2/496).

Dengan demikian, berfikir merupakan sebuah proses cara pandang seseorang terhadap suatu obyek, baik itu nyata ataupun tidak, yang kemudian menghasilkan penilaian apakah obyek itu positif atau negative. Banyak hal tentunya yang dapat mempengaruhi hasilpenilaian tersebut, antara lain, yang bersifat internal; suasana hati, pemahaman dan penafsiran suatu informasi yang tidak lengkap, peristiwa yang dialami seseorang dalam kehidupan yang mendorong adanya pergeseran cara pandang terhadap sesuatu/orang lain. Yang bersifat eksternal antara lain faktor tingkat pendidikan, budaya, ekonomi, dan lain-lain

Berpikir positif adalah cara berfikir secara terbuka dan melihat segala sesuatu selalu memberi hikmah bagi pengalaman hidup. Sebaliknya, seorang yang berfikir negatif hanya merekam gambar kelam dari setiap kejadian atau keburukan pada seseorang. Pernahkah kita terpikir mengapa pita film yang umum kita kenal untuk mencuci gambar-gambar yang kita inginkan dikenal dengan film negatif. Mungkin karena kita hanya melihat bayangan hitam gelap dan kelabu di sana. Namun, bila kita bersedia mencuci dan mencetaknya dengan baik , kita akan dapati suansa indah penuh warna-warni sebagaimana yang kita harapkan. Demikian halnya dengan gambaran pikiran negatif; pikiran yang hanya merekam gambar kelam dari setiap kejadian. Kita takkan mendapati warna-warni kehidupan, karena cahaya ditangkap sebagai kegelapan. Untuk itulah, mengapa kita disarankan untuk selalu melihat segala sesuatunya dengan kacamata positif. Apalagi jika disadari, bahwa segala sesuatu di muka bumi ini berada dalam kendali Tuhan Yang Mahakuasa.
Minggu, 11 Agustus 2013 0 komentar

Sejarah Idul Fitri

Oleh Heri Ruslan 
Hakikat Idul Fitri adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan.

Jauh sebelum ajaran Islam turun, masyarakat Jahiliyah Arab ternyata sudah memiliki dua hari raya, yakni Nairuz dan Mahrajan. Kaum Arab Jahiliyah menggelar kedua hari raya itu dengan menggelar pesta pora. Selain menari-nari, baik tarian perang maupun ketangkasan, mereka juga bernyanyi dan menyantap hidangan lezat serta minuman memabukkan.

‘’Nairuz dan Mahrajan merupakan tradisi hari raya yang berasal dari zaman Persia Kuno?’’ tulis Ensiklopedi Islam.  Setelah turunnya kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadhan pada 2 Hijriyah, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda, ‘’Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.’’

Setiap kaum memang memiliki hari raya masing-masing. Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam Kisah Para Nabi dan Rasul, mengutip sebuah hadis dari Abdullah bin Amar, ‘’Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ’’Puasanya Nuh adalah satu tahun penuh, kecuali hari Idul Fitri dan Idul Adha’.’’ (HR Ibnu Majah).
Jumat, 09 Agustus 2013 0 komentar

Ramadhan, Mudik dan Kedermawanan

Oleh : Muchlis M Hanafi

Seperti biasa, setiap akhir Ramadhan terjadi pergerakan masa yang sangat luar biasa dalam rangka mudik; dari kota ke desa, atau dari kota ke kota.

Jutaan orang pulang ke kampung halaman untuk merayakan kebahagiaan bersama keluarga. Satu peristiwa yang tidak lagi hanya bernuasa religius, tetapi juga memiliki nilai sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik.

Dalam konteks berbeda, pada bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 20, tahun kedelapan hijriah Nabi bersama para Sahabatnya pernah mudik, setelah hampir delapan tahun dipaksa keluar (terusir) dari kampung halaman, Mekkah. Nabi yang terusir dari kampungnya itu sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh seorang pendeta, Waraqah bin Naufal, sebagai tanda kenabian. Pada hari itu, Nabi memasuki kembali kota Makkah dengan kemenangan sesuai janji Allah.

Sebelum itu, saat masih di Mekkah berjuang menyebarkan Islam, Allah pernah menurunkan sebuah ayat: Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali (QS. Al-Qashash : 85).
 
;