Rabu, 31 Juli 2013 0 komentar

Pemetaan Konflik Mesir


Dina Y. Sulaeman*
Pengantar: Dalam artikel panjang ini penulis akan melakukan pemetaan konflik dengan harapan agar publik bisa melihat situasinya dengan lebih jernih. Ini penting karena opini publik Indonesia atas konflik ini terlihat mulai keruh oleh sikap-sikap takfiriah. Yang tidak mendukung Mursi dituduh anti-Islam. Bahkan banyak yang seenaknya berkata: yang anti-Mursi pasti Syiah atau Yahudi (dan keduanya bersekongkol!). Jelas ini pernyataan yang tidak logis, tidak cerdas, dan semata didasarkan pada kebencian yang membabi-buta. Sebaliknya, yang menolak kudeta pun, belum tentu pro-Mursi atau pro-takfiri. Bahkan, negara yang paling awal mengecam penggulingan Mursi dan menyebutnya sebagai kudeta militer justru Iran. Sebaliknya, yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir justru Arab Saudi.

(1)   Ikhwanul Muslimin
Muhammad Mursi, doktor lulusan AS dan aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) naik ke tampuk kekuasaan dengan memenangi 52% suara dalam pemilu bulan Juni 2012. Jumlah turn-out vote saat itu hanya sekitar 50%. Artinya, secara real Mursi hanya mendapatkan dukungan seperempat dari 50 juta rakyat Mesir yang memiliki hak suara (karena ‘lawan’ Mursi saat itu hanya satu orang, Ahmad Shafiq, mantan perdana menteri era Mubarak). Dalam posisi seperti ini, bila benar-benar menganut azas demokrasi, idealnya Mursi melakukan pembagian kekuasaan dengan berbagai pihak.

Awalnya, Mursi memang memberikan sebagian jabatan dalam kabinetnya kepada tokoh-tokoh yang tadinya berada di pemerintahan interim militer. Namun sikap kompromistis Mursi tak bertahan lama. Pada bulan Agustus 2012, Mursi mulai melakukan ‘pembersihan’ di tubuh pemerintahannya. Bahkan pada bulan November 2012, Mursi mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua produk hukum yang dihasilkan anggota parlemen (yang didominasi Ikhwanul Muslimin) tidak bisa dibatalkan pengadilan. Dekrit ini ditentang kaum sekuler dan minoritas karena mengkhawatirkan produk UU yang meng- ‘Ikhwanisasi’ Mesir. Mereka pun berdemo besar-besaran di Tahrir Square.

Jumat, 26 Juli 2013 0 komentar

Indonesia, Turki, Mesir, dan Jalan Demokrasi

Oleh Nasihin Masha

Sebuah tulisan di The New Yorker, sebuah majalah bergengsi di Amerika Serikat, sedang menjadi trending topic di Twitter. Judulnya simpel saja, “Where is Morsi?” Sebuah tulisan ringkas oleh Amy Davidson. Satu kalimatnya yang menggelitik, “It is not healthy for democracy, or for model of democracy, when an elected head of state just vanishes.” Kalimat lainnya berbunyi, “The pro-coup crowds, including self-described liberals, have relied heavily on the argument that Brotherhood is fundamentally undemocratic.”

Dua kalimat itu menggambarkan dua situasi. Pertama, kudeta terhadap Mursi merusak ide demokrasi. Kedua, salah satu pembenar kudeta adalah tuduhan bahwa Ikhwanul Muslimin adalah organisasi yang antidemokrasi. Dua hal inilah yang membuat komunitas internasional menjadi ambigu dan berpecah. Lalu, tiba-tiba mereka disodorkan pada fakta tragis pascakudeta: pembunuhan, pembekuan aset, militerisme, pemenjaraan tanpa pengadilan, mengadu massa, menghadapi protes dengan senjata, dan seterusnya. Kaum liberalis sudah tak bisa berbuat apa-apa. Harga yang mahal dan setimpal dengan kekerdilan dan kepicikan sikap kaum liberalis.

