Pendahuluan
Dalam tradisi intelektual Islam manusia didefinisikan sebagai hewan yang berfikir (hayawan natiq).
Berfikir logis dan argumentatif merupakan prasyarat dalam pencarian
ilmu pengetahuan. Artinya dalam mencari ilmu pengetahuan sesorang harus
mengikuti aturan befikir atau hukum-hukum berfikir yang terrangkum dalam
ilmu yang disebut logika (mantiq) atau qiyas.
Secara etymologis logika berasal dari kata logos yang
mempunyai dua arti 1) pemikiran 2) kata-kata. Jadi logika adalah ilmu
yang mengkaji pemikiran. Karena pemikiran selalu diekspresikan dalam
kata-kata, maka logika juga berkaitan dengan “kata sebagai ekspresi dari
pemikiran”. Sementara itu qiyas berarti ukuran. Jika dikatikan dengan
pemikiran maka qiyas berarti ukuran kebenaran berfikir. Namun secara
definitif logika berarti “ilmu tentang hukum yang menentukan validitas
berfikir”. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hukum befikir yang
valid, akan dijelaskan difinisi logika tersebut.
Logika sebagai Ilmu Normatif
Logika sebagai Ilmu Normatif
Ilmu atau sains adalah pengetahuan; tapi perlu dipahami bahwa semua
sains adalah pengertahuan, dan semua pengetahuan tidak berarti sains.
Seseorang bisa tahu nama-nama berbagai anggota tubuh manusia, tapi
pengetahuannya itu tidak mesti ilmiyah (saintifik). Anda mungkin tahu
tentang tumbuh-tumbuhan dan benda-benda di angkasa, tapi pengetahuan
anda mungkin tidak saintifik. Sains, oleh karena itu tidak semata-mata
pengetahuan, tapi pengetahuan yang sistimatis, akurat dan lengkap
tentang sesuatu subyek. Pengetahuan yang tidak sistimatis tidak dapat
disebut sains, seperti juga batu-bata yang terhampar dan tidak tersusun
tidak dapat disebut bangunan. Jadi sains atau ilmu adalah pengetahuan
tentang suatu subyek yang bersifat metodologis, eksak dan lengkap.
Dalam kaitannya dengan metodologi, Ilmu dibagi sedikitnya menjadi dua 1) ilmu Alam (natural sciences) dan 2) ilmu normatif (normative sciences). Yang pertama membahas tentang sesuatu sebagaimana adanya (things as thay are), sedangkan yang kedua membahas tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu (things they should be).
Logika termasuk kedalam kategori yang kedua, yaitu ilmu atau sains
normatif, karena ia mengkaji pemikiran, tidak sebagaimana adanya, tapi
bagaimana seharusnya.
Selain logika, terdapat ilmu normatif lainnya seperti estetika dan etika. Dalam hal ini Islam sebagai din dan pandangan hidup memiliki asas bagi berkembangnya ilmu alam, ilmu normatif, estetika dan etika.
Kaidah berfikir dan validitasnya
Karena logika merupakan ilmu normatif, maka ia memiliki kaidah
befikir yang bersifat normatif, artinya logika meletakkan kaidah-kaidah
atau standar bagaimana seharusnya kita berfikir. Ia tidak menjelaskan
tentang bagaimana kita berfikir (karena ini menjadi topic pembahasan
ilmu psikologi), tapi bagaimana seharusnya kita berfikir. Kaidah-kaidah
berfikir menyerupai kaidah etika dan estetika karena semuanya bersifat
normatif.
Kaidah-kaidah berfikir dalam logika diamksudkan untuk menentukan apakah suatu pemikiran itu disebut valid atau tidak, artinya benar atau tidak menurut kaidah logika. Valid atau benar menurut kaidah logika terdapat dua makna:
Pertama tidak kontradiktif (self-contradictory) atau bebas dari sifat kontradiktif. Ini dalam logika disebut validitas formal (formal validity).
Seperti misalnya mengatakan segitiga berbentuk empat persegi panjang.
Segi empat berbentuk bulat. Contoh befikir yang kontradiktif adalah sbb:
Manusia adalah makhluk yang akan mati
Mahasiswa adalah manusia
Maka mahasiswa tidak akan mati
Argumentasi diatas salah karena kesimpulannya bertentangan
(kontradiktif) dengan pernyataan (premis) sebelumnya. Seharusnya
kesimpulannya maka mahasiswa akan mati.
Kedua, sesuai dengan ralitas yang sebenarnya (agree with actual reality). Ini disebut validitas material (material validity). Seperti misalnya:
Manusia adalah meja
Buku adalah manusia
Maka manusia adalah meja
Argumentasi diatas tidak kontradiktif, karena kesimpulannya merupakan
hasil dari dua pernyataan (premis) sebelumnya, tapi argument ini tidak
valid. Mengapa? Karena apa yang dinyatakan dalam argumentasi tersebut
tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.
Dari kedua macam validitas diatas maka logika dibagi menjadi dua
macam 1) Logika Deduktif 2) Logika Induktif. Logika Deduktif hanya
melihat validitas formal suatu pemikiran atau argumentasi, maka dari itu
seringkali disebut dengan Logika Formal (formal logic). Logika Induktif menekankan pada validitas material suatu pemikiran, maka dari itu disebut juga sebagai Logika Material.
