Rabu, 14 April 2010

"Topeng Monyet"

“TOPENG MONYET”
Topeng monyet sebuah pertunjukan yang cukup akrab dengan lingkungan kita. Dimana si monyet menunjukkan keahliannya dalam menirukan tingkah laku manusia. Suatu hal yang unik di pertunjukan ini adalah si monyet mengenakan topeng yang gambar dan bentuknya tak kalah unik dengan wajah monyet itu sendiri, malahan terkadang topeng itu berwajah manusia.  

Ketika kita tafakkuri aksi tersebut, terbesit dalam relung hati kita, bahwa wajah dan rupa manusia itu hanyalah sebuah kedok dan kulit luar yang binatang apa saja bisa mengenakan, bahkan seekor monyet sekalipun. Sangat marak sekarang ini monyet yang bertopeng ganteng, keren, kaya dan berdasi berebut untuk berpose di depan kamera duniawi. Wajah asli dari seorang manusia adalah tingkah laku dari poros hatinya yang suci. Dalam sebuah hadits dikatakan:..
                     
 إنّ الله لا ينظر إلى أجسامكم ولا إلى صوركم ولكن الله ينظر إلى قلوبكم  
Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan bentuk kalian, melainkan melihat hati kalian 

Kita jumpai pada kasus Indonesia yang tengah ngetrend saat ini, di mana wajah-wajah suci manusia kembali dikenakan oleh hati yang tidak jelas kemanusiaannya, patutkah ulama menjatuhkan ulama, guru menjegal guru, yang paling aktual saat ini aparat petinggi kepolisian saling adu gulat dengan aparat hukum lainnya. Patutkah manusia yang sesungguhnya melakukan itu? Masyarakat awam dibuat bingung oleh figur-figur yang semestinya dapat memberi tauladan yang baik ini, bahkan dengan penuh percaya diri mereka terlihat bangga mengeyampingkan arti sebuah tanggung jawab dan amanat dan tidak lagi menjunjung kode etik satu korps, mereka lebih suka merobek jala persatuan itu, sehingga terkesan jiwa ke”aku”an yang kental. Banyak pihak yang sekarang ini tidak takut lagi kepada dosa dan neraka, persis seperti dalam adegan topeng monyet yang dengan berani monyet itu bermain dengan seekor ular besar yang seperti biasa menjadi temannya dalam pertunjukkan

PR kita yang sulit dipecahkan saat ini adalah menyalakan kembali lampu-lampu hati nurani yang telah padam, kemanakah perginya cahaya-cahaya itu? Padahal kita Indonesia sudah terlanjur mengaku sebagai mahsarnya orang-orang Islam. Sangat tepat ungkapan Rasulullah SAW:
“Suatu saat akan tiba masa dimana orang-orang itu mendirikan sholat namun hatinya tidak sholat”

Tidak perlu lama lagi kita menanti wujud real “ramalan” Rasul tersebut, sekarang kita telah mendapatinya. Islam is simple, but it is so difficult to be simple muslim.  Namun kita pun harus mengerti, taman surga dunia pemerintahan yang penuh jabatan dan lautan harta menjadi malaikat penggoda yang siapapun tidak mudah berpaling darinya, ataupun ibarat rayuan bidadari yang sangat molek dan jelita plus ribuan diamond yang menyelimutinya, seorang ulama pun bisa jadi melepas pakaian putihnya, apalagi pihak-pihak yang lebih rentan dari itu, seorang wakil rakyat dengan gampang membelot menjadi wakil hasratnya sendiri

Akan tetapi Kita pun harus merenung, sebenarnya wajah pemerintah itu tidak lain adalah wujud rupa kita sendiri, bagaimana pemerintah akan bertatariaskan mahligai kejujuran jikalau diri kita pribadi sebagai aktor utama masyarakat masih juga carut marut dandanan moralnya. Kita harus memulai dari diri kita dahulu dilanjutkan kemudian peran maksimal kita sebagai tauladan dan pembina masyarakat, lingkup terkecilnya adalah keluarga kita, sudahkan yang terbaik Jangan sampai kita termasuk “topeng monyet” yang mengenakan topeng manusia dalam menjalani kehidupan yang sesungguhnya                                             
                                                                                                               

0 komentar:

 
;