Jalan sejarah tiga negara berpenduduk mayoritas Muslim ini memang menarik untuk dicermati: Indonesia, Turki, dan Mesir. Tiga negara yang memiliki posisi kunci di kawasan masing-masing. Tiga negara ini pernah dicengkeram militer selama bertahun-tahun. Bahkan, Turki sejak 1922. Sedangkan, Indonesia sejak 1966. Adapun, Mesir sejak zaman Sadat, 1970. Indonesia dan Mesir bahkan pernah berkolaborasi memainkan peran strategis di pentas dunia, yakni pada masa Sukarno dan Jamal Abdul Nasir. Bersama Jawaharlal Nehru (India), M Ali Jinnah (Pakistan), dan Ahmad bin Bella (Aljazair), mereka menghentak dunia. Mereka memerdekakan negeri-negeri di Asia dan Afrika. Mereka membangun poros Gerakan Non-Blok. Mereka menolak terlibat perseteruan Blok Komunis dan Blok Kapitalis.
Minggu, 14 Juli 2013 0 komentar

Rekam Jejak Hubungan Mursi dan Militer Mesir (Mursi vs SCAF)


Masih segar dalam ingatan dunia Internasional saat keruntuhan Mantan Presiden Husni Mubarak yang digulingkan warga Mesir, kini pemimpin Mesir kembali terjungkal dan mundur ke titik nol.

Tahun 2012 silam, Mesir memulai dari nol transisi demokrasi yang dipimpin Pimpinan Dewan Militer (SCAF) Marsekal Husein Thantawi. Sebagai penyelenggara negara, SCAF sukses menggelar pesta demokrasi pemilu Majlis Shaab dan Majlis Shoura.

Selanjutnya, segera digelar pemilihan presiden. Rakyat menuntut Dewan Militer yang dipimpin oleh Husein Thantawi agar segera mengalihkan kekuasaannya kepada pemerintahan sipil. Waktu yang diberikan selambat-lambatnya hingga 30 Juni 2012.

SCAF pun memenuhi tuntutan tersebut. Pada saat itu, SCAF-lah satu-satunya pemegang amanat rakyat yang legal secara konstitusional. SCAF sebagai wujud representasi presiden itu mempunyai kekuasaan penuh atas Mesir selama presiden Mesir baru belum terpilih.
Setelah berhasil menyelenggarakan pemilu, SCAF pun secara jantan menyerahkan tampuk kepemimpinan Mesir kepada Muhammad Mursi yang terpilih secara sah.
0 komentar

Ketika Demokrasi Mesir Dikebiri Militer dan Kelompok Sekuler

Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Sebuah drama sedang dimainkan di Mesir. Aktornya: kaum sekuler, liberal, sosialis, dan fulul (orang-orang dari rezim mantan Presiden Husni Mubarak) yang berkolaborasi dengan militer. Lawan mainnya: Ikhwanul Muslimin dengan sayap politiknya, Partai Kebebasan dan Keadilan, yang didukung oleh sejumlah partai Islam. Lakon yang dimainkan: bagaimana menjatuhkan seorang presiden yang dipilih secara demokratis, lantaran memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam pemerintahannya.

Sedangkan jalan ceritanya: pemerintahan yang dipimpim presiden pilihan rakyat yang sedang didemo oleh kelompok oposisi. Lalu militer negara itu yang semestinya netral dalam menyikapi unjuk rasa dua kelompok penentang dan pendukung sang presiden, justru memihak kepada kelompok oposisi. Ending-nya, militer mengambil kekuasaan negara dan memenjarakan sang presiden.

Ending tersebut tentu sementara. Belum final. Karena, drama di atas bukan dimainkan di panggung theater atau gedung pertunjukan. Drama itu nyata terjadi dalam kehidupan rakyat Mesir sekarang ini. Dikatakan 'ending sementara', lantaran para pendukung sang presiden sudah bertekad tidak akan tinggal diam. Mereka akan terus melawan dalam waktu pendek, sedang, dan panjang, apapun risikonya.
 
;