Dalam logika deduktif masalah yang diangkat adalah apakah suatu
pemikiran konsisten? Sedangkan dalam Logika Induktif pertanyaan yang
dimunculkan adalah apakah suatu pemikiran itu konsisten dengan realitas
yang ada? Yang pertama melihat bentuk (form) pemikirannya,
sedangkan yang kedua meninjau substansi pemikirannya. Maka dari itu agar
suatu argumentasi dihukumi sebagai valid maka ia harus memiliki
validitas formal dan juga material, artinya tidak kontradiktif dan harus
konsisten dengan realitas aktual.
Maka dari itu jika kita mendengar suatu pernyataan atau argumentasi, kita harus menguji argumentasi tersebut dari dua sisi, pertama apakah argumentasi itu secara logis tidak kontradiktif dan kedua apakah argumentasi itu secara substantif sesuai dengan realitas.
Elemen Pemikiran
Jika kita cermati secara seksama, maka suatu pemikiran terdiri dari dari 3 elemen penting, yaitu 1) konsep (concept, tasawwur), 2) penyimpulan (judgment, tasdiq), dan 3) penalaran (reasoning, nazar).
1) Konsep (concept) artinya ide yang umum. Ketika kita
menyatakan bahwa “manusia akan mati”, kita berbicara tentang konsep
“manusia” dan konsep “mati” secara umum, bukan manusia tertentu atau
kematian tertentu. Seperti juga kalau kita menyebut kata “pesantren”,
“sekolah”, “adil”, “aqidah dsb. Jadi, perkataan manusia, negara,
pesantren, pendidikan, universitas, buku, kuda, dsb, adalah
konsep-konsep sejauh mereka itu merujuk kepada makna suatu obyek secara
umum. Konsep ini dalam ilmu logika disebut terma (term)
2) Penyimpulan (judgment) adalah kombinasi dari dua
konsep. Ketika kita membandingkan atau menggabungkan dua konsep,
sehingga kemudian menunjukkan makna baru, maka kita telah memperoleh apa
yang disebut penyimpulan. Seperti misalnya “pesantren itu bukan
sekolah”, adalah penyimpulan dari perbandingan konsep “pesantren” dengan
konsep “sekolah”, atau “manusia adalah makhluk sosial” adalah
penyimpulan dari kombinasi konsep manusia dan konsep makhluk sosial.
Jadi penyimpulan (judgment) terdiri dari dua konsep dan dalam logika penympulan disebut proposisi atau premis.
3) Penalaran (reasoning) adalah suatu proses deduksi
yang ditarik dari dua penyimpulan atau lebih. Jika kita mengatakan
“Semua orang Jawa adalah orang Indonesia, maka tidak ada orang Jawa yang
bukan orang Indonesia”, maka kita telah melakukan penalaran (reasoning). Karena hanya terdiri dari dua proposisi maka ini disebut deduksi langsung (immediate inference). Akan tetapi jika penalaran itu kita lakukan dengan meletakkan dua proposisi, maka disebut deduksi tidak langsung ( a mediate inference atau syllogism). Seperti misalnya
Manusia akan hewan berfikir
Mahasiswa adalah manusia
Maka, mahasiswa adalah hewan berfikir
Jadi dalam penalaran kita menggabungkan satu atau lebih proposisi
atau premis dengan proposisi yang lain untuk mencapai kesimpulan (conclusion). Ini dalam logika disebut dengan argumentasi.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa yang disebut pemikiran itu berasal
dari konsep yang digabungkan dengan konsep-konsep lain sehingga
membentuk proposisi dan dari gabungan proposisi itulah kita memperoleh
pengetahuan baru.
Menguji suatu argumentasi
Jika kita menemukan suatu pemikiran maka yang pertama-tama kita uji
adalah konsepnya. Apakah konsep dalam suatu argumentasi itu jelas dan
dapat kita terima atau masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Jika
pun konsep itu jelas yang tidak lagi diperdebatkan, kita harus juga
menguji apakah dalam perspektif lain (secara sosiologis, secara politis,
secara Islam dsb) konsep itu dapat diterima.
Jika konsep-konsep yang kita temukan itu tidak ada masalah, maka
selanjutnya kita harus mengujinya apakah gabungan konsep dengan konsep
yang lain dalam argumentasi itu dapat diterima dan tidak menimbulkan
kerancuan. Konsep Islam, misalnya sudah jelas, tapi ketika digabungkan
dengan konsep liberal dan menjadi “Islam liberal”, maka terjadi
kerancuan. Sebab Islam berarti berserah diri, sementara liberal artinya
bebas, maknanya kontradiktif. Seperti juga gabungan konsep kafir dan
saleh, menjadi “seorang kafir yang saleh”, juga “kolonialis yang
humanis”, “perampok yang moralis” dsb.
Jika gabungan konsep-konsep suatu argumentasi tidak perlu
dipermasalahkan, maka kita perlu mengujinya apakah kesimpulannya sesuai
dengan premis-premis yang diberikan sebelumnya. Disini pengetahuan kita
tentang logika formal sangat diperlukan.
Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas, maka jelaslah bahwa befikir logis artinya
berfikir sesuai dengan kaidah-laidah ilmu logika. Dan berfikir
argumentatif adalah berfikir dengan menggunakan argumentasi yang valid
seperti yang diatur dalam ilmu logika tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar